Sukses

Lifestyle

Alasan Mengapa ‘Speak Up’ Tak Mudah untuk Korban Pelecehan Seksual

Fimela.com, Jakarta Baru-baru ini, jagad maya dihebohkan oleh pengakuan seorang pengguna Twitter atas pelecehan seksual yang dialaminya pada 2018 lalu. Pelecehan tersebut diduga dilakukan oleh pembawa acara bernama Gofar Hilman.

Respon netizen pun beragam. Ada yang memberikan dukungan, tetapi tak sedikit pula yang justru mencibir. Beberapa netizen mengatakan bahwa pengakuan perempuan itu hanya mencari perhatian semata, karena baru mengungkapkan detail kejadian setelah bertahun-tahun lamanya.

Dalam ranah pelecehan seksual, ‘speak up’ adalah berani berbicara lantang mengenai peristiwa kelam yang pernah dialaminya. Menurut penulis buku Shame: The Power of Caring oleh Gershen Kaufman, alasan paling umum mengapa korban tidak segera angkat bicara adalah perasaan malu.

“Rasa malu ini bisa terbawa hingga korban menyalahkan diri sendiri atas tindakan pelakunya. Perasaan bertanggung jawab atas apa yang terjadi inilah yang menyebabkan beberapa perempuan tidak segera angkat bicara. Ketika orang merasa malu, mereka bersembunyi,” tulisnya dalam buku tersebut.

Psychology Today juga melaporkan tindakan pelecehan seksual menyebabkan perasaan dehumanisasi pada korban. Ketika kekuatan pribadi itu ditantang oleh viktimisasi dalam bentuk apa pun, mereka merasa terhina.

Korban mengalami trauma mendalam

Alasan lain beberapa korban tidak angkat bicara adalah karena pengalaman traumatis terkadang dapat mengacaukan ingatan korban. Sebab, secara alami otak mereka berjuang untuk mengatasi peristiwa traumatis.

“Memori tidak hanya memudar seiring waktu, tetapi ketika sirkuit pertahanan otak diaktifkan, korteks prefrontal, yang biasanya mengarahkan perhatian, dapat dengan cepat terganggu, mempengaruhi informasi apa yang direkam di dalamnya. Penyimpanan." ujar seorang psikolog di Harvard Medical School, James Hopper.

Namun, bukan berarti bahwa korban tidak mengingat kejadian tersebut, urutan kejadiannya mungkin tercampur. Rasa takut tidak dipercaya karena ketidakmampuan mengingat peristiwa secara berurutan menyebabkan beberapa korban tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami.

Korban sering kali disalahkan oleh masyarakat

Selain itu, stigmatisasi kekerasan seksual dari masyarakat kita menyebabkan banyak korban enggan melaporkan penyerangan mereka. Beberapa masyarakat justru menyalahkan korban dan tak jarang menormalkan jenis perilaku ini. Beberapa orang yang menyalahkan korban biasanya akan mengatakan “Dia yang memintanya” atau “Andai saja jika dia tidak memakai pakaian itu”.

Pemikiran seperti inilah yang secara langsung menyingkirkan korban, membuat mereka lebih sulit untuk berbicara. Korban tidak akan merasa nyaman untuk berbicara jika mereka merasa masyarakat menyalahkan mereka atas penyerangan yang mereka lakukan.

Padahal psikolog Sandra Shullman mengatakan, pakaian tidak ada hubungannya dengan mengapa orang diserang, namun masyarakat cenderung berasumsi bahwa korban yang mengundang.

"Ini adalah argumen untuk mengalihkan tanggung jawab kontrol dan kekuasaan dari pelaku ke korban. Masyarakat mencoba mencari alasan untuk menyalahkan korban atas penyerangan tersebut, bahkan sampai menyalahkan pakaian atas alasan mengapa penyerangan itu terjadi. Resistensi masyarakat untuk menyalahkan pelaku inilah yang membuat korban tidak angkat bicara.” tegas dia.

 

Rendahnya keadilan

Selain itu, beberapa korban menahan diri untuk tidak berbicara tentang penyerangan mereka karena mereka tahu pelakunya tidak akan menghadapi konsekuensi apa pun. Polisi secara statistik mengejar kejahatan penyerangan seksual pada tingkat yang lebih rendah daripada kejahatan lainnya. Menurut  data dari Rape, Abuse and Incest National Network dari setiap 1.000 pemerkosaan, 994 pelaku akan bebas.

Statistik ini berbahaya untuk dilihat oleh para korban. Korban akan percaya polisi tidak akan menganggap serius cerita mereka, membuat mereka enggan untuk maju. Banyak yang tidak melihat gunanya maju ke depan jika tidak ada keadilan.

 

Takut mendapat pembalasan dari pelaku

Banyak korban hidup dalam ketakutan, menjadi alasan lain mengapa banyak yang tidak melaporkan penganiayaan mereka. Mereka takut akan ancaman dari pelakunya.

Ketakutan akan pembalasan ini tidak hanya berlaku untuk kasus-kasus terkenal, orang yang menggunakan kekuatan mereka untuk memangsa orang lain sering kali cukup mahir memegang kekuatan itu dengan cara apa pun yang diperlukan.

Oleh sebab itu, dukungan sangat diperlukan bagi korban pelecehan seksual. Kita tidak bisa memaksa korban untuk segera membuat pengakuan atau segera melaporkan pelecehan yang dialaminya. Berikan dukungan dan ruang aman untuk mereka bercerita.

#Elevate Women

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading