Lala Timothy, Aline Jusria, Vida Sylvia, Chairunisa: Lebih Dekat dengan Bintang Di Balik Layar

Fimela Editor diperbarui 22 Mar 2012, 10:55 WIB
2 dari 5 halaman

Next

Lala Timothy: Film Tanpa Promosi dan Marketing Tidak Bisa Survive

Sepulangnya dari pemutaran film perdananya, Modus Anomali, di Austin, Texas, FIMELA.com segera menyambangi Producer/ CEO Lifelikes Pictures, Lala Timothy di daerah Menteng. Di tengah-tengah kondisi tubuhnya yang drop, Lala masih menyambut tim FIMELA.com dengan senyum sumringah di kediaman orangtua suaminya.

Setelah 10 tahun menikah dan absen dari dunia kerja, Sheila Timothy memutuskan untuk terjun ke film dan bekerja di balik layar sebagai produser dari sebuah production company, Lifelike Pictures. “Kenapa saya tertarik menjadi produser? Ayah saya dulu produser musik tahun 70-an jadi sejak kecil sudah terbiasa melihat ayah saya kerja, dan saya suka dinamis pekerjaan tersebut. Saya suka proses di belakang layar, memproses sebuah ide hingga menjadi sesuatu. Dan salah satunya karena adik saya, Marsha Timothy juga di film, dialah yang membuat saya akhirnya menonton kembali film Indonesia. Dari mulai mengamati film yang saya tonton dan merasa ada sesuatu yang kurang, terbesit di benak saya, saya ingin membuat film,” Lala mengawali cerita.

"Film adalah seni yang harus bisa dinikmati oleh orang banyak."Ibu empat orang anak ini mulai masuk ke dunia perfilman Indonesia pada tahun 2008 dengan membentuk sebuah production company dan langsung mencetak film, Pintu Terlarang. “Waktu itu, saya tidak sengaja bertemu dengan Joko Anwar dan dia menunjukkan cerita Pintu Terlarang pada saya. Akhirnya saya memutuskan untuk memfilmkan naskah tersebut. Dan gara-gara Pintu Terlarang, production company ini bisa berdiri,” ujar Lala.

Produser, yang terbayang di kepala orang awam seorang produser adalah orang yang hanya terlibat dalam pendanaan sebuah projek. Apakah produser semata-mata mendanai projek film tanpa harus terjun langsung ke lapangan? “Di Indonesia film belum menjadi sebuah industri, di sini kita nggak punya distributor film Indonesia. Jadi, saya (production company) sebagai produser menangani mulai dari proses pembuatan film sampai membuat strategi promosi dan marketing karena film tanpa promosi dan marketing tidak bisa hidup. Jika merujuk pada negara lain, seharusnya production company hanya bertanggung jawab untuk memproduksi film. Dan tentunya agar bisa bertahan di dunia ini kita harus punya strategi,” Lala bercerita.

"Film tanpa promosi dan marketing tidak bisa hidup."Film terbaru Lala, Modus Anomali, melakukan tayang perdana di sebuah festival film bergengsi di Austin, Texas beberapa waktu lalu. Apa yang menjadi pertimbangan Lala saat akan memfilmkan sebuah naskah? “Film adalah seni yang harus bisa dinikmati oleh orang banyak. Film saya baru dua, Pintu Terlarang dan Modus Anamoli, untuk memfilmkan sebuah naskah, saya hanya mengandalkan intuisi dan memprediksi apakah film ini bisa diterima pasar,” ujar perempuan yang menyukai film Kejar Daku Kau Kutangkap ini.

Sempat merosotnya jumlah pentonton Indonesia pada tahun lalu, tentu menjadi “pekerjaan rumah” sendiri bagi Lala yang berprofesi sebagai produser. “Penonton film di Indonesia sempat merosot tajam pada tahun 2011 lalu dan itu membuat kami harus memutar otak dan mulai mencari pangsa pasar di luar Indonesia. Itulah salah satu alasan kenapa Modus Anomali diputar perdana di Austin. Bukan bermaksud sok, tapi sebagai salah satu cara untuk mencari keuntungan supaya bisa bertahan hidup. Di Bulan Film Nasional ini saya tentunya berharap supaya akan lebih banyak lagi orang Indonesia yang pergi ke bioskop dan menontn film Indonesia. Sehingga dunia film Indonesia bisa terus maju dan berkembang karena tanpa dukungan dari penonton tentu film Indonesia tidak bisa maju,” Lala menutup pembicaraan.

3 dari 5 halaman

Next

Aline Jusria: Membuat Dramatik Cerita adalah Tantangan Terbesar Seorang Film Editor

Melihat penampilannya, rasanya tidak ada yang menyangka bahwa perempuan film editor yang satu ini sudah memiliki satu anak. Beruntung FIMELA.com bisa berbicara banyak pada film editor Catatan Harian Si Boy di sebuah studio di daerah Fatmawati.

Tahun lalu, ibu satu orang anak ini mendapatkan dua anugerah dalam waktu yang berdekatan. Selang satu hari setelah melahirkan, Aline mendapat kabar bahwa ia memenangkan penghargaan festival film bergengsi Indonesia, Festival Film Indonesia (FFI) untuk film Catatan Harian Si Boy. Sebelum menjadi film editor ternama seperti saat ini, Aline justru pernah terpikir untuk bekerja di sebuah stasiun televisi. “Pada tahun 1997, saya masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan mengambil sinema FFTV karena saya berpikir nantinya akan bekerja di televisi. Namun ternyata, seiring bergulirnya waktu, saya lebih tertarik pada film,” ujar Aline.

"Mengedit tuh lebih seru karena saya bisa menikmati hasil syuting secara lengkap untuk kali pertama tanpa harus pergi ke lokasi."Film editor yang telah menelurkan 12 judul film ini, ternyata baru-baru ini menjajal untuk men-direct sebuah projek film indie. “Iseng juga sih menjajal untuk men-direct film, itu juga karena Lola Amaria. Sejauh ini saya lebih suka mengedit film di studio dibandingkan dengan harus seharian berada di lapangan. Bahkan, sewaktu mengerjakan projek film indie saya ini, saya nyaris menyerah di tengah-tengah syuting karena nggak tahan. Mungkin karena waktu itu saya juga sedang hamil kali yah,” Aline bercerita sambil tertawa.

Sebagai pekerja film, Aline sudah menjajal dua profesi (film editor dan sutradara), namun Aline tetap memutuskan untuk bertahan pada profesinya ini. Apa yang membuat Aline memilih untuk tetap pada profesi film editor? “Saya lebih suka ngedit di dalam ruangan, mungkin sutradara memang bukan jiwa saya dan saya nggak bercita-cita jadi sutradara juga. Mengedit tuh lebih seru karena saya bisa menikmati hasil syuting secara lengkap untuk kali pertama tanpa harus pergi ke lokasi. Kenapa? Karena semua hasil syuting akan langsung masuk ke editor sebelum bisa dinikmati oleh kru film yang lain,” ujar Aline dengan santai.

“Tantangan seorang film editor adalah membangun dramatik cerita. Kita harus berpikir bagaimana caranya supaya stock yang sudah disediakan oleh orang lapangan bisa dikemas dengan cantik."Apa yang menjadi tantangan seorang film editor dalam bekerja dan apa tolak ukur sebuah karya dikatakan berhasil? “Tantangan seorang film editor adalah membangun dramatik cerita. Kita harus berpikir bagaimana caranya supaya stock yang sudah disediakan oleh orang lapangan bisa dikemas dengan cantik. Misalnya saja ada sebuah scene yang diharapkan agar penonton menangis atau sedih, nah di sinilah kita harus membangun dramatik cerita supaya pesan dalam film bisa sampai ke penonton. Mungkin kita bisa saja asal potong dan tempel scene, tapi apakah bisa pesan film tersebut sampai pada penonton? Rasanya sayang jika stock bagus yang sudah disediakan sutradara hanya diperlakukan sekadarnya,” Aline menjelaskan sedikit serius.

Bekerja dalam film rasanya kepuasan batin lebih utama dari materi yang kita dapat. Saya senang saat film saya bisa banyak ditonton oleh orang, penonton adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan uang. Terlebih ketika semua pesan dalam film bisa sampai dengan baik kepada penonton. Bagi saya, pekerja film, itu semua bisa membayar semua kerja keras yang telah saya lakukan,” ujar Aline.

