Mengungkap Alasan Kenapa Sulit Percaya Lagi Setelah Diselingkuhi

Merasa Sulit Percaya Pasangan? Ini 4 Langkah Bijak untuk Mengatasi Trust Issue dalam Hubungan — Ilustrasi pasangan yang menghadapi trust issue dalam hubungan. (c)PeopleImages.com/Depositphotos.com

ringkasan

Perselingkuhan merusak fondasi kepercayaan dan dapat memicu respons trauma mirip PTSD, dikenal juga sebagai Post-Infidelity Stress Disorder (PISD).
Korban perselingkuhan sering mengalami hilangnya rasa aman, penurunan harga diri, dan gejolak emosi intens seperti kemarahan, kesedihan, dan kecemasan.
Dampak jangka panjang perselingkuhan meliputi kesulitan membangun hubungan baru, kehilangan identitas diri, dan perubahan pada kimia otak yang memengaruhi suasana hati.

Fimela.com, Jakarta - Sahabat Fimela, mengalami perselingkuhan adalah salah satu pengalaman paling menyakitkan dalam hidup. Peristiwa ini seringkali meninggalkan luka mendalam yang sulit disembuhkan, baik secara emosional maupun psikologis. Banyak orang bertanya-tanya kenapa sulit percaya lagi setelah diselingkuhi, bahkan setelah waktu berlalu dan upaya rekonsiliasi dilakukan.

Pengkhianatan semacam ini bukan hanya merusak fondasi hubungan, tetapi juga memengaruhi kondisi mental seseorang secara signifikan. Kepercayaan yang telah dibangun dengan susah payah bisa hancur dalam sekejap mata, meninggalkan korban merasa sangat rentan dan tidak aman. Hal ini dapat berdampak pada cara mereka memandang diri sendiri dan orang lain.

Para ahli psikologi dan terapis hubungan telah menyoroti berbagai alasan kompleks di balik kesulitan ini. Mereka menjelaskan bahwa dampak perselingkuhan jauh melampaui sekadar rasa sakit hati sesaat. Mari kita selami lebih dalam mengapa memulihkan kepercayaan terasa begitu berat dan menantang bagi banyak individu.

Pengkhianatan dan Respons Trauma Psikologis

Perselingkuhan secara fundamental merusak fondasi kepercayaan dalam suatu hubungan, menciptakan luka yang dalam. Seperti yang disebutkan oleh Roamers Therapy, "Perselingkuhan sangat merusak rasa kepercayaan individu." Pengkhianatan ini bukan hanya tentang ketidaksetiaan fisik, melainkan juga pelanggaran janji dan komitmen yang telah dipegang teguh. Menemukan perselingkuhan seringkali menyebabkan perasaan pengkhianatan yang intens, sehingga sulit untuk mempercayai orang lain, bahkan dalam hubungan di masa depan.

Lebih dari sekadar sakit hati, banyak ahli menganggap perselingkuhan sebagai peristiwa traumatis. Dr. Dennis Ortman bahkan menggambarkan respons trauma ini sebagai Post-Infidelity Stress Disorder (PISD), mirip dengan PTSD. Gejala-gejala yang muncul bisa sangat mengganggu, seperti pikiran yang berulang, kilas balik, mimpi buruk, serta kewaspadaan berlebihan atau hypervigilance. Korban mungkin merasa selalu tegang, takut akan lebih banyak rasa sakit, dan sulit merasakan ketenangan.

Kondisi ini membuat proses pemulihan kepercayaan menjadi sangat kompleks. Ketika pikiran terus-menerus dihantui oleh bayangan pengkhianatan, dan tubuh bereaksi seolah-olah dalam bahaya, membangun kembali keyakinan pada pasangan atau hubungan baru menjadi tantangan besar. Ini bukan hanya masalah kemauan, tetapi juga respons biologis dan psikologis terhadap trauma yang dialami.

Hilangnya Rasa Aman dan Harga Diri yang Terkikis

Dampak perselingkuhan juga sangat terasa pada hilangnya rasa aman dan keamanan dalam diri seseorang. Pengkhianatan mengganggu rasa keamanan dan keselamatan yang mendasar dalam suatu hubungan, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Chris Tickner. Rasa aman yang dulu ada, kini tergantikan oleh kecurigaan dan kerentanan. Korban mungkin mulai mempertanyakan segala hal, termasuk perilaku pasangan di masa depan, yang menyebabkan kewaspadaan konstan.

Selain itu, perselingkuhan seringkali mengikis harga diri dan kepercayaan diri korban. Banyak yang menyalahkan diri sendiri, mempertanyakan nilai, daya tarik, atau kecukupan mereka sebagai pasangan. TalktoAngel menyebutkan, "Banyak korban perselingkuhan menyalahkan diri sendiri, mempertanyakan kelayakan mereka dan merasa tidak memadai." Perasaan ini dapat menyebabkan penurunan signifikan pada rasa percaya diri dan harga diri, membuat mereka merasa tidak cukup baik.

Kehilangan rasa aman dan terkikisnya harga diri ini menciptakan lingkaran setan. Semakin rendah harga diri, semakin sulit untuk percaya bahwa mereka layak mendapatkan hubungan yang sehat dan jujur. Ini juga memperkuat ketakutan akan pengkhianatan di masa depan, karena mereka mungkin merasa bahwa mereka adalah penyebab atau pantas mendapatkan perlakuan tersebut. Proses penyembuhan membutuhkan waktu untuk membangun kembali fondasi diri yang telah hancur.

Gejolak Emosi dan Dampak Jangka Panjang pada Hubungan

Setelah perselingkuhan terungkap, korban seringkali mengalami gejolak emosi yang intens dan berkepanjangan. Seperti yang diungkapkan MSRCC, "Ketika perselingkuhan terungkap, hal itu dapat memicu badai emosi." Berbagai emosi seperti kemarahan yang membara, kesedihan yang mendalam, kebingungan, rasa bersalah, malu, cemburu, dan keputusasaan dapat datang silih berganti. Gottman Institute menggambarkan ini sebagai "roller coaster emosional" yang melelahkan dan sulit dikendalikan.

Gejolak emosi ini dapat memicu atau memperburuk masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. TalktoAngel menjelaskan bahwa "Perselingkuhan dapat memicu kesedihan, kecemasan, dan rasa putus asa yang luar biasa." Korban mungkin bergumul dengan pikiran-pikiran mengganggu tentang pengkhianatan, yang dapat mengarah pada episode depresi atau gangguan kecemasan yang signifikan. Dampaknya bahkan bisa memengaruhi kimia otak, mengganggu pelepasan hormon kebahagiaan seperti oksitosin dan dopamin.

Dampak jangka panjang perselingkuhan juga terlihat pada kesulitan membentuk ikatan atau hubungan di masa depan. Ketakutan akan disakiti lagi dapat menyebabkan keengganan untuk membuka diri atau membentuk hubungan emosional yang mendalam. BetterHelp menambahkan bahwa kecurigaan yang berkepanjangan tidak hanya terbatas pada pasangan yang berselingkuh, tetapi dapat membayangi hubungan di masa depan. Selain itu, ada juga kehilangan identitas atau diri, di mana korban merasa kehilangan kepolosan, peran, dan reputasi mereka, yang semakin mempersulit proses pemulihan dan pembangunan kembali kepercayaan.