Pacarku Selingkuh dengan Teman Sekamarku

Fimela diperbarui 28 Mei 2018, 15:10 WIB

Memaafkan ibarat mencoba menelan kopi pahit di pagi hari minuman yang amat kubenci saat sebenarnya benar-benar aku butuhkan karena kantuk. Tidak ada manusia yang sempurna aku tahu itu, tapi bukankah setiap manusia harus belajar saling menerima?

Aku mengenalnya lebih dari 6 tahun lamanya, kami satu kos selama 6 tahun itu bahkan satu kamar. Kami saling berbagi banyak hal, cerita tentang banyak hal, dia tahu bagaimana aku (kurasa), dan aku tahu bagaimana dia. Pertemanan kami berawal saat kami sama-sama masuk di universitas yang sama.

Hari pertama ospek kami satu kelompok dan percakapan pun dimulai detik pertama saat itu juga. Ternyata kami sangat cocok, banyak hal yang aku sukai dan minati ternyata dia juga memiliki minat yang sama. Hari-hari berikutnya semua berjalan lebih mudah karena kami sudah merasa telah memiliki teman. Pertemanan itu berlanjut bahkan setelah kami lulus kuliah dan memulai lembaran baru dalam hidup di dunia kerja, walaupun kami menggeluti pekerjaan yang berbeda, dia seorang guru dan aku seorang karyawan bank swasta, saat weekend kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan saat memutuskan pindah kos pun kami memilih untuk satu kamar lagi, seperti saat kuliah dulu.



Kami masih sama seperti dulu, cerita banyak hal masalah keluarga, kerja, dan tentu saja masalah pacar. Mungkin aku yang terlalu sering bercerita tentang pacarku padanya hingga dia pada akhirnya tertarik pada laki-laki yang kukira akan serius dengan hubungan kami. Awalnya aku tak pernah menyangka jika dia akan melakukan hal ini padaku, berhubungan dengan pacar dari teman dekatnya sendiri selama 6 tahun. Aku tahu hubungan mereka setelah 9 bulan mereka berpacaran di belakangku, hancur benar benar hancur.

Dia merusak hubunganku dengannya sendiri dan tentu merusak hubungananku dengan pacarku. Setelah tahu itu seketika aku memutuskan untuk pindah dari kos dan sebisa mungkin menghindar dari dia, segala hal yang menyangkut tentangnya aku hapus, aku delete habis tak tersisa. Sakit hatiku karena perbuatannya lebih besar dan dalam ketimbang sakit hati karena pacarku berkhianat.

Setelah tahun berganti sakit hati itu masih terasa, saat ada teman kuliah lain mulai menyebutkan namanya atau bercerita tentang dia. Aku merasa sangat tidak beruntung atas pertemuanku dengannya dulu, merasa ditikam dari belakang berkali kali dan bekas lukanya masih terasa sakit padahal telah benar benar mengering. Diam-diam aku selalu berdoa untuk hidupnya, kelak suatu saat nanti dia juga merasakan yang sama seperti yang aku rasakan.



Aku tahu yang aku lakukan ini bukanlah perbuatan yang baik. Emosi masih saja menguasaiku. Lalu saat aku tahu kabar terbarunya setelah 2 tahun kejadian itu, hatiku mulai terketuk. Aku mulai mengenang saat saat kita akrab dulu, menghabiskan waktu bersama seakan akan 24 jam itu waktu yang sangat singkat dalam seharinya. Dia sakit. Menghabiskan banyak waktunya untuk berobat, dari rumah sakit satu ke rumah sakit yang lain, dari obat yang satu ke obat yang lain.

Aku tak bisa bilang di sini dia sakit apa. Tapi kenyataan itu sungguh menyayat hatiku. Aku masih menyayanginya ternyata sebagai teman yang telah menghabiskan banyak waktunya bersamaku, ada di sampingku bahkan di saat sulitku.

Sakit hatiku mungkin dulu berlebihan hingga memutuskan untuk menghapusnya dari hidupku, aku sedikit menyesali itu.



Harusnya dulu kami bisa membicarakannya dan mungkin sampai saat ini kami masih bisa dekat dan akrab. Tapi nasi sudah menjadi bubur, meskipun masih bisa diolah menjadi kudapan lezat tapi bubur tetaplah bubur. Begitu juga hubungan kami. Aku hanya bisa memaafkan dengan lapang dengan hati yang ikhlas, walaupun aku tahu sampai saat ini yang selalu mendampinginya saat sakit adalah mantan pacarku dulu. Belajar menerimanya lagi, dan mulai mengakrabkan diri lagi, aku tahu dia sangat butuh teman-temannya saat ini. Seperti saat dulu lagi, saat salah satu dari kami sakit, yang lainnya sudah semestinya merawat.

Ternyata setelah mencoba memaafkan, hatiku juga semakin lapang dan ringan dalam menjalani hidupku. Selama ini sebenarnya aku merindukannya, tapi rasa dendam ini menenggelamkanku dalam kebencian yang semakin lama membuatku tak bisa berpikir secara jernih. Seharusnya memaafkan menjadi hal paling mudah yang dulu harus kulakukan.



(vem/nda)