Perempuan Jadi Pihak yang Paling Terdampak Ketika Terjadi Bencana, Mengapa?

Vinsensia DianawantiDiterbitkan 08 Desember 2025, 16:00 WIB

ringkasan

  • Perempuan lebih rentan terhadap dampak bencana karena ketidaksetaraan gender struktural, peran pengasuhan, status sosial ekonomi rendah, dan mobilitas terbatas yang menghambat evakuasi serta akses informasi.
  • Dampak fisik bencana pada perempuan meliputi tingkat kematian yang lebih tinggi, masalah kesehatan reproduksi, peningkatan risiko kekerasan berbasis gender, serta beban kerja yang berlipat ganda pasca-bencana.
  • Secara mental, perempuan lebih mungkin mengalami depresi, PTSD, dan distres psikologis setelah bencana, sehingga membutuhkan dukungan psikososial berkelanjutan dan pengarusutamaan gender dalam mitigasi bencana.

Fimela.com, Jakarta - Sahabat Fimela, bencana alam, baik yang disebabkan oleh faktor geologis maupun iklim, semakin sering melanda berbagai belahan dunia. Namun, dampak dari peristiwa dahsyat ini tidak dirasakan secara merata oleh semua orang. Perempuan, seringkali menjadi kelompok yang paling rentan dan terdampak secara tidak proporsional, baik secara fisik maupun mental.

Ketidaksetaraan gender yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat memperburuk kerentanan ini, mengubah bencana menjadi krisis yang sangat gender. "Ketidaksetaraan gender struktural yang sudah ada sebelumnya berarti bahwa bencana memengaruhi perempuan dan anak perempuan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki," demikian menurut Vertex AI Search.

Memahami mengapa perempuan yang paling terdampak ketika terjadi bencana adalah langkah krusial untuk menciptakan sistem mitigasi yang lebih adil dan efektif. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai faktor-faktor pemicu kerentanan ini serta upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi mereka.

What's On Fimela
2 dari 5 halaman

Mengapa Perempuan Menjadi Kelompok Paling Rentan?

mimpi bencana alam ©Ilustrasi dibuat AI

Kerentanan perempuan terhadap bencana berakar pada norma budaya, peran sosial, dan distribusi sumber daya serta kekuasaan yang tidak setara. Studi menunjukkan bahwa perempuan secara tidak proporsional menderita dampak bencana, peristiwa cuaca ekstrem, dan perubahan iklim karena norma budaya dan distribusi peran, sumber daya, serta kekuasaan yang tidak setara, terutama di negara-negara berkembang. Ini adalah masalah kompleks yang membutuhkan perhatian serius.

Perempuan seringkali memiliki tanggung jawab utama untuk merawat rumah tangga, anak-anak, anggota keluarga lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Tanggung jawab ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk mengevakuasi diri atau mencari perlindungan selama bencana; misalnya, sekitar 80% orang yang tertinggal di New Orleans setelah perintah evakuasi wajib adalah perempuan. Kondisi ini menunjukkan bagaimana peran sosial dapat membatasi pilihan perempuan dalam situasi darurat.

Selain itu, perempuan cenderung memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah, aset yang lebih sedikit, serta akses terbatas terhadap tanah, kredit, dan asuransi. Kemiskinan dan pendidikan yang terbatas menjadi penghalang, membuat perempuan lebih bergantung pada sumber daya alam dan memiliki lebih sedikit pilihan untuk beradaptasi. Pembatasan budaya terhadap mobilitas juga dapat menghalangi akses perempuan terhadap informasi dan layanan, bahkan pakaian tradisional atau norma budaya tertentu dapat menyulitkan perempuan untuk melarikan diri dari bahaya, seperti berlari atau berenang.

Kurangnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, peran kepemimpinan, dan kegiatan keterlibatan masyarakat terkait manajemen risiko bencana juga memperparah kerentanan mereka. Mereka mungkin memiliki akses yang lebih rendah terhadap informasi, pendidikan, dan sistem peringatan dini yang dapat membantu mereka mempersiapkan diri dan menghindari bencana. Ini adalah siklus yang harus dipecahkan untuk memastikan perlindungan yang lebih baik.

3 dari 5 halaman

Dampak Fisik dan Kesehatan yang Mengancam Perempuan Pasca Bencana

Dampak fisik bencana pada perempuan sangat beragam dan seringkali diperparah oleh kerentanan yang sudah ada. Studi menunjukkan bahwa bencana alam membunuh lebih banyak perempuan daripada laki-laki, terutama di masyarakat di mana status sosial ekonomi perempuan rendah. Sebagai contoh, dalam tsunami Asia tahun 2004, 70% korban tewas adalah perempuan, sebuah statistik yang sangat mengkhawatirkan.

Bencana juga dikaitkan dengan peningkatan angka keguguran dini, lahir mati, dan kelahiran prematur. Kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai, terutama bagi ibu hamil dan menyusui, serta hilangnya dukungan medis secara tiba-tiba, menempatkan perempuan dan bayi mereka pada risiko tinggi, meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Ini adalah krisis kesehatan reproduksi yang sering terabaikan.

Risiko kekerasan berbasis gender (KBG), termasuk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan perdagangan manusia, meningkat secara signifikan selama dan setelah bencana. Situasi pengungsian yang padat, ketegangan akibat masalah keuangan, dan masalah kesehatan mental yang diperparat oleh trauma bencana dapat memicu perilaku agresif. Perempuan mungkin menghindari tempat penampungan karena takut akan kekerasan seksual, seperti yang disampaikan oleh Kemenko PMK bahwa setiap bencana selalu menunjukkan perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan.

