Cerita Cinta Raisa: Happily Ever After dan Super Romantis!

Fimela Editor diperbarui 17 Mei 2013, 08:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Perbincangan kami tentang cinta itu berlangsung di Jumat sore sebelum ia beranjak untuk latihan vokal. Raisa yang mengklaim dirinya sebagai perempuan yang sangat berjiwa romantis, mengawali kisahnya dengan bercerita tentang laki-laki apa yang seperti tepat untuknya dan berlanjut hingga ketegasannya sebagai perempuan yang tak takut untuk sendiri. Hubungan cintanya dengan Keenan Pearce yang super romantis layaknya film, adalah salah satu unsur topik obrolan kami ini.

The Perfect man means happiness

Kalau dia bukan laki-laki yang bisa membuat saya bahagia, tandanya ia belum tepat untuk saya. Ya, logika sesederhana seperti itu saja yang membuat saya bisa yakin dan nyaman dengan sosok laki-laki untuk menjadi pasangan. Saya hidup untuk bahagia dan menurut saya kebahagiaan sangat berkaitan erat dengan personal relationship saya terhadap orang-orang tertentu. Untuk hal umum saja, saya lebih senang dikelilingi oleh orang-orang yang positif agar bisa enak beraktivitas. Apalagi untuk masa penjajakan seperti pacaran, masa belum apa-apa sudah negatif?

Makanya, saya pribadi kini terus belajar untuk mengendalikan mood.  Saya nggak ingin jadi orang yang memperlihatkan atau menumpahkan mood kurang baik saya kepada orang lain, karena itu nggak adil. Kadang bisa, tapi terkadang masih susah. Kalau saya ingin bahagia, saya juga harus bisa membahagiakan orang-orang di sekitar saya, kan? Termasuk, untuk lelaki yang dekat dengan saya.

3 dari 3 halaman

Next

Happily ever after love does exist

Ya, saya percaya kehidupan cinta yang selalu berbahagia ada di kehidupan nyata, karena ada banyak orang yang sudah memilikinya. Percaya dengan hal itu perlu lho, karena kalau saya sudah skeptis sedari awal menjalani hubungan, hal baik itu nggak akan terjadi pada saya. Untuk mendapatkan itu, saya memang harus memperjuangkan sebuah hubungan yang saya yakin pantas untuk dipertahankan. Tapi, dengan akal sehat, ya. Karena, saya nggak jadi orang terlalu memaksakan, padahal itu sebenarnya nggak sepadan dengan usaha saya.

Contohnya, kalau sudah nggak banyak kecocokan, bawaannya bertengkar terus, itu menurut saya sudah masuk di zona memaksakan. Untungnya, saya bukan perempuan yang takut sendirian. Bila hubungan itu pantas dipertahankan, pasti akan saya bela. Tapi, nggak akan pernah terjadi kalau saya akan bertahan di dalam sebuah hubungan hanya karena takut sendirian dan jomblo. Kenapa dan untuk apa saya bertahan di hubungan yang membuat saya miserable? Berani untuk memutuskan hubungan yang sudah tak sehat itu adalah salah satu hak saya untuk hidup bahagia.