Angka Kekerasan Meningkat, Kenapa RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Belum Juga Disahkan?

Karla Farhana diperbarui 15 Mar 2019, 15:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap tahunnya, angka kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Tahun 2018 saja, menurut data dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2019 yang dikeluarkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% dari tahun sebelumnya.

Di antara banyaknya jenis kasus, Marital Rape atau perkosaan dalam perkawinan yang paling disoroti. Pasalnya, angka kasus ini meningkat sepanjang 2018. Hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap istri mencapai 195 kasus di tahun lalu. 

Kebanyakan, kasus dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A (138 kasus). Kasus selebihnya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya.

Selain kasus Marital Rape, juga ada kasus incest atau pemerkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah. Selain itu, kekerasan yang terjadi di ranah publik seperti di kantor, institusi pendidikan, transportasi umum, lingkungan tempat tinggal, dan lainnya, masih didominasi oleh kekerasan seksual berupa pencabulan. 

Namun, angka-angka dalam kasus ini tidak dibarengi dengan adanya kebijakan yang dapat memberikan keadilan bagi para korban kekerasan terhadap perempuan. Padahal, jika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dapat segera disahkan, angka kekerasan dapat ditekan. 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Diusulkan Sejak 2017

ilustrasi mencintai diri/copyright Pexels/mentatdgt

Sebenarnya, RRU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan sudah diusulkan sejak 2017. Namun, DPR hingga kini masih belum membahasnya. 

Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Gerindra Sodik Mudjahid menjelaskan, sebenarnya tidak ada kendala yang berarti dalam pembahasan RUU P-KS ini. Hanya saja memang masih perlu mendengarkan beberapa pendapat dari berbagai kalangan saja.

 

"So far tidak ada kendala yang prinsip. Hanya kurang sosialisasi draft dan progress pembahasan RUU maka nanti akan diperbanyak RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan elemen-elemen masyarakat," kata Sodik saat dihubungi merdeka.com, Kamis (31/1/2019). 

 

3 dari 3 halaman

Perdebatan dalam Pembahasan RUU

Google Doodle Perayaan Hari Perempuan Internasional. (Sumber Foto: Google)

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Iskan Qolba Lubis mengaku ada beberapa perdebatan dalam pembahasan RUU ini Salah satunya, ada penolakan terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. 

Pasalnya, penolakan terkait pengguna nama RUU atau nomenklatur. Menurut Iskan, fraksi PKS menolak RUU ini jika tidak ada perubahan nomenklaturnya dan pasal-pasal yang krusial menurut mereka. 

"Fraksi PKS menolak rancangan Undang-Undang ini kalau kalau dia tidak diubah nomenklaturnya dan pasal-pasal yang krusial itu," ujarnya pada Kamis 31 Januari 2019, seperti dikutip dari Liputan6. 

Iskan melanjutkan, fraksinya ingin mengubah nomenklaturnya, dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Penghapusan Kejahatan Seksual. Pasalnya, penggunaan diksi kekerasan pada nomenklatur dianggap ambigu. 

"Karena istilah kekerasan itu ambigu gak jelas apa maksudnya kita memakai istilah didalam Undang-Undang tentang perlindungan anak itu disebut kejahatan kan. Dalam Undang-Undang pidana juga," jelasnya. 

 

Sumber: Liputan6.com