4 dari 5 halaman

Next

Vida Sylvia: Setiap Karakter dalam Film Berhubungan Erat dengan Properti yang Digunakan

Sebuah fillm yang bagus tentu harus ditunjang dengan setting yang bagus. Setting film tidak akan bisa sempurna tanpa jerih payar dari seorang art director. FIMELA.com beruntung bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan art director film Gara-Gara Bola, Vida Sylvia, di sebuah rumah produksi di daerah Jakarta Selatan.

“Art director bekerja pada ruang yang akan digarap dalam sebuah projek dan memikirkan bagaimana nanti ruangan tersebut akan tampak dalam frame dan juga bertanggung jawab pada setiap properti yang digunakan. Posisi art director di Indonesia seringkali merangkap sebagai seorang set builder,” Vida mulai bercerita tentang profesi yang sedang dijalaninya.

"Di film kita harus mempertimbangkan berbagai aspek sebelum membuat sebuah konsep, misalnya saja karakter setiap tokoh dan kebutuhan kamera."Sebelum menciptakan satu konsep, tentu seorang art director harus mempelajari sebuah naskah hingga bisa menghasilkan konsep setting film, iklan, atau projek lain. Berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang Vida untuk mempelajari sebuah naskah hingga bisa menghasilkan sebuah setting saat menangani sebuah film? “Berapa lamanya waktu untuk mempelajari naskah tidak bisa ditentukan, sangat fleksibel dan tergantung script. Mempelajari sebuah naskah bisa dalam waktu singkat, bisa juga dalam jangka waktu agak lama karena saat menangani projek film saya memerlukan research dan juga masukan dari berbagai pihak,” ujar perempuan dengan latar belakang pendidikan arsitek ini.

Sebagai seorang art director, berbagai projek, mulai dari video klip, iklan, dan film pun pernah dijajal oleh perempuan bertubuh kecil ini. “Kali pertama saya terjun sebagai art director, saya menangani video klip. Tentunya untuk mendapatkan pengalaman, saya harus menjajal berbagai macam projek, iklan, film, dan video klip. Dari ketiga projek tersebut, tentu masing-masing memunyai tantangan tersendiri dan tidak bisa disamakan. Tapi, sejauh ini, yang paling membuat saya stres adalah saat saya harus menangani iklan karena saya harus kerja dengan orang yang tidak dikenal dan harus bisa mengikuti apa yang klien minta,” Vida bercerita sambil tertawa ringan.

"Kami (art director) selalu bekerja dengan keterbatasan maka kami terbiasa untuk mengakali sebuah barang untuk menciptakan barang lain yang tidak bisa kami peroleh."Berbicara tentang film, kesinambungan antarsatu elemen dengan elemen lain tentu harus diperhatikan untuk menghasilkan film yang natural. Apa yang paling diperhatikan oleh seorang art director dalam sebuah projek film? “Di film kita harus mempertimbangkan berbagai aspek sebelum membuat sebuah konsep, misalnya saja karakter setiap tokoh dan kebutuhan kamera. Saya tentu tidak bisa memberikan properti mobil jip pada karakter seorang perempuan yang lemah lembut. Dan karena Art Director yang menguasai kebutuhan desain set, biasanya makeup dan wardrobe pun konsultasi kepada Art Director,” ujar perempuan yang mengagumi film Cut Nyak Dien ini.

Apa yang menjadi kendala seorang art director Indonesia dalam berkarya? “Sejauh ini, saya tidak bermasalah dengan keterbatasan properti di Indonesia. Karena kami (art director) selalu bekerja dengan keterbatasan maka kami terbiasa untuk mengakali sebuah barang untuk menciptakan barang lain yang tidak bisa kami peroleh. Dan cara kerja seperti ini sama sekali berbeda dengan cara kerja produksi film asing. Karena saat bekerja dengan mereka (orang asing), saya harus mendapatkan berbagai properti yang dibutuhkan bagaimana pun caranya, sekalipun harus mendatangkan barang dari luar negeri. Tapi, sejauh ini saya bekerja, semua barang yang dibutuhkan dalam film masih bisa diperoleh dengan cara mengakali berbagai barang lain yang ada. Saya pikir nggak ada barang yang nggak bisa dibuat oleh orang Indonesia dan menurut saya orang Indonesia itu canggih-canggih lho,” Vida tertawa ringan.

