Smaragama: Bibit, Bobot, Bebet

Gadis Abdul diperbarui 19 Mar 2016, 19:10 WIB

Fimela.com, Jakarta Syahdan malam pun terus melarut dalam dingin, sementara seusai menjalin hubungan intim lahir batin Sangaji dan Salindri tergolek nyenyak di ambin,

sambil berpelukan dalam kelembutan selimut satin.

Ketika kehidupan telah ditenggelamkan sunyi,

Kitab Smaragama segera merapal mantra sakti,

dalam sekejap berubah wujud menjadi mimpi,

dan kemudian menyusup secara hati-hati,

di dalam tidur nyenyak Sangaji dan Salindri.

Dengan segenap kesaktian dan kegaibannya,

Kitab Smaragama mempersatukan mimpi mereka,

di dalam lingkaran ruang dan waktu yang sama, sehingga Salindri dan Sangaji yang sedang tertena, dapat dipertemukan di sebuah benua maya,

dan menerima wejangan rahasia seni bercinta,

yang dipetik dari khasanah peradaban manusia,

di penjuru Nusantara dan bahkan seantero dunia,

sejak zaman dahulukala hingga kiamat tiba.

Syahdan di dalam mimpi Sangaji dan Salindri,

Kitab Smaragama mengubah diri menjadi sang resi, yang sekujur tubuhnya diselimuti cahaya warna-warni, dan suaranya yang lembut mampu menembus hati, sehingga kata-katanya mudah dipahami:

“Di dalam khasanah budaya Tanah Jawa,

pedoman untuk mencapai perkawinan yang sempuma, bukan hanya tercatat di dalam Serat Centhini saja, melainkan juga tertulis di dalam sejumlah kitab tua, antara lain di dalam Wasiat Cupu Manik Astagina,

Serat Wulangputri, Serat Paramayoga,

Serat Chandrarini, dan Serat Selokantara,

serta masih banyak lagi kitab lainnya.

Karena di masa lalu dan juga sampai kini,

kehidupan di bumi ini dikuasai kaum lelaki,

maka kaum perempuan hanya bisa berserah diri,

tatkala kriteria baik dan buruk seorang istri,

bahkan ukuran dan pola perilaku yang berakal budi,

yang seharusnya dimiliki perempuan sebagai pribadi, sepenuhnya dirumuskan oleh kaum lelaki.

Salah satu pedoman kuno yang masih awet,

ihwal memilih calon istri, yakni: Bibit, Bobot, Bebet.

Hatta di dalam benak tiap-tiap lelaki

ketiga kriteria itu telah ditanamkan sejak usia dini, sebagai bekal bila kelak memilih calon istri.

Bibit atau benih, adalah penilaian dari segi fisik, dalam arti si calon istri tidak cacat, berwajah cantik, perangai dan perilakunya terpuji dan baik.

Bobot adalah penilaian dari segi gen, atau trah,

yang bisa ditelusuri melalui jalur keturunan silsilah,

dan kaum perempuan yang memiliki pertalian darah, dengan para bangsawan penentu jalannya sejarah,

boleh berharap masa depannya akan lebih cerah, dibanding dengan perempuan dari kalangan bawah.

Akan halnya Bebet adalah penilaian atas harta, yang dimiliki oleh si calon istri dan orang tuanya,

dan kaum perempuan dari keluarga kaya raya,

akan dengan mudah menemukan jodohnya,

dibanding dengan perempuan rakyat jelata,

yang hidup melarat didera nestapa. "

Seperti sepasang merpati mabuk birahi,

Sangaji dan Salindri bersimpuh di depan Sang Resi, sesekali saling melirik sambil meremas jari-jemari,

dan membiarkan gelora cinta menggetarkan hati, memanjakan khayalan dengan beragam sensasi,

akan halnya Kitab Smaragama yang gaib dan sakti, yang telah mengubah diri menjadi sosok Sang Resi,

dan yang tubuhnya diliputi cahaya warna-warni, senantiasa dapat memahami dan mau mengerti, bahwasanya gelora api cinta birahi suami istri, seyogyanya dapat tetap terpelihara tanpa henti,

pun ketika salah satu pasangan harus pergi,

mendahului sampai di akhir hayat yang pasti,

api cinta itu tetap menyala terbawa mati.

"Berbahagialah kalian, lelaki dan perempuan,

yang bersepakat hidup di dalam pemikahan,

dan senantiasa bersedia menyalakan,

api cinta di dalam diri masing-masing pasangan,

karena sesungguhnya api cinta tak bisa dipadamkan, hanya oleh perasaan kehilangan atau kesedihan,

bahkan setiap tetes kepahitan hidup yang tertelan,

akan membuat api cinta memiliki daya tahan,

untuk tetap menyala di dalam penderitaan,

dan sesungguhnya justru di dalam kematian,

dalam basah air mata yang menderas hujan,

api cinta akan sampai pada kesaksian,

akan membasuh keraguan,

akan membuktikan kesetiaan,

sebagai suatu kebenaran,

yang tak terbantahkan."

Salindri dan Sangaji saling memandang,

membiarkan perasaan dimanjakan kasih sayang,

dan kebahagiaan yang gilang-gemilang,

pun bahkan segala yang dulu telah hilang,

serta merta berduyun datang,


melintasi dimensi waktu dan ruang.

Dan semua wejangan rahasia seni bercinta,

yang pemah disamnpaikan Kitab Smaragama,

tiba-tiba kembali terngiang di pintu telinga:

"Bagi suami istri yang mengutamakan

kesetiaan berpasangan sepanjang zaman,

selalu ada waktu dan berjuta-juta kesempatan

untuk mengulangi langkah-langkah percintaan,

memulainya dari sentuhan mesra pemanasan,

meningkat pada belaian penuh kelembutan,

berlanjut dengan usapan dan pemijatan,

dan berikutnya tersedia banyak pilihan

yang dapat disepakati kedua pasangan

dan kemudian sama-sama dilakukan

selama perjalanan menuju pertemuan

sampai akhimya dua sosok kerinduan

menyatu dalam indahnya keindahan.

Selain itu juga masih ada pilihan,

misalnya pilihan serba cepat alias instan,

lantaran tak cukup waktu untuk pemanasan,

maka percintaan yang berlangsung spontan,

dan yang selekasnya sampai pada tujuan

merupakan salah satu dari sekian pilihan

yang sesekali baik juga dipraktekkan

di sela kesibukan, di antara ketergesaan,

berebut waktu dengan tuntutan pekerjaan,

juga tetap dapat memberikan kenikmatan,

tanpa menodai indahnya keindahan.

Memang tak ada yang harus disesali,

karena bagi suami istri yang sejiwa-sehati,

bersetia membahu beban sehidup-semati,

selalu punya peluang menyalakan api birahi,

dengan cara dan teknik bercinta tingkat tinggi,

yakni percintaan yang diperkaya imajinasi,

titik api keberanian melakukan inovasi,

mengolah fantasi dan kreasi penuh sensasi,

sehingga suami istri bisa menciptakan sendiri,

variasi yang pas dan sesuai keinginan hati,

agar yang dingin menjadi hangat kembali,

juga supaya yang beku dapat mencair lagi.

Dan rahasia keindahan seni bercinta,

yang terkandung di dalam Kitab Smaragama,

hanya akan dibukakan bagi mereka berdua,

suami-istri yang saling setia meniti masa,

dan pasangan yang memiliki totalitas cinta,

di dalam jiwa, raga, rasa, dan cita-cita."

Salandri dan Sangaji diam termangu,

lantaran di dalam dada, di relung kalbu,

mengalir kebahagiaan yang mengharu-biru,

yang membangkitkan perasaan sendu,

dan yang mendorong mereka menyatu,

dalam pelukan cinta yang syahdu.