Tiba-tiba calon suamiku mendapat pekerjaan yang membuatnya tidak boleh menikah selama masa calon pegawai, yaitu minimal 1 tahun.

Awal dari obrolan kami adalah dia menawarkan diri dengan mencari seorang wanita yang ingin dia nikahi, dia bersikeras tidak ingin berpacaran.

Seisi kantor pun ramai. Mereka merasa tidak dihargai. Kekecewaan mereka pun dilimpahkan ke saya.

Dua hari menjelang pernikahanku, uang dari bank tak kunjung cair. Aku panik, dan keluargaku semakin yakin bahwa mama tidak memegang dana.

Rasa tidak yakin pada calon suami semakin kuat, malah aku sampai mengirimkan pesan melalui Whatsapp, “Kita sebenarnya jadi nikah nggak sih?”

Hatiku sakit memandang foto–foto mereka berdua yang penuh tawa. Seolah mereka menertawakan aku yang hadir belakangan.

Sungguh hati saya hancur apalagi calon suamiku yang saat itu sangat dekat dengan ibunya.

Make-up minimalis yang kuharapkan tinggal impian belaka, ditambah lagi fotografer saat malam adat pernikahanku tidak datang.

Aku tidak akan punya waktu untuk mencari WO pengganti dengan kurun waktu dua hari, semua yang aku dambakan di hari yang aku nantikan hilang.

Dia memegang tanganku dengan erat sambil berkata, “Tenang apapun yang terjadi, aku selalu di sampingmu bukan di depanmu ataupun di belakangmu kita jalani ini bersama.”

Aku kira budget dengan terpisah-pisah tidak sepaket dengan tenda lebih terjangkau ternyata lagi-lagi perkiraanku salah.

Dalam salat selalu aku berdoa semoga semua rencana pernikahan bisa lancar.