5 dari 5 halaman

Next

Chairunisa: Belum Ada Jaminan Kerja untuk Para Pekerja Film

Melihat sosoknya saat ini, sepintas orang nggak akan menyangka kalau tubuh kecil berambut pendek dengan pakaian casual ini bernama Chairunisa. Ya, perempuan yang akrab disapa Ilun memang senang tampil tomboy, bahkan terbilang maskulin. FIMELA.com beruntung bisa berbincang-bincang dengan Ilun sebelum ia pergi ke beberapa kota lain untuk menggarap film dokumenter terbarunya.

Perempuan lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2009 ini mengaku memilih profesi sebagai sutradara karena ia tidak bisa melakukan keahlian lain, selain menghayal. “Saya mengambil film yang pertama pasti karena saya suka film, tapi kenapa saya memilih posisi sutradara, bukan posisi lain sebagai kameramen atau editor? Karena saya nggak bisa melakukan pekerjaan lain selain mengkhayal. Sedangkan editor butuh ketelitian dan kameramen harus penuh dengan perhitungan. Itulah sebabnya saya memilih sebagai sutradara,” ujar Ilun saat ditemui FIMELA.com di sebuah mall di Jakarta Selatan.

"Sebagai pekerja lepas, saya tidak bisa menggantungkan hidup saya sepenuhnya pada film karena saya nggak mau saat berusia 50 tahun nanti, saya masih harus bekerja di bawah tekanan deadline."Berbicara dengan orang film, rasanya kurang pas jika tidak membicarakan film Indonesia. “Menurut saya kondisi perfilman Indonesia saat ini seperti sedang mencari jati diri. Film-film yang ada di pasar pun sangat beragam, mulai dari berbagai film yang mengangkat tema hantu, thriller, hingga film-film yang memerlukan waktu untuk berpikir. Situasi seperti ini tentu bagus karena artinya masih banyak kreativitas yang dimiliki oleh para pekerja film. Saya sendiri lebih senang membuat film yang menggabungkan konsep antara selera pasar dan juga idealisme pribadi sehingga semua orang bisa menikmati karya saya,” ujar sutradara muda yang filmnya (Purnama Di Pesisir) pernah mendapat tempat di Festival Film Rotterdam ini.

Saat ini Ilun bekerja sebagai pekerja lepas. Sebagai pekerja lepas tentu ada kekhawatiran tersendiri bagi Ilun terhadap masa depannya. “Jika memungkinkan, saya ingin selamanya tetap berkarya di dunia film. Tapi, saya sadar bahwa sebagai pekerja lepas, saya tidak bisa menggantungkan hidup saya sepenuhnya pada film karena saya nggak mau saat berusia 50 tahun nanti, saya masih harus bekerja di bawah tekanan deadline. Mungkin nanti saya harus mencari pengusaha muda untuk dinikahi supaya saya bisa terus memproduksi film,” Ilun bercerita sambil tertawa.

"Saya lebih tertantang untuk membuat film dokumenter karena kita dituntut untuk bisa memanfaatkan sumber seadanya."Berkecimpung di dunia film sejak masih kuliah, tahun 2003, sudah tidak terhitung berapa film dokumenter yang ia hasilkan ditambah lagi dengan projek-projek komersilnya. “Sebenarnya saya lebih tertantang untuk membuat film dokumenter karena kita dituntut untuk bisa memanfaatkan sumber seadanya. Berbeda dengan film komersil karena kita bisa mengarahkan pemain sesuai dengan apa yang kita inginkan,” Ilun kembali bercerita.

Ilun merasa sebagai “buruh film” pekerjaannya adalah termasuk ke dalam salah satu pekerjaan yang penuh dengan risiko. “Yang saya kurang dari dunia film Indonesia adalah belum adanya serikat yang menaungi pekerja film secara hukum dan membuat kita dilindungi secara undang-undang. Misalnya saja, saat kita syuting dengan berbagai alat berat yang ada di lokasi tidak ada jaminan asuransi yang menjamin keselamatan kita selama bekerja, kecuali memang kita punya asuransi sendiri. Selain itu, tidak adanya aturan tertulis dalam film juga membuat tidak adanya patokan jelas honorarium yang layak diterima para pekerja film dan membuat sebagian pemilik modal terkadang berlaku semena-mena,”Ilun menutup pembicaraan.