Sukses

Lifestyle

Eksklusif Chandi Mantoro, Tinggalkan Bakat untuk Mengejar Passion

Fimela.com, Jakarta Donat. Jika menyebut nama makanan ini, yang terpikirkan adalah sebuah camilan bertabur mesis berbentuk bulat yang bolong di tengah. Atau bisa juga kudapan dengan bentuk lingkaran utuh yang bila disantap kamu baru bisa melihat limpahan selai buah yang menggoda. Namun, pernahkah kamu menyantap donat dalam bentuk dinosaurus?

***

Untuk kamu yang tinggal di Bandung dan Jakarta, pasti sudah tak asing lagi dengan Dino Donut. Yup! Hidangan berbentuk dinosaurus ini seringkali terlihat wara-wiri di berbagai sosial media. Bentuknya yang unik ditambah lagi dengan rasa yang ciamik, siapa pula yang sanggup untuk menolaknya?

Adalah Chandi Mantoro, seorang ahli pastry yang sanggup membuat hati banyak orang tertambat. Bagaimana tidak? Dengan kemampuannya di dapur, ditambah dengan kenyataan ia berasal dari keluarga yang sudah lama bergulat dengan kue membuat nama Dino Donuts akrab dengan kata 'lezat'.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

"Di bidang kuliner keluarga saya sudah generasi ke tiga. Dulu nenek saya sih pengajar kuliner. Keluarga kami sudah mulai dari tahun 1950." ungkapnya dengan santai kepada Bintang.com.

Meski demikian, ternyata Chandi Mantoro tak begitu saja langsung berkecimpung di dunia kuliner. Ia sempat mengikuti kemana bakat yang dimiliki berjalan. Namun ternyata, suara hatinya pun menjerit dan memintanya kembali untuk 'pulang'. Jadilah Chandi kembali bergulat dalam bidang yang selama ini sudah mendarah-daging.

Dikunjungi Bintang.com di jalan Pos Pengumben Raya no. 11 Jakarta Barat, Chandi Mantoro pun mengungkapkan kisah, perjuangan serta impiannya bersama dengan Dino Donuts. Yuk simak keseruannya bersama dengan editor feed Floria Zulvi dan fotografer Nurwahyunan selengkapnya.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Rela Tinggalkan Bakat Demi Passion

Ketika kata hati dan bakat miliki jalur yang berbeda, manusia pastilah dibuat bingung oleh pilihan. Bagaimana tidak, memilih antara hal yang disukai dengan hal yang mudah untuk dilakukan tidaklah seringan mengedipkan mata. Namun sepertinya Chandi Mantoro bisa melewatinya dengan mulus.

Sebelum terjun ke dunia bisnis kuliner pernah menekuni bisnis lain nggak?

Dulu saya sih auditor. Ngambil jurusan accounting and finance tepatnya. Jadi dulu pas SMA, semua orang tuh kayak 'lo yakin mau ambil jurusan tata boga?'. Jadi akhirnya saya tes bakat. Hasilnya yang pertama menunjukkan saya unggul di bidang matematika yang kedua baru accounting. Tapi setelah dipikir-pikir, kalau ambil jurusan matematika buat apa? Mau kerja apa? Nah, makanya awalnya saya jadi auditor selama tiga bulan dan malah menyesal ngambil itu.

Awalnya bisa tertarik terjun ke dunia kuliner?

Di bidang kuliner keluarga saya sudah generasi ke tiga. Dulu nenek saya sih pengajar kuliner. Keluarga kami sudah mulai dari tahun 1950. Nenek saya dulu ngajar di Krukut, punya sekolah gitu deh. Punya resep dan beliau mengembangkannya bersama dengan ibu saya. Sekarang dari semua cucu-cucunya cuma satu yang nerusin, saya.

Kalau pertama kali coba-coba itu kapan sih?

Dulu kan saya sekolah di Melbourne tuh, pas tahun-tahun terakhir kan biasanya sudah mula santai. Setiap malam itu saya kerjaannya begadang kalau nggak part time. Jadi, kalau mama berkunjung ke sana dia suka masak. Saat senggang itu saya coba masak seminggu sekali dan nyobain resep mama. Nah, saya masih ingat deh, cake yang pertama kali dibikin itu butter cake. Setelah saya bikin kok ternyata seru. Jadi deh setiap seminggu dua kali malah jadi bikin kue di sana.

Jadi mulai tahu kalau passionnya di kuliner itu kapan?

Semenjak tiga bulan kerja jadi auditor. Jadi dulu setiap saya ngeliat angka itu ngantuk. Apalagi kalau lagi ngaudit ke klien kan tuh. Tapi setiap ngeliat resep malah jadi semangat lagi.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Dukungan keluarga gimana?

Support pastinya meski awalnya sangsi. Jadi mamaku kan generasi yang tahun 60-an. Mereka masih berasa tukang kue itu nggak sederajat dengan auditor dan dokter. Mereka masih berpikir bahwa tukang kue itu di bawah mereka. Sampai orangtua saya juga sempat malu kalau ditanya pekerjaan orangtuanya apa. Tapi, di tahun 2000 ini, tukang kopi, barista, chef, segala macem jadi melonjak. Jadi pas saya mau nerusin mama sempat nanya 'kamu yakin mau jadi tukang kue?', ya saya bilang 'tukang kue sekarang beda sama yang dulu, lho!'

Siapa sih yang paling memotivasi?

