Mewarnai Dapat Menjadi Terapi Kegembiraan Pulihkan Kasus Trauma

Anisha Saktian Putri diperbarui 25 Feb 2019, 08:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Bukan hanya menyenangkan bagi anak-anak, ternyata aktivitas mewarnai dapat menjadi media terapi.

Sebenarnya penggunaan seni sebagai media terapi sudah mulai berkembang sejak tahun 1930-an di mancanegara. Penggunaannya cukup sering tampil pada penanganan kasus trauma.

Seseorang yang pernah mengalami peristiwa traumatik seringkali merasa terguncang jiwanya bahkan jauh setelah peristiwa buruk berlalu. Pada kasus trauma, seringkali sangat sulit untuk menceritakan rincian pengalaman traumatiknya.

Ketika bercerita, seseorang menjadi mengingat kembali pengalamannya, dan merasakan seolah pengalaman itu terulang kembali. Penghindaran atau rasa ingin cepat-cepat kabur dari sesi terapi sering terjadi karena ketidaksanggupan seseorang mengendalikan dirinya.

Ketua Rumah Amalia, Muhammad Agus Syafii mengatakan rasa ngeri, takut, cemas bercampur aduk sehingga menghambat proses terapi. Saat terapi dengan media seni mewarnai sedang berlangsung, seseorang diminta untuk menuangkan pikiran, ingatan, emosi, dan apapun yang sedang dirasakannya ke dalam sebuah terapi seni mewarnai (umumnya melibatkan perlengkapan seperti kertas sebagai alas, cat, pensil warna, krayon sebagai alat gambar).

“Pada saat anak berproses membuat sebuah terapi seni mewarnai dengan penuh kebebasan berekspresi dan juga bebas dari penilaian bagus atau jeleknya karya itu, maka pada saat itulah ia sedang merefleksikan dirinya,” paparnya saat ditemui di Rumah Amalia kala itu.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Senjata ampuh hilangkan trauma anak

Rumah Amalia

Keseruan menggunakan seni mewarnai dalam proses terapi sesungguhkan merupakan senjata ampuh ketika terapis berhadapan dengan anak-anak, namun seiring berjalannya waktu, ternyata bukan hanya anak yang menikmati seni mewarnai sebagai media terapi, tetapi orang dewasa juga merasakan manfaatnya.

“Karakter terapi seni mewarnai menyediakan wadah ekspresi yang bebas, tanpa penghakiman, dapat melibatkan warna-warna ceria, dan mendorong keaktifan koordinasi mata dan gerak anggota badan lainnya menjadikan proses terapi lebih dinamis dan tidak melulu diisi dengan kegiatan berbincang.Oleh sebab itulah, terapi berbasis seni visual cenderung lebih disukai, sehingga membantu kelancaran proses terapi secara keseluruhan,” tambahnya.

Tentu terdapat pertimbangan ketika memilih terapi seni untuk menangani kasus trauma. Terapi seni mewarnai menyediakan wadah untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, pengalaman, tekanan dalam diri, maupun emosi yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

“Seni mewarnai sebagai media terapi ini sangat membantu untuk beranjak maju semakin mendekati tujuan terapi dengan kondisi psikologis yang lebih nyaman,” ujarnya.

Biasanya terapi mewarnai ini bisa dilakukan untuk anak-anak usia Taman Kanak-Kanak hingga usia kelas empat Sekolah Dasar.

“Umut TK-SD kelas 4 biasanya mereka belum bisa atau tidak berani mengungkapkan apa yang dirasakan, makannya bisa dilakukan dengan terapi mewarnai. Sedangkan usia SD kelas 5 ke atas sudah bisa menuliskan apa yang dirasakan. Dan untuk anak SMP dan SMA sudah bisa digunakan terapi verbal,” tutupnya.