Komitmen Cinta dan Finansial dalam Perjanjian Pranikah

Fimela Editor diperbarui 12 Jul 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Ibu teman saya pernah menyarankan calon menantunya untuk membuat perjanjian pranikah. Alasannya, kalau nanti terjadi sesuatu, sudah ada kesepakatan bersama, dari hak asuh anak sampai pembagian harta gono-gini. Cukup unik, mengingat perjanjian pranikah oleh sebagian besar orang masih dianggap nggak perlu dilakukan, bahkan “tabu” diusulkan. Nggak yakinkah dengan kelanggengan hubungan anak dan calon menantunya? Ternyata bukan itu alasannya. Sang ibu nggak mau ada perselisihan yang membuat hubungan dua keluarga jadi renggang. “Kalau sudah jelas di awal tidak akan ada masalah yang ribet lagi. Saya jadi lebih tenang, walaupun berharap tidak pernah terjadi masalah dengan rumah tangga anak saya kelak,” ungkap sang ibu.

Pernyataan itu merepresentasikan bahwa pandangan masyarakat tentang perjanjian pranikah sudah mulai terbuka, walaupun nggak bisa dipungkiri banyak pula yang mengaku belum familiar dengan perjanjian semacam itu. Lalu, sebenarnya seberapa pentingkah perjanjian pranikah dalam rumah tangga? Kenapa banyak yang menganggap perjanjian pranikah itu wujud keraguan seseorang terhadap pasangannya?

Menurut perencana keuangan Mike Rini, perjanjian pranikah mulai makin dikenal seiring dengan meningkatnya angka perceraian, terutama di Indonesia. Banyak orang akhirnya merasa, selain cinta, pernikahan juga membutuhkan komitmen finansial. Sebaliknya, bagi yang asing dengan perjanjian pranikah, pembicaraan mengenainya bisa menghancurkan hubungan. “Bukan hanya calon pengantin, namun juga merembet jadi masalah keluarga. Ini karena perjanjian pranikah masih dianggap kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat Timur, dan lain sebagainya,” ungkap Mike.

3 dari 3 halaman

Next

Perjanjian pranikah sendiri umumnya berhubungan dengan perjanjian pengaturan harta bersama bila terjadi perceraian atau kematian pasangan, bisa juga tentang pengaturan keuangan selama pernikahan berlangsung, sampai ke pemisahan tanggungan utang. Perjanjian itu pun sah di mata hukum asal nggak bertentangan dengan agama, moral, juga adat istiadat. Ambil contoh yang sedang ramai dibicarakan saat ini, perceraian Katie Holmes dan Tom Cruise. Mereka rupanya juga membuat perjanjian pranikah. Kabarnya, pembagian harta pasca-bercerai akan dibayarkan sesuai dengan lamanya pernikahan. Nggak cuma itu, pembagian harta properti dan hak asuh anak juga didiskusikan dalam perjanjian, tapi detailnya dinegosiasikan setelah bercerai. Sudah ada kesepakatan bersama di sana, tinggal bagaimana mewujudkan perjanjian itu.

Saling cinta, artinya nggak akan ada masalah keuangan karena semua diusahakan dan dibicarakan bersama. Apa selalu begitu? Faktanya, masalah keuangan sangat mungkin jadi masalah sensitif dalam rumah tangga, apalagi ketika berada di ambang perceraian. “Perjanjian pranikah menawarkan solusi agar masalah sensitif itu bisa diselesaikan sesuai kesepakatan bersama di awal hubungan, atas persetujuan bersama yang dianggap paling adil untuk keduanya, jadi konflik bisa diminimalisasi,” ujar Berlian, 29 tahun, “Jadi, kalau tujuannya baik, antisipatif, kenapa harus memunculkan prasangka nggak cinta atau nggak tulus? Kita nggak pernah tahu ke depannya hubungan dengan pasangan akan berakhir seperti apa, dalam hidup mesti ada plan B untuk kebaikan bersama. Tapi, tentu saja maunya nggak terjadi apa-apa.”

Lain dengan Berlian, Scholastica, 25 tahun, mengatakan bahwa menurutnya kalau pasangan sudah berkomitmen untuk hidup bersama, dalam hal apa pun mereka melebur jadi satu, “Nggak ada lagi aku dan kamu, hartaku dan hartamu, anakku dan anakmu. Semua milik kita. Kalau pakai perjanjian pranikah, artinya nggak ada kepercayaan. Buatku komitmen untuk bersama dan menyatu jauh lebih berarti dan mendalam ketimbang perjanjian tertulis. Nggak pentinglah yang begituan itu, apalagi janji suci itu sudah diucapkan di depan Tuhan.”

Kalau kamu, Fimelova, termasuk yang menganggap perjanjian pranikah penting atau sebaliknya? Alasannya? Share, dong!