Sukses

Parenting

Kisah Perempuan sebagai Ibu Angkat dari Seorang Anak dengan Trauma Parah yang Melakukan Kekerasan Fisik

Fimela.com, Jakarta Pada akhir bulan Januari, Stephanie Giese menelepon 911 setelah diserang oleh seorang anggota keluarganya dan polisi menolak menanggapinya. Sebenarnya, saat itu seorang petugas operator memberitahu Stephanie bahwa polisi sedang dalam perjalanan untuk membantu dan menutup teleponnya.

Seorang petugas langsung menelepon ponsel Stephanie dan berteriak kepadanya karena memintanya datang. Stephanie bicara di telepon selama 10 menit, saat polisi itu memarahinya sampai ia menangis dan tetap tidak mau datang.

Putra Stephanie tahu bahwa ibunya adalah seorang penulis dan baru-baru ini ia meminta Stephanie menulis lebih banyak tentangnya. Stephanie tidak mencantumkan nama anaknya di bagian ini karena ia seorang remaja dan ini masalah pribadi, namun ia mencoba berbagi kisah selagi bisa, untuk membantu orang lain memahami situasi keluarganya yang mencari perawatan untuk sang anak.

Putra tertua Stephanie berumur 14 tahun dan ia memiliki beberapa diagnosa yang beberapa menyangkut kesehatan mental, beberapa kesehatan fisik, dan beberapa kemampuan kognitif, serta perbedaan neurologis. Setiap diagnosis sulit diperoleh setelah bertahun-tahun kunjungan dan pengujian dokter.

Terkadang, perilaku putranya berada di luar kendali dan perilaku tersebut dapat berupa kekerasan. Putra Stephanie sebesar pria dewasa, ia lebih tinggi dan lebih berat daripada ibunya.

Stephanie tidak menyalahkan putranya, ia mencintainya. Ia bukan orang jahat dalam situasi ini, tidak ada penjahat di sini, begitu juga tidak ada pahlawan, hanya anak dan orang tuanya, semua melakukan yang terbaik, yang mereka bisa.

Di sebagian besar waktu, ia anak yang manis dan baik hati, ia akan memegang tangan Stephanie di tempat parkir. Ia dapat menemukan kegembiraan yang intens dalam situasi yang paling biasa, seperti surat yang datang melalui pos.

 

 

Kejadian paling traumatis dalam hidup Stephanie dengan putranya

Stephanie sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain selain hidup seperti ini. Di tanggal 23 Januari, putranya bangun dalam suasana hati yang buruk, menanyakan apakah ia bisa belajar cara menggunakan senjata dan bicara tentang caranya ingin mengeksekusi tokoh masyarakat.

Akhir-akhir waktu itu, ia melihat orang lain di berita dan terobsesi untuk mengulangi tindakan mereka. Stephanie dan suaminya harus duduk dan menjelaskan dengan logika kesabaran, mengapa itu bukan ide yang bagus, bagaimana orang-orang itu melakukan sesuatu yang salah dan mengapa mereka tidak akan pernah memiliki senjata di rumah.

Saat mereka dalam perjalanan membeli makanan, putrinya bertengkar di kursi belakang, Stephanie menegurnya dengan nada suara yang tegas. Inilah yang membuat putranya tersentak, namun jika bukan itu, akan ada banyak hal yang bisa menjadi katalisator lainnya yang memicu munculnya sebuah episode.

Putranya berteriak untuk membalikkan mobil, lalu melepaskan sabuk pengamannya, menerjang ke kursi depan ke arah suaminya yang sedang mengemudi di jalan yang sibuk dan padat. Ia merobek kemeja suaminya dan meraih kemudi.

Ketika Stephanie mengulurkan tangan untuk menghentikannya, ia berbalik ke arahnya dan mengayunkan tinjunya ke wajah Stephanie. Kemudian, ia berbalik dan mulai mengayunkan tinjunya ke arah anak bungsu Stephanie yang duduk di kursi di belakang sang kakak.

Mereka berhenti di tempat parkir terdekat. Mereka pernah berada dalam posisi itu sebelumnya, berkali-kali dan hanya ada satu pilihan.

Setiap terapis dan dokter akan memberitahu untuk menelepon 911 jika seseorang berada dalam krisis, bahkan ambulans atau tim krisis keliling tidak akan merespon jika anak tersebut melakukan kekerasan. Stephanie tahu ini karena mereka sudah beberapa kali mendapatkan pengawalan polisi ke rumah sakit.

Stephanie tidak berhenti mencoba

Tapi ia menelepon lagi. Kata polisi, "Anda bukan pertama kalinya mengalami ini, Anda tahu tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali jika ia menjadi ancaman langsung bagi kehidupan seseorang."

Stephanie melihat kepada putrinya yang ketakutan dan gemetar di kursi belakang di saat saudara laki-lakinya memukulkan tinjunya kepadanya. Polisi tersebut melanjutkan, "Sekarang ia dikurung di dalam mobil, ia tidak memiliki senjata, dan ada 2 orang dewasa di sana. Anda adalah orangtuanya, bawa ia kerumah sakit jika Anda mau. Saya tidak bisa memborgol seorang anak, terutama jika ia memiliki diagnosis. Anda tahu itu."

Polisi itu benar dan Stephanie tahu itu. Hari itu, Stephanie tidak membawa anaknya kerumah sakit, ia tidak akan menempatkan pengemudi lain dalam bahaya dan ia tahu benar hasilnya ketika ia membawa putranya ke rumah sakit.

Jadi, ia berterimakasih kepada petugas polisi itu dan menelepon terapisnya. Selain itu, tidak ada yang bisa dilakukan selain duduk dan menunggu di tempat parkir sampai agresi putranya mereda, mereka tidak memiliki pilihan.

Stephanie telah memilih menjadi ibu angkat dari anak yang memiliki trauma parah selama hampir 14 tahun. Stephanie jugalah yang membawa putranya ke psikiater dan mengatur terapi bicara.

Untuk saat ini, Stephanie memaksa keluarganya hidup setiap hari dengan peran terapis dan dokter, perasaan tidak aman, namun tidak cukup berbahaya untuk melibatkan polisi. Jika keadaan ini meningkat ke titik di mana putranya benar-benar mengancam hidupnya atau orang lain dengan senjata dan rencana, maka ia mungkin berakhir dengan rawat inap, program perawatan, atau bahkan dipenjara.

Seperti orangtua lainnya, Stephanie hanya ingin putranya sehat. Ia tidak dapat melakukannya sendiri, namun apa yang bisa dilakukannya jika pihak lain menolak untuk membantu?

Anak-anak Stephanie berhak mendapatkan yang lebih baik dari ini dan begitu juga anak-anak lainnya. Bagaimana menurutmu?

#Elevate Women

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading