Segala Usaha, Kesabaran, dan Doa Pasti Terjawab pada Saat yang Tepat

Fimela diperbarui 28 Jun 2018, 18:00 WIB

Kadang dalam hidup ini, perempuan punya peran istimewa sebagai seorang penjaga. Meski kadang ujian hidup begitu berat tapi seorang perempuan bisa begitu tangguh menjalaninya. Seperti kisah sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #JagainKamu ini. Ada cerita yang begitu menyentuh hati di dalamnya. Lomba menulis kali ini dipersembahkan oleh Softex Daun Sirih, yang selalu #JagainKamu para perempuan Indonesia.

***

“Setelah CT Scan kemarin dan beberapa pemerikasaan mengarah pada diagnose CRS juga HNP. Tetapi untuk memastikan masih ada satu tindakan lagi yang harus dilakukan yaitu MRI.”
“Harus MRI? Apa itu sebenarnya CRS, Dokter?”
“Cervical Root Syndrom atau bisa dikatakan sebagai sindrom saraf pusat… adalah…,” panjang lebar penjelasan Dokter, membuatku bingung karena kondisi Bunda tidak seperti yang dijelaskan itu.

“Kenapa Sindrom saraf pusat? Hasil pemeriksaan selama ini mengarah kepada persoalan tulang belakangnya, lebih spesifik ibu didiagnosa HNP. Kenapa sekarang ke saraf pusat juga, Dokter? Apakah menunjukkan kondisi yang memburuk?”
“Makanya tadi saya sampaikan perlu melakukan MRI untuk memastikan. Semoga tidak terjadi persoalan tulang belakang yang lebih berbahaya. Misalnya kanker tulang.”
Percakapan di sebuah rumah sakit terbesar di kotaku itu  membuat semua seolah menjadi suram.



Bunda, perempuan indah dalam hidupku ini memang mengalami keluhan sakit di tulang belakang dan tulang ekornya sudah agak lama. Aku lebih meyakini ada permasalahan di keduanya, karena Bunda tidak bisa menggerakkan tubuhnya dengan bebas. Terutama tidak bisa duduk dengan baik dan susah untuk berdiri. Bunda juga mengalami kebas pada kedua kaki, sering kesemutan pada kedua tangannya. Tekanan darahnya selalu di atas normal, walaupun pola makan sudah dijaga.

Akhirnya kami mendapat rujukan melakukan MRI ke rumah sakit besar di kota Surabaya. Aku memilih rumah sakit yang dekat dengan tempat kerja dan juga tempat tinggalku di Surabaya. Aku memboyong Bunda ke Surabaya dengan harapan beliau bisa sehat kembali. Tapi sungguh kita hanya bisa berharap, berusaha dan berdoa. Tuhan menentukan segalanya. Sebulan penuh aku begitu akrab dengan aroma rumah sakit. Saat menjalani berbagai pemeriksaan justru Bunda harus menjalani rawat inap karena mendadak diare berat. Bisa dibayangkan betapa menderitanya, rasa sakit di tulang ekornya belum tertangani, harus menjalani rawat inap.



Kuberanikan untuk mengajukan cuti dalam waktu lama, agar bisa menjaga bunda menjalani perawatan dan berbagai pemeriksaan. Kuputuskan membeli kursi roda untuk memudahkan Bunda berkatifitas, terutama saat berada di RS menjalani pemerikasaan. Hanya ini yang bisa kulakukan selain dengan memenuhi segala kebutuhannya. Aku tidak boleh sedih di depan Bunda. Selelah apapun aku secara fisik dan mental, harus bisa selalu menunjukkan kebahagiaan di hadapan Bunda. Bahkan jika sampai terjadi hal buruk pada pekerjaan, aku sudah siap dengan segala risikonya. Materi dan pekerjaan masih bisa kucari lagi, tapi bagaimana jika kondisi bunda memburuk? Aku berusaha secara optimal, hingga segala ketakutan menjelang MRI dan menunggu hasilnya membuat perasaanku tidak karuan.

Ya, hasil MRI menunjukkan Bunda mengalami HNP/Hernia Nukleus Pulposus (saraf terjepit) pada L4-L5, L3-4, L5-S1 juga Th10-11, Th11-12 dengan grade I. Tidak ada persoalan tulang yang lain. Satu-satunya solusi yang diberikan dokter, harus dilakukan operasi.  



Mendengar keputusan itu membuat kesehatan Bunda memburuk. Tekanan darahnya tidak stabil dan tampak selalu gelisah. Aku diskusikan dengan keluarga tentang semua kemungkinan yang terjadi jika harus dilakukan operasi. Sementara Bunda bersikukuh tidak mau dioperasi. Aku sebenarnya juga takut jika operasi itu gagal karena dampaknya lebih mengerikan. Hal terburuk jika operasi gagal, Bunda akan lumpuh selamanya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku dan juga Bunda saat itu? Padahal saat itu saja, ketika mengenakan alat bantu (tongkat), aku tau Bunda tertekan secara mental. Apalagi jika sampai operasi itu mengalami kegagalan? Mengingat usia Bunda juga sudah di atas 60 tahun.

Aku putuskan meminta rujukan melakukan fisioterapi saja. Kukatakan kepada dokter sambil membujuk Bunda untuk mau menjalani operasi. Saat itu aku juga mencari berbagai alternative pengobatan untuk HNP. Aku menemukan grup di facebook yang berisi penderita HNP atau keluarganya. Dari sanalah aku tahu, ada satu cara pengobatan lain dengan akupunktur.

Kusampaikan kepada Bunda tentang akupunktur yang masih asing baginya. Bunda setuju. Kali pertama saat mengetahui hasil laboratorium dan persoalan yang terjadi pada Bunda, terapis akupunktur menyampaikan bahwa proses ini membutuhkan waktu dan kesabaran untuk menjalaninya. Dibutuhkan waktu penuh 3 bulan dengan 6 kali terapi setiap bulannya, kemudian dilanjutkan sampai 6 bulan hingga satu tahun dengan minimal sekali atau dua kali terapi setiap bulannya.



Aku dan Bunda sepakat untuk bersama dan bersabar menjalani proses. Alhamdulillah pada bulan pertama terapi, berhasil menunjukkan perubahan positif kepada kesehatan Bunda secara umum. Keluhan umum perlahan berkurang, tekanan darahnya selalu stabil. Pada tiga bulan pertama, Bunda dinyatakan lulus menjalani proses. Konsumsi obat-obatan sudah mulai berkurang jauh.

Di samping menjalani semua anjuran terapis akupunktur untuk melakukan beberapa gerakan latihan, aku juga menjaga pola makan Bunda. Kembali aku bersyukur, memiliki orang tua yang “penurut”, berkenan kuajak berpola hidup lebih sehat. Memperbanyak konsumsi buah dan sayuran segar, kuganti sumber karbohidrat dengan nasi merah atau hitam. Sementara di luar sana, ada banyak orangtua yang tidak berkenan diajak putra-putrinya berpola hidup sehat walaupun sudah dalam kondisi sakit. Aku juga bersyukur karena diberiNya kesempatan bisa merawat dan menjaga perempuan hebat dalam hidupku ini.

Setelah 6 bulan berlalu aku semakin yakin bahwa segala usaha, kesabaran dan doa itu akan terjawab pada saat yang tepat. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap usaha yang kita lakukan. Namun, tetap saja semua harus kita lakukan dengan kesungguhan, kesabaran dan kepasrahan kepada Tuhan. Kondisi Bunda membaik, bisa melakukan aktifitas lebih banyak, tidak ada lagi keluhan yang berarti tentang tulang belakangnya. Aku juga tidak ragu untuk mengajaknya jalan-jalan keluar kota dengan tetap membawa kursi roda untuk Bunda, agar tidak terlalu kelelahan.

Walaupun saat ini kondisi Bunda sudah membaik, aku tetap berusaha menjaganya sebagaimana dulu beliau merawatku. Aku yakin saat kecil dulu lebih cerewet daripada Bunda saat ini, yang kadang selalu bertanya berkali tentang berbagai hal yang sudah pernah kujelaskan. Dengan tetap tersenyum aku akan bercerita atau menjelaskan kembali. Aku berharap Bunda tetap berkenan tinggal bersamaku, walaupun sudah pulih kesehatannya. Apapun, senyum sehatmu adalah harapan dan doaku selalu. Bisa menjagamu dengan baik adalah kebahagiaanku, Bunda.





(vem/nda)