Protein Nabati dalam MBG: Solusi Gizi Anak & Tantangan Swasembada Kedelai

Fimela.com, Jakarta Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah upaya strategis untuk mengatasi masalah gizi buruk dan stunting di Indonesia. Inisiatif ini mendukung tumbuh kembang anak, kesehatan ibu hamil, serta ibu menyusui secara komprehensif.

Namun, implementasi MBG menghadapi tantangan, termasuk kasus keracunan yang menyoroti pentingnya kontrol kualitas ketat. Salah satu aspek krusial adalah komposisi nutrisi, khususnya kecukupan protein esensial bagi tumbuh kembang anak.

Kesenjangan protein dalam pola makan anak Indonesia menjadi perhatian serius yang perlu segera diatasi. Sahabat Fimela, Protein Nabati dalam MBG hadir sebagai alternatif solusi gizi yang menjanjikan dan terjangkau.

Protein merupakan makronutrien sangat penting untuk anak, berperan dalam pembentukan serta regenerasi sel tubuh. Nutrisi ini juga vital untuk pembentukan otot, tulang, organ, dan produksi hormon serta enzim penting.

Certified Nutritionist Melly Wijayanti, S.Gz., menjelaskan bahwa protein memiliki peran yang sangat penting dalam masa pertumbuhan anak. “Protein berperan sebagai zat pembangun, mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan untuk mendukung tumbuh kembang anak,” ujar Melly

Asupan protein cukup mendukung fungsi otak, meningkatkan daya tahan tubuh, dan mencegah stunting pada anak. Kebutuhan protein harian anak bervariasi tergantung usia dan berat badan mereka.

Anak usia 6–11 bulan membutuhkan sekitar 15–18 gram protein per hari, sedangkan anak usia 1–3 tahun direkomendasikan mengonsumsi 13–20 gram. Sementara itu, anak usia 4–6 tahun membutuhkan sekitar 19–25 gram protein harian.

“Idealnya dalam satu porsi makan program MBG, terdapat 8–15 gram protein agar kebutuhan harian mereka tercukupi,” ungkapnya.

Sayangnya, pola makan masyarakat Indonesia saat ini cenderung tinggi karbohidrat namun rendah protein. Kondisi ini dapat menyebabkan kekurangan protein pada anak, sehingga diversifikasi sumber gizi menjadi krusial.

Melly mengakui bahwa keterbatasan anggaran program MBG menjadi salah satu tantangan utama dalam penyediaan menu yang ideal. Sumber protein hewani seperti ayam, ikan atau telur memiliki harga lebih tinggi dibandingkan bahan nabati. Akibatnya, porsi protein dalam menu MBG kerap tidak maksimal. 

“Kita tidak bisa menyalahkan pihak penyusun menu, karena memang banyak keterbatasan di sistem, terutama pada alokasi biaya,” katanya.

Protein terbagi menjadi protein hewani dan protein nabati. Meskipun protein hewani sering dianggap lebih unggul, protein nabati memiliki peran penting dan dapat menjadi alternatif baik. Protein nabati juga memberikan bonus serat, vitamin, dan mineral penting.

Kedelai adalah salah satu sumber Protein Nabati dalam MBG yang sangat baik dan dapat diolah menjadi berbagai produk. Contohnya adalah tahu, tempe, kecap, dan susu kedelai yang mudah diakses.

Menurut Melly, tempe dan tahu memiliki kandungan protein nabati yang cukup tinggi serta mudah diolah. 

“Kalau memang ada keterbatasan dalam akses produk hewani, dibandingkan makan telur dua hari sekali, lebih baik tahu atau tempe setiap kali makan, karena harganya jauh lebih terjangkau,” ujarnya.

Dalam 100 gram kedelai kering, kandungan protein dapat bervariasi dari 10,62 gram hingga 40,4 gram, tergantung jenis dan pengolahan. Susu kedelai mengandung sekitar 7 gram protein per 100 gram, sementara tahu mengandung 9 gram protein per 3 ons.

Kedelai tidak hanya kaya protein, tetapi juga mengandung asam amino esensial lengkap serta nutrisi lain. Nutrisi tersebut meliputi kalsium, vitamin D, asam lemak omega-3 dan omega-6, serat, zat besi, dan folat. Kandungan ini mendukung pertumbuhan tulang, gigi, fungsi otak, dan kesehatan pencernaan. Kedelai juga menjadi pengganti baik bagi anak dengan intoleransi laktosa atau alergi susu sapi.

Melly menambahkan, protein sebaiknya tetap ada di setiap menu makan anak-anak, meskipun tidak selalu dari sumber hewani.

“Idealnya memang dari hewani karena lebih mudah diserap tubuh, tapi jika sumbernya terbatas, bisa diselingi dengan nabati. Setidaknya dua kali seminggu tetap ada lauk hewani jika memungkinkan,” jelasnya.

Meskipun kedelai memiliki potensi besar sebagai sumber protein Nabati dalam MBG yang terjangkau, Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Produksi kedelai dalam negeri sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan nasional.

Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas) konsumsi kedelai nasional Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 2,75 juta metrik ton di tahun 2025. Tingginya kebutuhan tersebut salah satunya karena adanya program MBG. Sebagian besar kebutuhan kedelai nasional tersebut saat ini belum bisa dipenuhi dari hasil produksi pertanian dalam negeri. Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi pengembangan produksi kedelai lokal di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Selain itu, keterbatasan akses pasar, kurangnya teknologi dan informasi, infrastruktur pertanian belum memadai, serta dukungan pemerintah belum optimal turut menjadi faktor. Hal ini membuat petani kurang termotivasi untuk menanam kedelai.

Namun, Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi kedelai lokal. Strategi yang dapat diterapkan meliputi pengembangan varietas unggul, perbaikan teknik budidaya, perluasan areal tanam, serta investasi dalam riset dan pengembangan teknologi. Dukungan kebijakan pemerintah dalam bentuk subsidi, bantuan benih, dan pelatihan sangat krusial untuk memotivasi petani. Beberapa daerah, seperti Lampung Utara, bahkan telah menjadi proyek percontohan pengembangan kedelai nasional yang berhasil.

Melly meyakini, adanya protein hewani dan nabati dalam setiap menu yang disantap anak-anak, membuat para penerima MBG tetap bisa mendapatkan asupan gizi yang seimbang. Program ini, menurutnya, tidak hanya soal pemberian makanan gratis, tetapi juga memastikan bahwa setiap porsi yang disajikan benar-benar mempunyai nilai gizi yang baik bagi pertumbuhan, kecerdasan dan masa depan anak-anak Indonesia