Mama saya itu bukan tipe yang 'yuk, kamu harus bisa!'. Jadi, dia kalau ngomong itu ketus. Dia malah bilang 'ah, kamu mah nggak mungkin bisa!'. Nah, itu yang membuat saya berpikir 'ah, masa sih begini aja gue nggak bisa?'. Jadi ya saya termotivasi itu karena punya mimpi. Seperti mau buka toko kue yang bagus, mau sekolah lagi, gitu.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Dino Donuts Hingga Mobil Listrik

Dino donuts memberikan pemikiran yang baru bagi Chandi Mantoro. Pertemanan yang luar biasa pun memberikan sudut pandang pemikiran yang baru baginya. Berada di zona nyama dan aman, Chandi tetap miliki mimpi yang bisa dibilang di luar akal sehat. Namun, bukannya semuanya bisa saja terkabul asal kamu semangat dan usaha yang tak miliki garis batas?

Kelahiran Dino Donuts itu kapan sih?

Baru 9 bulan ini kok. Kita punya base di Bandung dan baru buka cabang di Jakarta.

Kenapa harus Dino? Kenapa bukan binatang yang lain? Istimewanya apa?

Karena Gufron, temanku, lagi makan donat. Nah, dia melihat keponakannya itu suka banget sama dinosaurus. Terus dia bilang 'eh Chan, kita bikin donat bentuknya dinosaurus, yuk!' terus saya bilang 'Yaudah, coba aja!' Akhirnya dia deh yang bikin cetakan segala macam dan coba-coba. Nothing to loose juga.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Adakah lika-liku saat pembuatan Dino Donuts?

Dino Donuts itu beda. Kalau Bengawans ini saya bikin selepas kuliah. Sementara toko kue ini saya hasil saya join bersama dengan empat orang teman saya yang menetap di Bandung. Malah awalnya dia bikin usaha rendang. Keren banget, dia bisa bikin rendangnya itu bertahan sampai satu tahun. Nah, dia mau bikin bisnis yang lain. Karena teman saya nggak ada background soal bikin kue, dia nelponin saya terus. Setiap hari deh sampai sebulan. Saya mulai penasaran dia mau bikin apa, tapi, dia masih belum kasih tahu. Setelah dia mulai mantap, baru deh ngomong dan ngajak join di Dino Donuts. Ya, saya bilang aja 'why not?'.

Peran sosial media buat Dino Donuts bagaimana?

Saya itu dididik di keluarga yang konvensional, istilahnya nunggu bola lah. Nah begitu saya mulai berbisnis dengan Mas Gufron ini saya baru menyadari kekuatan sosial media tuh ternyata gede banget. Benar-benar powerful banget. Jadi waktu itu saya pernah stock donat itu banyak banget, ada 300 buah. Saya panik karena takut nggak laku, dan saat itu saya telpon Gufron dan dia cuma bilang 'bentar ya gue posting di LINE dulu," dan dalam waktu 2 jam langsung habis terjual donatnya!

Apa sih yang membuat kerja sama Dino Donuts ini jadi berbeda dan menjadikannya sukses?

Jadi, kami melakukan usaha ini berempat, saya, Gufron Syarief, Januario Wibawa dan Rangga Prihandana. Masing-masing dari kami tuh bener-bener punya keahlian masing-masing. Kalau saya kan sebagai technical, kalau Mas Gufron itu CEO dan lebih memikirkan soal marketing, menganalisa pasar.

Kalau Mas Chandi sendiri kenapa mau gabung?

Saya merasa keluargaku itu pebisnis single fighter dalam artian dari dari dia muda sampai Bengawans ini ada. Saya merasa belajar dari kesalahan-kesalahan orangtua. Jadi, saya merasa kalau sendiri itu nggak ada yang memotivasi. Kayak kerja kelompok lah. Kenapa saya suka partnership? Karena setiap orang punya skill masing-masing dan saya bisa fokus di situ. Saya kan passionnya di pastry, nah saya nggak mau tuh ngurusin marketing. Saya nggak mau ngurusin promo-promo.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Karena ada banyak pemikiran, ada nggak sih ideologi yang terganggu?

Kalau pertengkaran sih seringkali terjadi. Tapi, menurut saya sih yang terpenting itu buktinya. Jadi gini, mereka kan nggak mengerti produksi seperti saya, nah misalnya saya bilang 'nih, kita mendingan pakai produk ini' tapi mereka menolak. Tapi saya tetap bilang karena saya tahu kalau bahan makanan yang saya pilih itu lebih bagus. Tapi, daripada ribut yaudah saya bilang 'yaudah buktiin aja!'. Jadi, ngapain berdebat seharian? Yang penting buktinya saja.

Pernah kepikiran bisnis lain nggak?

Jangan kaget ya kalian. Jadi, kami sudah punya CV kan. Namanya itu Bangun Pemuda-Pemudi karena kami mau menginspirasi. Nah, satu saat saya nanya sama Gufron Dino Donuts mau bagaimana nih kedepannya?', dia jawab 'pokoknya nanti ke depannya mau bikin mobil listrik!". Awalnya saya juga kaget dari donat mau ke mobil listrik. Nggak ada hubungannya kan?

Kenapa harus mobil listrik?

Jadi Mas Gufron itu baca buku judulnya Samsung Way. Jadi dulu bisnis pertamanya Samsung itu pertanian. Mereka menanam ppadi, bikin pupuk dan segala macamnya. Jadi jawabannya simple, kenapa harus pupuk dan Dino Donuts? Jawabannya dia simple 'karena yang bisa kita lakukan sekarang hanya ini,".

"Bermimpilah setinggi langit", kutipan tersebut seakan tak ada hentinya memberikan kekuatan kepada siapa pun yang mau mencoba. Terdengar mustahil memang. Namun, semangat dan tekad yang tak ada habisnya pasti bisa membuat orang yang bersikeras menemukan jalan.

Chandi Mantoro. (Fotografer: Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading