Terima Kasih Menyadarkanku Bahwa tidak Perlu Membandingkan Orang

Ayu Puji Lestari diperbarui 27 Feb 2020, 11:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Tak pernah ada yang bisa baik-baik saja saat terjebak dalam hubungan yang beracun (toxic relationship). Baik dalam hubungan keluarga, kerja, pertemanan, hingga hubungan cinta, terjebak dengan seseorang yang memberi kita luka jelas membuat kita menderita. Namun, selalu ada cara dan celah untuk bisa lepas dari hubungan yang beracun tersebut. Selalu ada pengalaman yang bisa diambil hikmahnya dari hal tersebut. Simak kisah Sahabat Fimela berikut yang diikutsertakan dalam Lomba Let Go of Toxic Lover ini untuk kembali menyadarkan kita bahwa harapan yang lebih baik itu selalu ada.

****

Oleh: Adriana Anggraeni

Tidak hanya dalam hubungan asmara, sifat toxic juga sering ditemukan di lingkungan pekerjaan. Seperti yang akan saya ceritakan dalam seri Share Your Stories ini mengenai orang yang kelewat toxic di lingkungan pekerjaan saya.

Sebut saja sosok penuh toxic yang menjadi pusat cerita saya adalah si L. L merupakan HRD senior di kantor saya bekerja. Saya sendiri merupakan seorang fresh graduate dan ini pengalaman kerja pertama saya. Beberapa hari masuk, saya yang masih buta dengan dunia kerja merasa sangat terbantu dengan L. L sering mengajak saya bicara dan kami pun menjadi dekat. Semua baik-baik saja, bahkan saya sampai menganggap L bagai kakak sendiri karena saking seringnya beliau memberikan nasihat atau “pelajaran” tentang hidup. Hingga satu saat, saya mulai resah.

Semua bermula dari nasihatnya yang mulai menjadi ajang membanding-bandingkan. L kerap membandingkan saya dengan Z, rekan kerjanya yang sudah resign sebelum saya masuk. L kerap mengatakan ke saya seperti ini “kamu itu harus tegas”, “kamu harus belajar dari Z, dia itu anaknya tegas”, dan berbagai “ajaran” lain yang menurutnya baik. Dalam beberapa waktu, hari-hari saya penuh kesempurnaan Z yang harus saya tiru. Padahal menurut saya, hal-hal tersebut bukanlah hal yang penting. Setiap hari diberi “ajaran” seperti itu, saya mulai merasa muak. Ia juga kerap melarang saya bergaul dengan karyawan yang tidak dia suka dan ngambek jika saya tetap bergaul dengan orang tersebut. Toh, saya kerja harusnya mencari teman, masa jadi tidak mau bergaul karena dibilangin sama si L.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Sikapnya yang Kurang Menyenangkan Membuatku Tak Nyaman

copyright By TORWAISTUDIO (Shutterstock)

Lalu sekarang saya sudah memasuki bulan ke-5 di kantor ini, sifat toxic dari si L semakin terlihat. Mulai dari sering ngobrol dengan suara besar saat jam kantor, membuat kematian orang menjadi bahan candaan dan masih banyak lagi.

Pada awalnya saya bersyukur memiliki rekan kerja senior seperti L. Namun makin kesini, sifatnya semakin membuat saya jatuh. Saya kerap berpikir, apakah saya seburuk itu hingga dibanding-bandingkan dengan orang yang tidak saya kenal?

Saya memutuskan untuk menjaga jarak dengan L. Karena bukannya sebagai teman, sikap si L malah membuat saya down dan kesal sendiri. Saya perlu menghindarinya agar tidak mempengaruhi kinerja saya. Keputusan saya untuk menjauhi L tentu membuat saya merasa bersalah karena saya kerap teringat dengan sisi baiknya. Namun di satu sisi, saya harus melakukannya karena apa yang L katakan kepada saya bisa membuat kepercayaan diri saya turun.

Menjauhi seseorang dengan sifat toxic bukanlah hal yang salah. Terkadang harus menjadi egois untuk kebaikan sendiri, karena secara tidak langsung, L seperti menginjak-injak saya. Dengan bertemu orang bersifat macam begini, menjadi satu pembelajaran bagi saya untuk tidak membanding-bandingkan orang seperti yang L lakukan, karena saya mengetahui betapa runtuhnya kepercayaan diri saat dibandingkan dengan orang lain.

3 dari 3 halaman

Simak Video di Bawah Ini

#ChangeMaker