Di Tengah Semua Keterbatasan, Keperjuangkan Impianku Menjadi Guru

Fimela diperbarui 22 Mar 2018, 17:00 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Pagi ini ketika aku menatap layar notebook di hadapanku. Aku sedang di dalam kelas. Memerhatikan anak-anak yang berdiskusi menyelesaikan tugas pemberianku. Kemudian aku teringat bahwa aku memiliki sebuah pesan tentang info lomba penulisan cerita khusus wanita ini dari salah seorang kawan "gilaku". Aku langsung membukanya, dan mulai kembali mengingat-ingat cerita milikku.

Cerita ini mungkin tidak seberapa bagi beberapa orang atau bahkan bagi orang manapun, tapi bagiku cerita ini adalah cerita yang menjadi pengingat siapa aku dan pemacu untuk jadi apa aku. Aku anak perempuan dari sepasang suami istri yang hidupnya hanya sekadar cukup untuk makan, membayar tagihan-tagihan kontrakan rumah, air, dan listrik.

Aku lahir dan dibesarkan di ibukota Indonesia, Jakarta. Kota yang hiruk pikuk di dalamnya teramat sangat rumit. Ya, aku ada pada bagian hiruk pikuk itu. Di sekolah dasar, masih biasa saja. Aku anak kecil yang bahagia, diantar sekolah mengendarai sepeda berwarna merah dengan lelaki tercintaku. Hanya pada saat menginjak kelas 6 aku mulai membantu Mamak untuk berjualan pempek. Aku membawanya ke sekolah dan menjajakan pempek buatan Mamak itu pada teman-temanku yang tentu saja hasil untungnya (jika ada) menjadi milikku. Masa SMPku biasa saja, tidak ada yang ingin kuceritakan. Aku tak punya apa-apa di sana, hanya sekadar menjalaninya saja.



Masa-masa SMA milikku adalah masa yang jika orang lain ingin sekali mengulangnya, aku tidak ingin mengulanginya. Sama sekali tidak ingin. Bukan aku sombong, hanya saja memang rasanya terlalu sulit. Tapi jelas, aku mampu melaluinya.

Setelah lulus SMP kedua orangtuaku tak lagi sanggup menanggung hidup di ibukota yang banyak sekali tagihannya, karena memang sejak aku SMP kelas 2, bapak diPHK dari pabrik tempatnya bekerja dan tidak lama dari itu pabrik tempat Mamak bekerja juga bangkrut. Mau tidak mau, orangtuaku memutuskan kembali ke kampung halaman di salah satu desa Kabupaten Garut. Awalnya aku tak ingin pergi kesana, karena menurutku ilmu yang aku dapat di sana akan sedikit berbeda dengan ilmu yang akan aku peroleh jika di perkotaan, maka aku memilih tinggal bersama saudaraku di Depok niatnya.

Aku sudah kesana kemari dengan usahaku sendiri mencari tempat sekolah, sampai akhirnya aku diterima di salah satu sekolah favorit dengan standar internasional di Jakarta Selatan. Tepat ketika keesokan harinya adalah hari pertama masa orientasi, bapak datang ke Depok untuk menjemputku, karena katanya beliau tidak sanggup membiayai uang masuk dan segala keperluanku. Ya memang, untuk pertama saja sudah membutuhkan Rp7 juta. Uang dari mana?



Dengan sangat terpaksa karena tak tega melihat Bapak, aku pergi dengan pikiran-pikiran, “Aku kehilangan mimpiku, aku harus bagaimana?” Selama seminggu pertama kepindahanku di Garut, aku sudah langsung masuk di salah satu SMK tempat saudaraku bekerja. Lokasinya, benar-benar jauh dari keramaian. Bahkan bisa dibilang sekolah itu ada di antara kebun dan hutan yang bahkan jaringan telepon saja tidak sampai ke sana. Aku tak berbicara dengan kedua orangtuaku selama seminggu itu, karena pikiran dan hatiku memang belum bisa menerima kondisinya. Tapi semakin hari aku semakin belajar memahami mungkin ini yang terbaik dan menjalani hariku semampuku tanpa punya harapan apa-apa di kepalaku.

Bukan hanya kehilangan mimpi dan harapan, aku juga harus bekerja membuat anyaman bakul atau bahasa daerah sekitar adalah “nalikeun” untuk mendapatkan uang yang sedikit yang tentu saja digunakan untuk ongkos berangkat ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 7 km menggunakan angkutan desa dengan membayar Rp 1000 untuk sekali perjalanan. Dua kali perjalanan berarti Rp 2000. Sebesar itulah yang diberikan Mamak untukku setiap harinya. Hanya cukup untuk ongkos pulang dan pergi, terkadang saudaraku memberi tumpangan jadi aku memiliki uang ongkos yang tidak digunakan, dari situ lah uangnya aku pakai jika ada keperluan fotokopi dan semacamnya.



Jika tidak sedang beruntung, berarti saat pulang sekolah aku harus berjalan kaki. Ya, 7 km dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Seperti itu selama 3 tahun, dan aku berhasil melaluinya dengan segala kelemahan. Aku keluar dari SMK dan mulai kembali merangkai mimpiku, cita-citaku tidak berubah. Menjadi seorang guru, guru apapun itu.

Seperti biasa, aku melakukan semuanya sendiri. Kedua orangtuaku membantu lewat doa dan materi semampu mereka yang tentunya sekuat tenaga. Kesana-kemari mencari info penerimaan mahasiswa baru, yang entah bagaimana nanti membayar biaya kuliahku. Hanya saja, aku tetap berusaha mencari.

Mengikuti tes SBMPTN di Depok, aku mendaftar pada fakultas pendidikan di berbagai universitas ternama. Dengan modal tekad dan niat serta giat, aku dengan percaya dirinya mengikuti tes itu. Hasilnya, aku diterima di Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Daerah Cibiru. Wah, bagaimana bisa aku tak bahagia melihat kedua orangtuaku meneteskan air mata mengetahui hal itu.

Tapi kemudian, muncul sebuah kebingungan juga di pikiran bapak tentang pertanyaan, “Sanggupkah?” Lalu kubilang, “Sanggup, Allah Maha Pemberi Rezeki kan, Pak. Allah Maha Tahu.” Dan, ya dengan susah payah bapak berhasil menyekolahkanku hingga lulus sebagai sarjana pendidikan. Meskipun aku tidak lulus dengan nilai cumlaude, tapi dapat aku pastikan bahwa aku memiliki ilmu yang cukup atau mungkin lebih untuk dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan.



Kini aku adalah seorang guru yang mengajar apa saja di sekolah tempatku mengajar. Bahasa Sunda, TIK, dan juga sebagai guru kelas 6 sementara. Kadang juga aku melakukan sharing dengan para pengasuh atau pendidik lainnya dari berbagai bidang pendidikan anak usia dini. Aku yang hobi menulis juga berhasil pada akhirnya menerbitkan sebuah buku dengan isi yang sangat sederhana dengan teman "gilaku" yang memberi kabar lomba kepenulisan ini. Aku bahagia, jelas. Meskipun gajiku tiga kali lipat jauh lebih kecil dibandingkan buruh pabrik.

Aku tidak menceritakan setiap rincinya, tapi intinya adalah kita hanya perlu berusaha dan percaya bahwa pemilik alam semesta ini tidak pernah meninggalkan kita yang berusaha, tentu saja dengan didampingi keluarga dan sahabat yang tidak pernah meninggalkan. Jangan pernah kehilangan mimpi, sebab tidak ada jalan selalu sesuai dengan keinginan kita. Akan selalu ada persimpangan yang jika kita menyadarinya, kita akan menemukan cahaya. Ya, sungguh sukses bukan hanya perihal materi. Setidaknya, mimpiku menjadi seorang pengajar sudah pada tempatnya. Aku akan terus belajar, sebab aku tak ingin berhenti mendidik. Selama aku ada, aku berkarya, aku berdaya.
            
Sisca Dwi Nurhayati, Depok 19 Maret 2018




(vem/nda)