85 Kali Pentas, Kisah Cinta Sampek Engtay Masih Jadi Rebutan

Fimela Editor diperbarui 15 Mar 2013, 06:59 WIB
2 dari 5 halaman

Next

Siapa yang tidak tahu dengan kiprah Teater Koma? Teater yang didirikan sejak tahun 1977 ini sudah tidak diragukan lagi kualitas setiap penampilannya. Dan kali ini, di produksi yang ke-127, Teater Koma kembali mementaskan salah satu lakon yang sudah sering ditampilkan, Sampek Engtay.

Sudah kali ke-85, Sampek Engtay diproduksi oleh Teater Koma, namun masih saja mendapat sambutan yang meriah dari penikmat teater Ibukota. Digelar selama 10 hari sejak tanggal 13 Maret hingga 23 Maret, semua tiket sudah hampir terjual habis. Bahkan, untuk memenuhi permintaan penonton, akhirnya digelar satu hari pertunjukan tambahan pada tanggal 24 Maret. Tak pandang usia, tua, muda, hingga anak-anak pun hadir memenuhi Gedung Kesenian Jakarta untuk menyaksikan pementasan Sampek Engtay.

Layaknya kisah cinta dari Eropa, Romeo dan Juliet, Sampek Engtay bercerita tentang kisah cinta dua anak manusia yang berakhir tragis dengan kematian. Namun, Ratna Riantiarno mengemas cerita ini dalam balutan komedi satire.

What's On Fimela
3 dari 5 halaman

Next

 

Isu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di masa itu juga menjadi perhatian khusus dalam pementasan ini. Perempuan yang tidak boleh menentukan nasibnya sendiri adalah kunci utama yang menjadi penyebab akhir yang tragis antara dua tokoh utama cerita, Sampek dan Engtay.

Engtay yang berasal dari keluarga pengusaha asal Serang merupakan sosok perempuan cerdas yang memiliki kemauan tinggi untuk menimba ilmu. Bagi Engtay, hak untuk menimba ilmu bukan hanya milik lelaki, tapi perempuan juga seharusnya punya hak yang sama. Sayangnya, pemikiran Engtay tidak sama dengan kedua orangtuanya.

“Kalau Engtay laki-laki, jangankan hanya ke Betawi, sekolah ke Eropa pun akan aku ijinkan. Tapi, Engtay kan perempuan,” dialog Nyonya Ciok (Ibu Engtay)

Engtay pun menempuh segala usaha untuk meyakinkan orangtuanya agar mendapat restu menimba ilmu di Betawi. Restu dari orangtua pun akhirnya dikantungi Engtay, walaupun dia harus menyamar menjadi seorang lelaki selama bersekolah di Betawi.

4 dari 5 halaman

Next

 

Di sekolah inilah akhirnya Engtay bertemu dengan sosok lelaki jujur yang kemudian ia cintai, Sampek. Tak bisa lagi membendung perasaannya pada Sampek setelah satu tahun mereka bersama, Engtay pun membuka jati dirinya yang asli pada Sampek. Sampek dan Engtay akhirnya saling jatuh cinta. Namun di saat asmara di antara mereka baru tumbuh, Engtay dipaksa pulang ke rumahnya di Serang oleh orangtuanya. Sebelum meninggalkan Sampek di sekolah, Engtay sempat memberi isyarat kepada Sampek agar mengunjunginya di Serang. Namun, apa yang ditangkap Sampek ternyata berbeda dari apa yang disampaikan Engtay.

Keterlambatan Sampek mengunjungi Engtay, membuat cinta mereka tidak bisa bersatu karena Engtay pun terpaksa menerima perjodohan yang sudah diatur oleh orangtuanya dan seorang juragan yang pernah membantu orangtua Engtay saat baru memulai usaha. Tidak bisa menerima kenyataan, akhirnya Sampek pun jatuh sakit hingga meninggal. Yang menarik dalam cerita ini adalah sang sutradara, Ratna Riantiarno sama sekali tidak berusaha untuk menggiring penonton untuk menitikkan air mata pada setiap adegan sedih. Malah, Ratna membuat penonton tertawa pada adegan-adegan sedih yang ia hadirkan dalam lakon. Dan adegan satire-satire inilah yang sebenarnya “menampar” penonton.

5 dari 5 halaman

Next

 

Ketidakberdayaan perempuan dalam menentukan nasib, akhirnya membuat maut memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai. Saat iring-iringan Engtay dan calon suaminya melewati makam Sampek, Engtay pun meminta ijin kepada orangtua dan rombongan yang lain untuk berhenti sejenak di makam Sampek. Ternyata, cinta Engtay pada Sampek begitu kuat. Atas permintaan dan doa Engtay, makam Sampek pun tiba-tiba terbuka dan Engtay bunuh diri dengan masuk ke dalam makan Sampek. Tak terima calon istrinya bunuh diri, calon suami Engtay mengerahkan orang untuk membongkar makam Sampek. Namun, itu semua sia-sia karena ternyata jasad Sampek dan Engtay berubah menjadi sepasang batu biru di kuburnya.

Rupanya dendam sangat membutakan hati calon suami Engtay hingga ia pun masih ingin memisahkan jasad Sampek dan Engtay yang sudah berubah menjadi batu. Akhirnya kedua batu biru tersebut dibuang secara terpisah.

Gambaran ketidakberdayaan perempuan dalam menentukan arah hidupnya dalam lakon Sampek Engtay ternyata menggiring tokoh utama pada kematian. Tentu kisah yang ditulis bukan semata tanpa alasan karena memang ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan cukup jelas terjadi tempo dulu yang akhirnya membuat Ibu Kartini menjadi pahlawan perempuan ketika ia menyuarakan persamaan hak.

Saat ini, ketika ketimpangan antara perempuan dan laki-laki sudah makin terkikis, tentunya perempuan diharapkan bisa melakukan yang terbaik untuk memperjuangkan hidup sesuai dengan yang diinginkan. Dan jangan ada lagi kisah cinta tragis yang berujung kematian hanya karena ketidakberdayaan dalam menentukan pilihan.