Dewi Lestari dan Hanung Bramantyo Beda Intepretasi Soal "Perahu Kertas"

Fimela Editor diperbarui 17 Okt 2012, 09:59 WIB
2 dari 5 halaman

Next

Begitu kabar novel Perahu Kertas akan difilmkan, para penikmat karya-karya Dewi Lestari tentu sudah nggak sabar menunggu untuk menikmati versi "nyata" novel yang sudah mengalami berkali-kali cetak ulang, terlebih ketika nama sutradara Hanung Bramantyo ada di muka pembuatan film ini. Tentu para penikmat sudah memberikan harapan tinggi terhadap hasil akhir film Perahu Kertas.

Kali pertama dirilis pada bulan Agustus lalu, animo masyarakat untuk menonton film ini pun cukup tinggi. Ini terlihat dari ramainya Perahu Kertas menjadi pembicaraan di social media, baik Twitter maupun Facebook.

Berkaca pada kesuksesan film Sang Penari yang terinspirasi oleh novel karya Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, nggak salah jika penonton juga berharap mendapatkan sebuah karya yang sama kualitasnya. Suksesnya film Sang Penari pun membawa pengaruh hingga sampul buku karya Ahmad Tohari diubah dengan gambar salah satu scene dalam film. Namun, rupanya Perahu Kertas tidak berlayar semulus Sang Penari.

Pro dan kontra mewarnai kemunculan film ini. Ada yang puas namun ada juga yang kecewa dengan film yang dibagi menjadi dua bagian ini.

What's On Fimela
3 dari 5 halaman

Next

“Sebelum menonton film ini, saya sudah membaca novelnya terlebih dahulu. Jujur, saya kecewa dengan film Perahu Kertas karena jauh dari harapan saya. Saat menonton film saya tidak bisa merasakan pengalaman yang sama ketika saya membaca bukunya. Dan ternyata film ini dibagi menjadi dua bagian,” ujar Reta, 25, pada FIMELA.com usai menonton Perahu Kertas 1.

Berbeda dengan Reta yang kecewa dengan film Perahu Kertas, Prita justru merasa puas setelah menonton film besutan Hanung Bramantyo ini. “Saya puas menonton film Perahu Kertas. Saya bisa mendapatkan esensi dari novel Dee di film hasil garapan Mas Hanung. Sebelum menonton, saya membaca novelnya terlebih dahulu itu sebabnya saya bisa bilang puas dengan hasil kerja Mas Hanung,” ujar Prita, 24.

Menanggapi beragam komentar yang masuk, Dee mencoba bersikap netral.  “Saya sudah mengantisipasi keragaman feedback tersebut dan menganggap hal itu sangat wajar. Nggak lebih baik atau nggak lebih buruk, sih. Karena menurut saya opini seseorang sangat subjektif, apalagi terhadap film. Yang suka tidak bisa dijadikan patokan, yang tida ksuka pun tidak bisa dijadikan patokan,” ujar Dewi Lestari pada FIMELA.com.

4 dari 5 halaman

Next

Cukup banyak yang berpendapat film Perahu Kertas tak ubahnya hanya seperti sinetron percintaan remaja biasa karena adanya emosi-emosi dalam novel yang tidak bisa disampaikan oleh pemain. Sebagai penulis novel dan juga penulis skenario, Dee pun mengakui bahwa memang ada beberapa perubahan antara novel dan film.
“Sepertinya hal ini yang perlu disadari oleh pembaca, bahwa skenario dan novel adalah dua format yang berbeda. Dalam novel ada keleluasaan struktur maupun jumlah halaman, dalam film kedua hal tersebut terbatas. Jadi, saya memang sengaja mengubah beberapa hal supaya struktur film tidak terganggu oleh novel. Apalagi dalam film, banyak aspek yang tidak perlu diperhitungkan seperti di buku, misalnya aspek sinematografi, teknis pengambilan gambar, bujet, kepentingan produser, segmen penonton yang dituju, dan sebagainya. Yang jelas, esensi cerita tidak mungkin diubah,” Dee menjelaskan.

Lagi-lagi, penilaian terhadap sebuah karya tentu akan berujung pada subjektivitas. Kita tidak bisa begitu saja membandingkan antara satu karya dengan karya lainnya karena pastinya intepretasi yang dihasilkan oleh setiap orang tentu akan berbeda-beda. Bahkan, antara Dee sebagai penulis dan Hanung sebagai sutradara pun mengalami perbedaan penafsiran.

5 dari 5 halaman

Next

“Saya cukup puas, walaupun tentu banyak aspek yang bisa lebih maksimal seharusnya. Tapi, ya, itu, dalam film banyak sekali faktor yang bermain, terutama karena begitu banyaknya pihak yang terlibat untuk mewujudkan sebuah adegan, dari mulai kru, cast, sampai pascaproduksi yang melibatkan editor, penata musik, dan produser. Ada beberapa eksekusi adegan dan dialog yang intepretasinya berbeda dengan intepretasi saya saat menulis skenario. Juga detail-detail artistik yang intepretasinya berbeda dengan saya sebagai penulis buku. Justru di sinilah seorang kreator mendapat pembelajaran dan pendewasaan mental, saat dia menerima "ketidaksempurnaan" dalam karyanya menjadi bagian dari "kesempurnaan" karya tersebut. Jadi, biarkan saja apa adanya,” Dee berpendapat.
Setelah sukses dengan dengan berabagai pro-kontra yang menyertainya, Dee pun ternyata sudah melepas dua hak adaptasi novelnya lagi untuk kembali diangkat ke layar lebar. “Saat ini sudah ada dua hak adaptasi yang saya lepas, yakni untuk Madre (disutradarai dan ditulis soleh Benny Setiawan), dan Rectoverso (diproduseri Marcella Zalianty, disutradarai lima artis perempuan dan ditulis oleh empat penulis skenario). Keduanya rencananya tayang Februari 2013,” ujar Dee pada FIMELA.com.

Penasaran akan seperti apa lagi kemasan lain dari novel-novel popular Dee? Kamu harus tunggu tranformasi lain novel Dee dari sutradara yang berbeda-beda.