Perempuan juga menghadapi risiko malnutrisi yang lebih tinggi, penyakit kronis, dan penyakit menular karena mereka mungkin mengorbankan makanan mereka untuk anggota keluarga lain. Kurangnya fasilitas sanitasi yang memadai di tempat penampungan juga dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti ruam perineum dan infeksi saluran kemih. Setelah bencana, perempuan kemungkinan besar akan bertanggung jawab untuk merawat orang sakit dan terluka, sambil tetap menjalankan tugas sehari-hari, termasuk mengantre untuk pasokan bantuan atau menempuh perjalanan lebih jauh untuk mengakses air.

4 dari 5 halaman

Beban Mental dan Psikologis yang Tak Terlihat: Trauma Mendalam bagi Perempuan

Para ahli dan psikolog menyoroti bahwa perempuan lebih mungkin mengalami dampak mental dan psikologis yang parah setelah bencana. "Perempuan jauh lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk mengalami depresi dan gangguan stres pascatrauma (PTSD) setelah peristiwa bencana," demikian menurut American Psychiatric Association. Sebuah studi bahkan menemukan bahwa paparan bencana memiliki efek yang lebih jelas pada gejala PTSD untuk perempuan dibandingkan laki-laki, bahkan dengan tingkat paparan yang sama.

Evakuasi dan penempatan kembali sementara juga meningkatkan tingkat distres psikologis, kecemasan, depresi, dan PTSD pada perempuan. Mereka juga mengalami peningkatan viktimisasi psikologis dan fisik setelah bencana, yang memperparah kondisi mental mereka. Peningkatan stres dan ketegangan akibat bencana dapat memperburuk masalah kesehatan mental yang sudah ada dan memicu masalah baru.

Korban bencana melaporkan kehilangan rasa tempat dan keamanan, serta kesedihan karena kehilangan benda-benda yang membuat rumah menjadi rumah. Trauma, kesedihan, dan kehilangan ini menciptakan luka batin yang mendalam. Dukungan sosial yang kuat dan rasa kebersamaan dapat menjadi pelindung terhadap depresi dan masalah kesehatan mental lainnya. Namun, dukungan sosial yang rendah, pengangguran, dan pendapatan yang lebih rendah dapat menjadi faktor risiko depresi pada perempuan setelah bencana.

Menteri PPPA Arifah Fauzi juga menegaskan bahwa perempuan mengalami trauma mendalam pasca-bencana, terutama saat melihat rumahnya hanyut dan memikirkan masa depan. "Saya melihat justru yang trauma, yang perlu pendekatan berkelanjutan adalah kaum perempuan," kata Arifah Fauzi, menekankan perlunya layanan psikososial dan konseling berkelanjutan bagi para perempuan terdampak.

5 dari 5 halaman

Membangun Ketahanan: Langkah Konkret untuk Perlindungan Perempuan dalam Bencana

Mengurangi dampak bencana pada perempuan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan peka gender. Penting untuk mengintegrasikan dimensi gender ke dalam kerangka kebijakan, sistem, proses, dan alat pengurangan risiko bencana (PRB). Ini berarti mempertimbangkan bagaimana dinamika gender memengaruhi dampak bencana di suatu wilayah sebelum membuat keputusan kebijakan atau desain proyek.

Melibatkan dan memberdayakan perempuan dalam perencanaan dan respons bencana sangatlah krusial. Perempuan dapat membantu mengidentifikasi risiko bencana untuk diri mereka sendiri dan anak perempuan yang mungkin tidak dipahami oleh perencana laki-laki. Di Pulau Sabutung, Pangkep, Fitri, Ketua Sekolah Perempuan (Muda), menyosialisasikan peran krusial perempuan dalam mengantisipasi bencana, terutama karena mereka sering menjadi pengambil keputusan utama saat suami melaut.

Pengumpulan dan analisis data dampak bencana yang terpilah berdasarkan gender sangat penting untuk memahami kerentanan spesifik dan merancang intervensi yang tepat. Selain itu, memastikan akses perempuan terhadap informasi, pendidikan, layanan kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi), dukungan psikososial, dan sumber daya keuangan adalah kunci. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, kelangkaan air membatasi akses anak perempuan pada sanitasi yang aman dan kesehatan reproduksi, serta meningkatkan risiko keselamatan saat mengambil air bersih.

Mitigasi kekerasan berbasis gender juga harus menjadi prioritas, dengan mengembangkan koneksi antar organisasi sebelum bencana untuk menciptakan kepercayaan dan pemahaman tentang fokus KBG dalam sistem respons bencana. Ini termasuk mengembangkan langkah-langkah tempat penampungan dan kamp untuk melaporkan KBG, meningkatkan kesadaran, memastikan kerahasiaan korban, dan menerapkan protokol untuk fasilitas aman bagi perempuan dan anak perempuan. Pembangunan harus memikirkan manusia, lingkungan, dan mitigasi bencana, tidak hanya keuntungan ekonomi jangka pendek.

Membangun pemberdayaan perempuan dan melibatkan mereka dalam perencanaan bencana menciptakan ketahanan yang kuat. Program-program harus bertujuan untuk membangun basis aset perempuan, mempromosikan partisipasi mereka dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, dan meningkatkan pemberdayaan mereka dalam masyarakat. Dengan mengakui dan mengatasi ketidaksetaraan gender yang mendasari, masyarakat dapat membangun sistem pengurangan risiko bencana yang lebih adil dan efektif, memastikan bahwa perempuan tidak lagi menjadi pihak yang paling terdampak dalam menghadapi krisis.