Tingkatkan Layanan Perawatan Jantung di Indonesia, Philips Berkolaborasi dengan YJI dan ARSSI

Zahra Raudhatul JannahDiterbitkan 30 Mei 2025, 09:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Perjalanan menjaga kesehatan jantung di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring perubahan gaya hidup dan demografi masyarakat. Di tengah ritme hidup yang kian cepat, pola makan tidak sehat, dan minimnya aktivitas fisik menjadi bagian dari keseharian banyak orang, yang tak disadari membuka pintu bagi risiko penyakit kardiovaskular.

Penyakit jantung, yang dahulu dianggap hanya menyerang kalangan usia lanjut, kini mulai merambah kelompok usia yang lebih muda, bahkan mereka yang masih berada dalam masa produktif. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan jantung.

Sistem kesehatan pun menghadapi tekanan yang besar akibat meningkatnya jumlah penderita penyakit kardiovaskular, yang tidak hanya berdampak pada kualitas hidup individu, tetapi juga pada beban ekonomi nasional. Dalam sebuah survei, tercatat bahwa penyakit jantung menjadi salah satu penyebab utama kematian dan memakan biaya pengobatan yang sangat besar setiap tahunnya. Namun, kenyataannya, jumlah dokter spesialis jantung dan fasilitas layanan kesehatan yang memadai masih terbatas dan tidak merata di seluruh pelosok negeri.

Menjawab tantangan ini, Royal Philips bekerja sama dengan Yayasan Jantung Indonesia dan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia untuk mendorong adopsi teknologi canggih dan inovasi digital dalam layanan kardiovaskular. Kolaborasi ini diharapkan dapat mempercepat diagnosis, meningkatkan akses perawatan, serta memberikan solusi kesehatan jantung yang lebih efektif dan merata bagi masyarakat Indonesia.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Sinergi Teknologi Canggih untuk Perawatan Jantung yang Lebih Baik di Indonesia

Sesi diskusi bersama narasumber pada Media Briefing Philips (Foto Dok: Philips Indonesia).

Royal Philips (NYSE: PHG, AEX: PHIA), pemimpin global di bidang teknologi kesehatan, bekerja sama dengan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) dalam mendorong transformasi layanan kardiovaskular di Indonesia. Kolaborasi ini menekankan pentingnya adopsi teknologi canggih, seperti pencitraan, pengobatan, dan pemantauan berbasis kecerdasan buatan (AI), sebagai solusi untuk meningkatkan akses dan kualitas perawatan jantung, terutama di tengah keterbatasan tenaga kesehatan.

Dalam forum multipemangku kepentingan bertajuk "Transformasi Digital dalam Perawatan Kardiovaskular: Kemajuan, Tantangan, dan Langkah ke Depan", ketiga institusi ini  menyuarakan mengenai urgensi inovasi sistem kesehatan dan integrasi teknologi digital untuk menjawab tantangan penyakit kardiovaskular yang terus meningkat di Indonesia.

Beban Penyakit Jantung Terus Meningkat

Penyakit kardiovaskular saat ini menjadi penyebab utama kematian di Indonesia, dengan lebih dari 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Beban yang ditimbulkan pada sistem kesehatan nasional sangat besar, dengan biaya mencapai Rp10,3 triliun per tahun. Namun, jumlah dokter spesialis jantung yang tersedia masih sangat terbatas, hanya sekitar 1.500 orang di seluruh Indonesia, dan layanan jantung lanjutan pun umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar.

dr. BRM. Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K), FIHA, FAsCC, Ketua Bidang Medis Yayasan Jantung Indonesia (YJI), menyatakan, “Belum adanya dokter jantung di daerah tertentu serta kurang lengkapnya fasilitas diagnostik menyebabkan keterlambatan dalam penanganan. Akibatnya, pasien sering kali datang dalam kondisi sudah parah sehingga penanganan menjadi lebih kompleks.”

Selain tantangan ketersediaan tenaga medis, penyakit jantung kini juga mulai menyerang generasi muda. “Semakin banyak anak muda Indonesia, bahkan yang berusia 20–30 tahun, terdiagnosis menderita penyakit ini. Penyakit jantung tidak hanya menyerang usia lanjut, tetapi juga kelompok usia produktif yang harus menyesuaikan hidupnya untuk mengelola penyakit ini seumur hidup,” jelas dr. Ario.

Ia menegaskan bahwa semua lapisan masyarakat harus sadar dan waspada karena penyakit jantung dapat menjangkit siapa saja, tidak selalu orang tua, dan bisa juga disebabkan oleh faktor keturunan. Oleh karena itu, “Rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan menjaga gaya hidup sehat adalah langkah awal penting untuk mencegah penyakit ini.”

