Ibuku tidak memiliki smartphone, tidak juga bedak dan gincu yang biasa dipakai ibu teman–temanku.

Aku sungguh menyedihkan. Hanya mati yang selalu terpikirkan olehku.

Ayah adalah sosok yang penyayang. Beliau selalu mengantarkan saya dengan sepedanya hingga lorong kelas di waktu hujan.

Nilai pengorbanan tidak selalu terletak pada kisah yang digariskan.

Dilihat sekilas, tentu saja semua akan berpikir kakak memiliki hidup yang sempurna, dia juga seorang gadis yang taat beribadah dan memiliki kepribadian yang santun.

Dengan tulus suamiku mengumpulkan serpihan hatiku dan memberikan separuh hatinya hanya untukku.

Setelah ibu bertahan selama berbulan-bulan akhirnya ia berkata, “Ibu besok sembuh, jangan menangis jangan lupa makan, ikhlaskan ibu."

Selama aku bisa membantu dan meringankan beban orang lain, sebisa mungkin aku akan membantu.

Lelaki itu memilih untuk menikahi wanita lain, dan meninggalkan dua orang anak yang masih teramat kecil.

Pernikahan sejatinya adalah gerbang baru menuju kebahagiaan. Tetapi hal itu tak terlukis di wajah Teteh.

Sebenarnya setiap hari ada kok yang rela berkorban untuk kita.

Selama sembilan bulan saya diantar suami ke dokter hanya dua kali saat dia pulang cuti ke Jakarta.