Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, mendidik anak tidak cukup hanya dengan memberikan kebutuhan fisik dan materi. Dalam dunia yang semakin kompleks, anak-anak perlu dibekali keterampilan untuk memahami dan mengelola emosi mereka sendiri. Di sinilah peran orang tua sebagai sosok dengan kecerdasan emosional sangat dibutuhkan.
Kecerdasan emosional bukan sekadar tentang menjadi "lembut" atau menghindari konflik. Justru, orangtua yang cerdas secara emosional tahu kapan harus mendampingi, kapan harus memberi ruang, dan bagaimana membimbing anak dengan cara yang empatik dan penuh kesadaran. Mereka mampu mengelola emosinya sendiri, sekaligus membantu anak mengenali dan mengekspresikan perasaan dengan sehat.
Menurut laman HelpGuide dan Psychology Today, orangtua dengan kecerdasan emosional tinggi mampu menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan penuh kasih. Ini bukan hanya berdampak pada hubungan jangka pendek, tetapi juga pada perkembangan sosial, akademik, dan mental anak dalam jangka panjang. Lalu, bagaimana cara menjadi sosok orang tua seperti ini? Berikut penjelasannya.
Advertisement
Advertisement
1. Mengenali dan Mengelola Emosi Diri Sebelum Mengasuh Anak
Sebelum mendidik anak, penting bagi orang tua untuk terlebih dahulu mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Tidak jarang, konflik dalam pola asuh muncul karena orang tua belum menyadari tekanan atau stres yang sedang mereka alami. Misalnya, saat merasa lelah sepulang kerja, orang tua cenderung lebih mudah tersulut saat anak mulai rewel. Dalam kondisi seperti ini, jeda sejenak untuk bernapas dan menyadari perasaan sangat membantu untuk merespons dengan lebih tenang.
HelpGuide menyarankan agar orang tua mulai membiasakan diri untuk memperhatikan sinyal fisik dan emosional dalam tubuhnya sendiri. Detak jantung yang cepat, suara meninggi, atau kepala terasa panas bisa menjadi petunjuk bahwa emosi sedang memuncak. Dengan menyadari hal ini, orang tua bisa mengambil langkah konkret, seperti menarik napas dalam, menghitung sampai sepuluh, atau keluar sebentar dari ruangan,sebelum melanjutkan interaksi dengan anak.
Dengan konsistensi dalam mengelola emosi pribadi, anak akan belajar bahwa kemarahan atau frustrasi bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan bisa dihadapi dengan cara yang sehat. Anak pun tumbuh dengan pemahaman bahwa emosi adalah bagian dari hidup yang normal dan bisa dikendalikan.
2. Membantu Anak Memahami dan Melabeli Emosi
Setelah mampu mengelola emosi pribadi, langkah penting berikutnya adalah membantu anak memahami dan memberi nama pada emosi yang mereka rasakan. Anak-anak sering mengalami kebingungan saat merasa sedih, marah, atau takut, tetapi tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mengenalkan kosakata emosional yang tepat.
Menurut Psychology Today, praktik melabeli emosi seperti mengatakan “Kamu terlihat kecewa karena mainanmu rusak” atau “Sepertinya kamu gugup sebelum tampil”, membantu anak memahami apa yang sedang mereka rasakan. Proses ini bukan hanya membuat mereka merasa dipahami, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk meregulasi emosi dengan lebih baik di masa depan.
Melabeli emosi bisa dimulai dari percakapan sehari-hari, saat membaca buku cerita bersama, atau menonton tayangan yang memperlihatkan ekspresi emosi. Orang tua dapat bertanya, “Menurutmu, tokoh itu merasa apa ya?” atau “Kalau kamu jadi dia, apa yang kamu rasakan?” Aktivitas sederhana seperti ini mampu meningkatkan empati dan keterampilan komunikasi anak secara signifikan.
Melalui pendekatan ini, anak tidak hanya belajar mengenali emosinya sendiri, tapi juga belajar memahami perasaan orang lain. Hal ini menjadi fondasi penting dalam membentuk pribadi yang penuh empati, tangguh secara emosional, dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat.
Advertisement
3. Menjadi Pelatih Emosi yang Konsisten dan Penuh Empati
Menjadi pelatih emosi (emotion coach) bukan berarti selalu menyelamatkan anak dari setiap masalah, tetapi mendampingi mereka memahami dan menghadapi perasaan yang muncul. Orang tua perlu hadir dengan empati dan rasa ingin tahu, bukan sekadar memberi solusi cepat atau memarahi. Misalnya, ketika anak mengalami konflik dengan teman, ajak ia menceritakan perasaannya terlebih dahulu, lalu bantu mengevaluasi solusi yang bisa dilakukan.
HelpGuide menekankan pentingnya validasi emosi sebelum memberikan arahan. Kalimat seperti, “Wajar kalau kamu marah karena temanmu tidak adil,” memberi ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan perasaannya tanpa takut dihakimi. Setelah itu, baru bimbing anak untuk berpikir tentang langkah berikutnya, apakah ingin berbicara dengan temannya, minta bantuan guru, atau cukup menenangkan diri dulu.
Menjadi pelatih emosi juga berarti menunjukkan konsistensi dalam batasan. Misalnya, tetap tidak memperbolehkan perilaku agresif walaupun anak sedang marah. “Bunda tahu kamu marah, tapi memukul bukan cara yang baik,” adalah contoh pendekatan yang tegas tapi tetap empatik.
Dengan menjadi pelatih emosi yang konsisten, anak akan belajar bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi perasaan sulit. Mereka tahu bahwa ada cara sehat untuk mengelola emosi, dan bahwa mereka selalu bisa datang kepada orang tuanya untuk mendapatkan bimbingan, bukan sekadar hukuman.
Penulis: Rianti Fitri Wulandari
#UnlockingTheLimitless