Perceraian Orangtua Membuat Emosi Kacau, Perubahan Terjadi setelah Aku Menikah

Endah Wijayanti diperbarui 11 Jun 2020, 11:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengubah kebiasaan lama memang tidak mudah. Mengganti kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik pun kadang butuh proses yang tak sebentar. Membuat perubahan dalam keseharian dan hidup selalu memiliki perjuangannya sendiri. Melalui Lomba Change My Habit ini Sahabat Fimela berbagi kisah dan tulisannya tentang sudut pandang serta kebiasaan-kebiasaan baru yang dibangun demi hidup yang lebih baik. 

***

Oleh: Ilona Tanjung

Aku tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh. Ya orangtuaku berpisah sejak aku berusia 9 tahun dan papaku sangat jarang menemui kami. Meski begitu aku menolak jika harus dicap sebagai anak brokenhome karena mamaku berjuang sangat keras untuk membesarkan kami dengan segenap waktu, tenaga, darah bahkan air mata. Bahkan ketika remaja aku tidak berani pacaran karena aku takut merusak nama baik mama. Aku punya pacar di masa sekolah tapi kegiatan kami tidak lebih dari belajar bersama di sekolah.

Status mamaku sebagai single parent tentu tidak mudah dijalani sehingga aku akan lakukan apa pun yang bisa aku lakukan untuk mempermudah kehidupan mama. Tidak ada yang salah denganku hingga aku tumbuh dewasa, hanya saja aku baru menyadari bahwa aku menjadi pribadi yang cukup perfectionist, temperamental, dan sangat tertutup. Aku lebih suka menghabiskan waktu di teritoriku sendiri dengan membaca dan melakukan hal yang aku sukai. Aku juga cenderung mudah tersinggung dengan perbuatan orang lain terhadapku. Aku mungkin tidak selalu mengekspresikannya langsung di hadapan orang tersebut tapi aku sering menumpahkannya pada mama dan orang terdekatku. Aku menjadi moody, sulit tidur, marah-marah untuk hal yang sepele dan sebagainya.

Menikah sepertinya tidak mengubahku menjadi lebih baik, setidaknya itu yang kurasakan. Malah suamiku sering menjadi sasaran pelampiasan atas kelelahanku. Aku menjadi lebih moody dari biasanya, dan yang aku sangat sesali hingga saat ini adalah aku pernah benar-benar membentak suamiku dan dengan lembutnya dia selalu menenangkanku. Suatu ketika dia bilang bahwa mungkin ada yang mengganjal di hatiku dan butuh teman bicara. Ah, aku tentu tidak tahu harus mulai dari mana karena sejujurnya aku juga tidak yakin dengan yang aku rasakan. Rasanya hanya ingin marah dan marah walaupun untuk hal sepele. Dan lagi lagi orang terdekatlah yang menjadi sasaranku.

Suamiku terus mengajakku bicara dari hati ke hati namun karena kami punya kesibukan masing-masing menyebabkan pembicaraan tersebut sering kali tidak maksimal. Setelah melahirkan anak pertama kami aku memiliki keinginan kuat untuk mengubah semua hal pada diriku namun aku masih tidak tahu caranya. Rasanya aku tidak bisa berpikir dan merasa dikejar-kejar oleh waktu. Namun hatiku selalu bahagia setiap kali aku melihat wajah anakku yang tertidur dengan lelapnya, suci, tulus tanpa dosa. Lantas aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku tega menodai ketulusan anakku, jika aku tidak berubah sekarang lalu kapan? Anakku akan melihatku dengan heran ketika dia mulai mengerti berbagai ekspresi dan aku tidak mau kemarahan menjadi satu satunya  ekspresi yang aku perkenalkan padanya. 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Pelan-Pelan Berubah

Ilustrasi/copyright shutterstock.com/Nina Buday

Maret lalu tepat satu tahun usia anakku dan bertepatan pula dengan virus corona melanda penjuru dunia, suamiku bekerja dari rumah dan punya lebih banyak waktu untuk keluarga kecil kami. Ini yang menjadi titik balik dan realisasi atas perubahan yang aku impikan.

Aku dan suami 24 jam bersama dan bisa lebih banyak bicara. Kami mulai membagi tugas rumah dan menjaga buah hati kami. Aku dan suami merancang beberapa poin untuk mengubah kebiasaan lamaku menjadi lebih baik agar semuanya jadi lebih mudah. Suami mengajakku bicara setiap malam tentang apa yang mengganjal di hatiku. Wajahku menjadi hangat karena aku menangis. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku merindukan papaku dan aku marah kenapa semua ini terjadi padaku di saat aku kecil. Aku benci bagaimana aku melewati hari hari tanpa beliau.

Awal proses mengubah kebiasaan ini aku masih sering terbangun tengah malam, menangis dan sulit tidur kemudian bangun kesiangan esok harinya. Suami membuatkanku sarapan pagi sebagai kebiasaan baru karena sebelumnya aku sangat jarang sarapan. Aku juga jadi rutin berjemur dan berolahraga sehingga aku jadi lebih mudah mengantuk setelah salat isya. Ibadah-ibadah sunnah yang biasanya tidak aku lakukan juga mulai aku lakukan dan itu tidak mudah tanpa bantuan dan dukungan suami. 

Dua bulan melakukan kebiasaan baru selama pandemi benar-benar mengubah mood dan kepribadianku. Dan ketika momen Idulfitri di tengah pandemi di mana kami hanya bisa bersilahturahmi via video call dan zoom aku merasa aku harus menghubungi papaku yang sudah sekitar 20 tahun tidak aku temui bahkan ku dengar suaranya.

Ternyata beliau sedang sakit dan aku belum bisa menghubunginya hingga saat ini. Jika nanti papaku bisa aku hubungi aku ingin mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya dan aku pun ingin meminta maaf. Aku memaklumi kesalahannya di masa lalu karena beliau pun saat itu adalah orangtua baru seperti halnya aku saat ini. Aku tidak mau lagi marah dalam hati dan aku ingin menjadi orangtua yang paling baik untuk anakku.

Mau tidak mau aku harus mengatakan bahwa pandemi ini banyak membawa kebaikan untukku dan keluarga kecilku. Semoga kebiasaan ini bisa terus aku lakukan agar aku selalu jadi lebih baik lagi.

Hi New Normal, I am ready for you.

#ChangeMaker