Kenangan Masa Kecil di Sudut Kampung Ujung Gading

Endah Wijayanti diperbarui 04 Agu 2021, 10:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh: Nursittah Nasution

Di sudut kampung yang bernama Ujung Gading, tepatnya di gang buntu 28 tahun silam aku terlahir dari rahim seorang wanita yang kupanggil ibu. Ibu merupakan penduduk asli dari Ujung Gading, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat.

Di sinilah, di gang buntu desa Ujung Gading, aku lahir dan menoreh banyak jejak keceriaan yang ternyata sangat berharga dan sangat ingin aku ulangi. Aku terlahir bungsu dari enam bersaudara. Aku memiliki tiga saudara laki-laki dan dua saudara perempuan.

Di antara kedua kakak perempuanku aku bisa dibilang paling nakal dan suka kelayapan kemana-mana. Meski waktu itu umurku baru 7 tahun tapi semua tempat-tempat indah sejenis sungai dan sawah-sawah hijau telah aku lewati bersama teman-temanku.

Waktu kecil aku paling suka sungai. Itu berawal dari pertama kali ibu mengajakku menemaninya mencuci baju di sungai. Sungai yang dalam bahasa kampung ku disebut “batang aie” memang tidak terlalu jauh dari rumahku dengan melewati jalan setapak kira-kira 300 meter dan menuruni anak tangga yang berjumlah 50 kemudian sedikit melewati pematang sawah maka sampailah di sungai yang alirannya bermuara di Pantai Air Bangis, pantai yang juga sering aku kunjungi saat liburan sekolah.

2 dari 2 halaman

Memori Bermain di Sungai

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/manop

Selama ibu mencuci baju biasanya aku hanya bermain-main air dan pasir di pinggir sungai bersama anak-anak tetangga. Maklum ibu-ibu rumah tangga di kampungku kebanyakan lebih senang mencuci baju di sungai daripada di kamar mandi sempit milik mereka.

Suasana sungai selalu ramai, puncaknya adalah hari Minggu pukul 10.00 pagi. Tidak hanya ibu-ibu rumah tangga atau tukang cuci keluarga tetapi juga gerombolan remaja putri yang datang hanya untuk mandi sambil membawa bekal nasi dan lauk di dalam rantang masing-masing. Aktivitas ini biasa disebut orang kampungku sebagai bakelah.

Sampai umurku menginjak 11 tahun aku masih suka mandi ke sungai terkadang membawa baju kotor milikku sendiri dalam ember kecil. Meski tanpa ibu karena fisik ibu yang sudah tidak kuat lagi untuk menuruni 50 anak tangga aku tetap pergi bersama teman-temanku.

Suara baju basah yang dihempaskan ke batu lonjong dan bulat ditingkahi dengan gossipan para ibu-ibu rumah tangga. Pembicaraan yang sangat ramai tentang keluarga masing-masing, tentang tingkah suaminya yang jarang pulang bahkan tentang mertua yang memandang sinis. Aku pernah berpikir apa ibuku dulu  juga suka membicarakan tingkahku yang sedikit nakal kepada teman-temannya atau malah rahasiaku yang suka ngompol di kasur saat umurku 9 tahun sudah terbongkar, kalau iya betapa malunya aku.

Setelah mencuci aku paling sering menyeberangi sungai yang memang tidak terlalu dalam bersama teman-temanku. Jujur saja aku tidak bisa berenang hingga hari ini. Pernah suatu waktu aku diajak salah seorang temanku ke sungai bagian hulu, lumayan jauh dari tenpat kami mandi biasa. Awalnya aku pikir tidak terlalu dalam, tapi setelah menjejak dasar sungai aku benar-benar tenggelam, sontak menggapai minta tolong. Pengalaman itu  membuat ku lebih berhati-hati saat mandi di sungai.

Betapa aku ingin kembali ke hari-hari indah itu.

#ElevateWomen