“Percepatan edukasi, pencegahan, serta deteksi dan pengobatan dini sangat krusial. Semakin cepat penyakit dikenali, semakin besar peluang untuk menghindari komplikasi dan meringankan beban layanan kesehatan nasional,” tutup dr. Ario. 

 

3 dari 3 halaman

Kesiapan Rumah Sakit dalam Menghadapi Tantangan Penyakit Jantung

Sesi diskusi bersama narasumber pada Media Briefing Philips (Foto Dok: Philips Indonesia).

Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), drg. Iing Ichsan Hanafi, MARS., MH, menyoroti pentingnya kesiapan rumah sakit dalam menghadapi peningkatan jumlah pasien penyakit jantung, terutama di kalangan usia muda. Ia menjelaskan, di Indonesia terdapat sekitar hampir 3.150 rumah sakit yang terdiri dari rumah sakit vertikal, rumah sakit daerah, dan rumah sakit swasta.

“Di fasilitas rumah sakit vertikal, layanan jantung sudah relatif banyak dan berkembang, tetapi di rumah sakit daerah layanan tersebut masih sangat terbatas. Sementara itu, di rumah sakit swasta hanya rumah sakit tertentu yang memiliki fasilitas layanan jantung lengkap,” ujar drg. Iing. Selain fasilitas yang belum merata, tantangan lain yang dihadapi adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang terlatih khusus dalam bidang kardiovaskular.

Ia menegaskan bahwa meningkatkan kesiapan rumah sakit tidak hanya soal fasilitas, tetapi juga pembangunan kapasitas SDM yang memadai agar layanan jantung dapat lebih cepat dan tepat diberikan kepada pasien. “Fokus pelayanan harus bergeser ke arah yang lebih proaktif, cepat, dan berpusat pada pasien, untuk semua kelompok usia,” tambahnya.

 

Komitmen Philips untuk Memberikan Perawatan Lebih Baik bagi Lebih Banyak Orang

Para pemimpin layanan kesehatan sepakat bahwa teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) menjadi kunci utama untuk menjembatani kesenjangan layanan kesehatan, khususnya dalam perawatan kardiovaskular. Teknologi seperti pencitraan canggih, pemantauan jarak jauh, serta integrasi data lintas fasilitas membuka peluang baru untuk diagnosis yang lebih cepat dan akurat. Survei Philips Future Health Index 2024 menunjukkan bahwa 74% pemimpin layanan kesehatan di Indonesia berencana mengadopsi teknologi generative AI dalam tiga tahun ke depan, jauh di atas rata-rata global yang hanya sebesar 56%.

dr. Ario menambahkan, “Teknologi yang tepat tidak hanya menyederhanakan alur kerja, tetapi juga mempercepat diagnosis dan meningkatkan hasil perawatan. Dengan AI, kami dapat melayani lebih banyak pasien secara efisien, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber daya.”

Sementara itu, Astri Ramayanti Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia, menegaskan komitmen perusahaan untuk memperluas akses layanan kesehatan berkualitas di Indonesia. “Visi Philips adalah memberikan akses kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia. Solusi yang kami kembangkan tidak hanya berbasis sistem terkoneksi, tetapi juga memanfaatkan kecerdasan buatan yang mempermudah proses kerja tenaga kesehatan,” ujarnya.

Philips bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi di seluruh tahapan layanan. Solusi pencitraan berbasis AI, seperti ultrasonografi jantung, CT, dan MRI, membantu dokter mendeteksi kondisi jantung lebih awal dan akurat serta mempercepat proses diagnosis. Dengan pengukuran otomatis dan wawasan waktu nyata, alur kerja klinis menjadi lebih sederhana dan diagnosis semakin dapat dipercaya.

Philips, YJI, dan ARSSI menyadari bahwa kemajuan teknologi harus diimbangi dengan sinergi antar berbagai pihak untuk menghadirkan layanan kesehatan jantung yang optimal bagi seluruh lapisan masyarakat. Menuju transformasi digital yang kolaboratif, ketiga organisasi sepakat bahwa kolaborasi publik-swasta sangat penting dalam memperluas dampak inovasi. Transformasi digital tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang kemitraan strategis dan keselarasan visi untuk membangun layanan kesehatan yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan.

“Inovasi harus bisa diakses dan diterapkan secara luas. Ini membutuhkan kolaborasi erat antara pelaku industri, penyedia layanan kesehatan, dan pemerintah,” tutup Astri.