Keluargaku Tidak Sempurna, Tapi Tak Mengapa

Fimela diperbarui 25 Mei 2014, 15:00 WIB

Sahabat Vemale berbagi pengalamannya tentang keluarga. Semoga bisa membuat Anda terinspirasi dan makin mencintai keluarga dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

***

Aku hidup dalam zona keluarga yang nyaman. Ayah, ibu dan seorang kakak laki-laki yang penurut. Ibuku adalah wanita yang hebat, meski ia tegas dan mudah emosi. Karena itulah ibu bertemu dengan ayah yang tenang dan penyabar.

Namun suatu hari, ibuku yang hebat itu dipanggil Tuhan. Aku sudah punya firasat sekejap saja hari itu, namun tak menyangka akan menjadi kenyataan. Ayahku yang sabar terguncang, kakakku yang pendiam itu pun diam-diam menangis.

Hidup kami terasa ada yang hilang. Keluargaku seperti mengalami kelumpuhan semenjak ditinggal ibu yang biasa mengatur dan mengendalikan banyak hal di rumah. Tak ada lagi yang mengomel, tak ada lagi yang bangun di pagi buta dan menyajikan sarapan.

Pagi hari, meja makanku sepi. Hanya ada nasi, kecap dan telur mata sapi. Ah, andai ibuku masih di sini.

Ayah Menikah Lagi

Waktu berlalu. Aku beranjak dewasa dari anak SMA menjadi anak kuliahan. Satu-satunya sinar keceriaan ayahku adalah ketika tahu aku diterima di universitas negeri. Beliau sangat senang sampai mengacak-acak rambutku dan kegirangan seperti anak baru lulus SMA.

Sedikit-demi sedikit, kami mulai biasa hidup bertiga. Sampai tiba harinya, ayahku mengatakan kalau beliau akan menikah lagi. Bukan hal yang mudah, namun singkatnya, akhirnya keinginannya terwujud.

Negosiasi panjang dengan anak-anaknya dan kesepakatan untuk siap menerima keluarga baru kami jalin kembali seperti belajar menyulam syal dari benang wol. Wanita itu datang ke dalam kehidupan kami dengan membawa seorang anak yang masih berusia 9 tahun. Ia jauh lebih muda dari ayahku.

Dia akan kupanggil ibu, dan aku akan punya adik seperti yang dulu pernah aku inginkan dari ibu kandungku saat aku masih kecil. Meski akhirnya aku tetap yang paling bungsu, dan kini setelah beberapa tahun, akhirnya aku punya adik.

Kami Berbeda

Lambat laun aku menyadari bahwa kami hidup dengan latar belakang berbeda. Ibu baruku memanjakan adikku sejak kecil, meski begitu ibuku bukan tipikal ibu tiri kejam ala sinetron. Dia baik, dan meja makanku selalu penuh makanan setiap hari.

Masa beradaptasi sungguh sulit, karena ada banyak hal yang berbeda di antara kami. Aku dan ibu kandungku biasa disiplin tentang rumah dan ibu baruku terbiasa dengan kelonggaran. Aku suka bersih, adikku suka berantakan. Kakakku suka ketenangan, adikku banyak tingkah.

Belum lagi reaksi keluarga yang masih suka membandingkan kehidupan baruku dengan kehidupan lama saat masih ada ibu kandungku. Ke mana ayahku? Well, beliau juga menghadapi dilema untuk menjembatani kami.

Menjadi kepala keluarga itu tak semudah yang kita bayangkan. Ayahku juga pasti mempertimbangkan perasaan ibuku sebagai orang baru. Dan ia memintaku untuk memahami hal itu.

Rumput Tetangga Selalu Lebih Hijau

Iya, rumput tetanggaku lebih hijau karena ibu sebelah rumah rajin menyiraminya. Ibuku bukan tipikal pecinta kebun seperti ibu dulu. Maka ayahku yang kadang-kadang merawat kebun depan. Ibu dan adikku semacam tim supporter.

Kadang aku kesal karena ibuku ini tak peka dengan kebersihan rumah. Sampai kadang aku ingin keluar dan kos saja di tempat lain. Hari-hari kami mulai sedikit alot. Ada banyak hal di mana kami mulai berbeda prinsip. Kebersihan, kedisiplinan dan banyak hal lainnya. 

Kadang aku pikir ayahku tidak adil dan tak pernah tega menegur ibuku. Aku mulai sering mengeluh dan berdebat dengan ayah. Sampai akhirnya memutuskan untuk ikut program kampus di mana aku bisa keluar 2 bulan lamanya dari rumah.

Selama itu, aku mengenal banyak teman baru. Tinggal sekamar, jauh dari pekerjaan rumah karena semua dikerjakan bersama di rumah sewaan kami. Semua anak disiplin dan bersihan, aku sangat senang.

Kami sering berbagi cerita tentang kehidupan pribadi, termasuk keluarga. Namun boleh dibilang, aku sebenarnya termasuk sangat beruntung. ternyata, ada seorang teman yang mengalami sindrom ibu tiri ala sinetron. Ada juga yang sedang dilema masalah gono-gini, bahkan ada yang tidak lagi bersama orang tuanya. Ya Tuhan, dan masalah keluargaku sebenarnya tak seberat apa yang mereka alami.

Ada seorang teman yang mengatakan bahwa aku sangat beruntung bisa tinggal satu rumah dengan keluarga. Hal ini sedikit mengetuk perasaanku karena apa yang ia katakan memang benar. Karena masalah yang mereka alami, banyak di antara mereka yang memilih keluar dari rumah. Ada juga yang setiap hari bertahan dengan pertengkaran orang tuanya.

Well, aku tersadar bahwasanya gambaran ideal keluarga yang ada di benakku tak pernah ada di dunia nyata. Setiap keluarga pasti punya persoalan masing-masing. Tapi dari semua itu, aku menyadari bahwa aku perlu bersyukur dan belajar menerima keluargaku apa adanya.

Tanpa hal ini, aku akan selamanya mempermasalahkan piring yang tak dicuci atau rumahku yang berantakan karena adikku. Apalah artinya rumah bersih kalau memang tak ada keceriaan di dalamnya. Sejak pulang dari pelarianku selama 2 bulan itu, aku tak lagi melihat rumput tetangga lebih hijau. Rumput kami sama hijaunya, hanya saja kami survive dengan cara yang berbeda dan hal itu bukan masalah.

Love your family no matter what. Mereka adalah tempat kita untuk pulang dan yang bisa menerima apapun keadaan kita.

(vem/gil)