Misteri Hati: Kenapa Kita Bertahan di Hubungan yang Tidak Bahagia?

Ilustrasi Pasangan Toxic Relationship (sumber: unsplash)

ringkasan

Banyak individu bertahan dalam hubungan tidak bahagia karena ketakutan akan kesendirian, masa depan tidak pasti, perubahan, atau menyakiti pasangan, seperti ditunjukkan oleh survei eHarmony dan penelitian Joel et al.
Harga diri rendah, ekspektasi minim, dan gaya keterikatan tidak aman seperti trauma bonding atau repetition compulsion, menjadi faktor psikologis kuat yang menjebak seseorang dalam hubungan yang tidak sehat.
Bias kognitif seperti sunk cost fallacy (investasi waktu/emosi) dan harapan palsu akan perubahan

Fimela.com, Jakarta - Sahabat Fimela, mungkin Anda atau orang terdekat pernah berada dalam situasi yang membingungkan: tetap bertahan dalam hubungan yang jelas-jelas tidak lagi membawa kebahagiaan. Fenomena ini bukan hal baru, melainkan sebuah kompleksitas emosional yang melibatkan berbagai faktor.

Banyak individu merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan, namun enggan untuk melangkah pergi. Apa sebenarnya yang membuat kita sulit melepaskan diri dari ikatan yang justru menguras energi dan kebahagiaan?

Artikel ini akan mengupas tuntas alasan-alasan mendalam di balik keputusan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan, berdasarkan pandangan para ahli dan studi psikologi.

Jeratan Ketakutan yang Melumpuhkan Hati

Salah satu pendorong utama mengapa seseorang tetap berada dalam hubungan yang tidak memuaskan adalah ketakutan. Ketakutan ini datang dalam berbagai bentuk, mulai dari rasa takut akan kesendirian hingga kekhawatiran akan masa depan yang tidak pasti.

Dr. Cortney S. Warren Ph.D. ABPP menyebutkan bahwa, "Ketakutan akan kesendirian seringkali menjadi motivator kuat untuk tetap berada dalam hubungan yang telah melewati batas waktu berlakunya." Survei eHarmony di Inggris bahkan menunjukkan lebih dari separuh (54%) orang dalam hubungan tidak bahagia terlalu takut untuk berpisah. Ini menunjukkan prevalensi 'singlephobia' atau ketakutan mendalam akan kesendirian yang menghantui banyak orang.

Selain itu, ketakutan akan masa depan yang tidak pasti juga berperan besar. Mark Travers dari Forbes menjelaskan bahwa otak manusia dirancang untuk menghindari risiko, membuat hubungan yang tidak memuaskan terasa lebih 'aman' daripada prospek kehidupan setelahnya. Ketakutan akan perubahan, terutama bagi individu dengan gaya keterikatan cemas, juga menjadi faktor penentu. Bahkan, ada ketakutan untuk menyakiti pasangan, di mana penelitian oleh Joel, Impett, Spielmann, & Macdonald (2018) menunjukkan bahwa seseorang mungkin bertahan bukan karena perasaannya sendiri, melainkan karena perasaan pasangannya yang sangat bergantung pada hubungan tersebut.

Harga Diri Rendah dan Pola Keterikatan Emosional

Harga diri yang rendah seringkali menjadi akar masalah sekaligus konsekuensi dari bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Individu dengan harga diri rendah cenderung merasa tidak layak mendapatkan yang lebih baik, seperti yang diungkapkan Dr. Randi Gunther Ph.D., "Banyak orang yang hidup dalam penjara emosional tetap bertahan karena mereka telah meyakinkan diri sendiri bahwa mereka tidak layak mendapatkan lebih dari apa yang mereka miliki."

Ekspektasi yang rendah terhadap diri sendiri dan hubungan juga memainkan peran. Hadassah Duoduwa menjelaskan bahwa individu dengan tingkat perbandingan rendah mempertahankan hubungan buruk karena ekspektasi mereka terpenuhi, percaya bahwa mereka tidak bisa mendapatkan yang lebih baik. Hal ini juga membuat mereka enggan menyuarakan keluhan, takut akan penolakan, seperti yang ditemukan penelitian dari University of Waterloo.

Gaya keterikatan yang tidak aman, terutama gaya keterikatan cemas, juga dapat menjebak seseorang. Individu dengan gaya ini cenderung berpegang teguh pada hubungan romantis karena takut kesepian dan ditinggalkan. Selain itu, ada fenomena 'repetition compulsion' atau mencoba menyembuhkan luka lama, di mana seseorang secara bawah sadar mengulang pola hubungan yang tidak sehat untuk menyelesaikan pengalaman emosional yang belum terselesaikan. Dalam kasus ekstrem, 'trauma bonding' atau ikatan trauma, di mana ada keterikatan emosional kuat antara pelaku dan korban, dapat membuat hubungan terasa adiktif dan sulit dilepaskan, bahkan ketika pikiran tahu itu tidak aman.

Jebakan Kognitif dan Realitas Praktis

Tidak hanya faktor emosional, bias kognitif juga turut andil dalam membuat seseorang sulit meninggalkan hubungan yang tidak bahagia. Salah satunya adalah Sunk Cost Fallacy atau kekeliruan biaya hangus. Dr. Peggy Bolcoa menjelaskan, "Kekeliruan biaya hangus terjadi ketika Anda terus melakukan sesuatu karena Anda telah menginvestasikan sumber daya ke dalamnya – waktu, uang, emosi – bahkan jika itu tidak lagi berharga." Sebuah survei Decision Lab bahkan menunjukkan 60% orang bertahan karena waktu yang telah diinvestasikan.

Harapan akan perubahan atau Intermittent Reinforcement juga menjadi jebakan. Pasangan toksik terkadang menunjukkan tanda-tanda perubahan, menciptakan ilusi bahwa segalanya bisa membaik, sehingga korban terjebak dalam siklus harapan dan kekecewaan. Ini diperkuat oleh rasionalisasi, di mana seseorang membenarkan perilaku pasangan atau situasi hubungan untuk memvalidasi keputusannya untuk tetap bertahan.

Terakhir, ada faktor-faktor praktis dan situasional yang tidak bisa diabaikan. Keuangan bersama, kehadiran anak-anak, kurangnya sumber daya, dan ketergantungan finansial atau emosional seringkali menjadi alasan kuat untuk tetap bertahan. Tekanan sosial dari keluarga atau lingkungan juga dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk tetap bersama, meskipun hubungan tersebut sudah tidak lagi sehat. Semua faktor ini secara kompleks berinteraksi, menciptakan labirin yang sulit untuk dilewati bagi mereka yang terjebak dalam hubungan yang tidak bahagia.