Editor Says: Menolak Bali yang Terlalu Touristy

Asnida Riani diperbarui 06 Jul 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Mendengar Bali, maka angan akan biru laut dengan tarian ombak saling susul-menyusul menyapa pantai lah yang mungkin langsung menyeruak. Berbicara tentang Bali, kemudian khidmat-khidmat nuansa pura yang seketika menyeruduk angan. Mengingat Bali, lalu rumah lah yang memenuhi bayang.

Singkatnya, siapa yang tak tahu? Pulau ini sudah kenamaan di kalangan turis, baik domestik maupun internasional. Bahkan, namanya lebih akrab di telinga kebanyakan orang ketimbang Indonesia itu sendiri. Citranya membuat Bali dideskripsikan sebagai surga tropis dambaan sejumlah warga Bumi.

Ketenaran Pulau Dewata, sebagaimana dominan perihal di hidup, mendatangkan keuntungan yang rapat dihimpit kerugian di sisinya. Ya, perekonomian Bali memang bergulir mungkin dengan lebih baik karena sektor pariwisata.

Tak menampik juga tentang ketersediaan lapangan pekerjaan yang boleh jadi lebih luas. Tapi di antara senang-senang tersebut, tentu ada harga yang harus dibayar agar Bali bisa menyenangkan para pengunjung.

Sebelum berbicara lebih jauh, touristy yang dimaksud di sini tak semata tempat dengan terlalu banyak turis. Tak ada salahnya pelancong datang untuk berlibur, bukan? Namun perihal yang ingin dikerucutkan adalah lebih kepada bagaimana kehadiran pelancong perlahan mengubah Bali, terutama di bagian paras.

Secara kamu sadari atau tidak, Bali melakukan berbagai adaptasi, dan ia pun berbenah diri agar lebih sesuai dengan selera kebanyakan turis. Mungkin belum membuat Pulau Dewata sampai kehilangan identitas, tapi relakah kita kalau sampai hal itu terjadi? Apakah kita hanya akan berdiam dan menunggu Bali jadi asing di negeri sendiri?

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Rupa Bali yang Berganti

Yang konstan di dunia ini memang perubahan, dan Bali pun tak kebal dari teori ini. Ya, setiap pendatang hampir pasti akan menggoreskan perubahan di suatu tempat. Hanya saja, Bali, menurut saya, sudah terlampau sering enggan berkata tidak pada banyak pihak. Bukti paling nyata? Sekarang mulai terlihat bangunan-bangunan bertingkat, khususnya di daerah Badung.

Jujur, saya sempat absen lumayan lama dari Bali, 9 tahun. Cukup menyiksa memang, tapi rentang waktu yang demikian banyak itu membuat saya sadar benar akan perbedaan Pulau Dewata. Tidak, saya tak keberatan dengan bertambah ramainya Legian, pun tak ingin komplain soal jejalan manusia di jalan-jalan di Ubud yang kemudian malah serasa Prawirotaman.

Bali memang sudah biasa ramai, namun pihak-pihak yang mengambil untung dari riuhnya Pulau Dewata ini yang menyebalkan. Hampir pasti karena keuntungan komersil, mereka menylap petak-petak sawa jadi bangunan tinggi. Kemudian, hilanglah nuansa asri yang semula terasa di tempat tersebut.

Tak sampai di situ, yang membuat hati saya lebih patah adalah saat membaca satu tulisan, di mana disebutkan kalau warung-warung di Bali harus mengurangi tingkat kepedasan sambalnya agar lebih sesuai dengan lidah para bule, atau bahkan orang Indonesia dari wilayah luar Bali.

Tak apa Bali berkembang, tapi dalam perubahan itu terdapat kecemasan apakah generasi yang lebih muda akan bisa melihat cantik petak sawah Bali, biru pesisir yang sanggup membuat bertahan lama-lama di pesisir, dan autentik budaya Pulau Dewata? Mampukah mereka melihat Bali di parasnya yang paling orisinal?

Kurang bijak kiranya untuk menjadikan Bali terlalu touristy dengan terlampau banyak penyesuaian pada mau turis di sana-sini. Pulau dengan lusinan upacara adat keagamaan ini harus tetap punya identitas karena itulah yang justru membuat banyak pelancong jatuh hati. Bali harus tetap ada apanya. Bali mesti masih menawan tanpa terlalu banyak berubah.

 

Asnida Riani,

Editor Kanal Food & Travel