Sukses

Entertainment

Karen Armstrong, Membawa Perdamaian Dunia Melalui Perbedaan Agama

Next

Karen Armstrong

Karen Armstrong lahir sebagai pemeluk agama yang tegas sekaligus gelisah. Tegas, karena ia tahu apa yang dicarinya dari sebuah agama, yaitu rasa belas kasih yang saling mengasihi dan menyayangi sesama manusia. Namun di sisi lain, ia juga gelisah apakah Katolik Roma yang dipeluknya dan membuatnya mengabdikan diri sebagai biarawati, adalah benar jawabannya. Dari itu, ia membuat riset dari semua agama yang ada -dari Kristen, Islam, Yahudi, Hindu, hingga Budha- demi menemukan rasa penasarannya selama ini.  Hasilnya, ia menarik kesimpulan bahwa dasar dari alam semesta ini bukanlah siapa Tuhanmu dan siapa Tuhanku, melainkan cinta kasih. Sayangnya, apa yang ditemukan dan kemudian diyakininya ini, tidak berjalan seirama di kehidupan nyata. Dunia terus saja diwarnai konflik kekerasan yang mengatasnamakan satu agama dengan agama lainnya.

Karen tak bisa tinggal diam. Apalah gunanya ia mengembara mencari kebenaran lalu menemukannya, bila hanya ia seorang yang meyakininya. Ditulislah buku berjudul “History of God” di tahun 1993 yang menggemparkan dunia. Mengambil nilai-nilai belas kasih yang ada di tiga agama berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu Kristen, Yahudi, dan islam, Karen memaparkan fakta-fakta tentang Ketuhanan yang seringkali kabur dengan eksklusivitas sebuah agama. Ia memperlihatkan dalam buku tersebut bahwa tak ada yang bisa menunjuk satu agama itu paling benar atau paling pantas untuk diyakini. Yang harus diyakini adalah bahwa setiap agama mengajarkan cinta kasih dan menghormati sesama manusia.

“Agama bukanlah tentang meyakini sesuatu. Agama adalah tentang bagaimana kamu bertingkah laku. Agama adalah bagaimana satu sama lain saling terkait secara etis. Bagaimana bersikap yang bisa mengubahmu, memberimu kesucian, dan kesakralan,” urai Karen.

Next

 

Karen Armstrong

Setelah memaparkan sejarah Ketuhanan, pemikiran Karen lalu berkembang ke dalam buku selanjutnya yang berjudul “Twelve Steps to a Compassionate Life” di tahun 2010. Compassion atau belas kasih menjadi fokus utamanya kini, karena ia melihat bahwa dunia sangat memerlukan pemahaman jelas tentang cara berbelas kasih yang mampu bertahan di era penuh pertentangan ini. Belas kasih yang dijunjung Karen bukanlah rasa mengasihani, tapi saling merasakan dan mengerti kepada sesama.

“Belas kasih itu penting karena perbedaan agama seharusnya menjadi dasar untuk membangun komunitas global dimana semua orang bisa hidup bersama dengan saling menghargai dan tidak menjadi alasan bagi pihak yang berkuasa untuk menyakiti mereka yang lemah. Bila belas kasih ini bisa tercapai, bukan tak mungkin kita mewariskan dunia yang jauh lebih layak kepada generasi berikutnya. Ideologi apapun-religius maupun sekular-yang menumbuhkan kebencian dan pelecehan antarsesama adalah ujian untuk kita semua saat ini,” ujarnya tegas.

Paham Karen tentang belas kasih tersebut, lalu turut diboyongnya ketika ia datang mengunjungi Jakarta pada awal pertengahan Juni lalu. Yulin Febrina, 30 tahun, account manager, yang menjadi pembaca setia buku dan pengagum ajarannya, menyaksikan sendiri bagaimana pluralisme memang benar bisa berjalan beriringan tanpa harus dibumbui dengan muatan lain.

“Mempertanyakan agama boleh saja. Tapi, dari kuliah umum yang ia gelar selama kurang lebih dua jam itu, saya nggak menemukan alasan untuk mengamini bahwa agama adalah dasar kita tidak saling menyayangi sesama manusia. Hebatnya, Karen mampu memaparkan fakta-fakta tentang berbagai agama tanpa menarik kesimpulan yang menyinggung salah satu pihak. Ia memaparkan teori dan kitalah yang menyimpulkannya. Yang mana itu adalah kita memang memerlukan sikap belas kasih ini segera terwujud di dunia,”.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading