Usia 36 Tahun Belum Nikah, Baca Kisahku Ini Sebelum Menyebutku Perawan Tua

Fimela diperbarui 20 Jul 2018, 13:00 WIB
Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.
***
Menjalani hidup sebagai wanita lajang di usia yang matang tidaklah mudah. Berada dalam tatanan sosial masyarakat, dengan paradigma yang menjadikan pernikahan adalah suatu tolok ukur pencapaian sukses dan bahagia seseorang, membuatku harus mampu membangun benteng pertahanan, untuk menghadapi beragam perilaku verbal dan non verbal, yang kontradiktif dengan hati kecilku secara berulang–ulang.

Aku adalah satu–satunya anak perempuan dari lima bersaudara, empat saudara laki–lakiku telah menikah. Ayahku meninggal dunia sejak usiaku 4 tahun, sejak saat itu ibuku menjalani hidup sebagai single parent untuk membesarkan kami. Bukan hal mudah baginya berjuang sendiri menafkahi dan memenuhi kebutuhan pendidikan lima orang anak. Di usia tuanya, stamina ibuku tak sekuat dulu lagi dan tampak guratan lelah semakin jelas di wajahnya.


Sudah 9 tahun aku berperan sebagai tulang punggung keluarga untuk kami berdua, kuminta ibu untuk beristirahat saja di rumah. Aku bersyukur, profesiku sebagai praktisi radio swasta di sebuah kota kecil di Sumatera Utara cukup untuk membiayai hidupku dan ibu. Kecintaanku terhadap olahraga yoga turut membuka pintu rezekiku untuk menghasilkan uang tambahan, aku menjadi pelatih di kelas yoga pemula selepas jam kantor. Selain bersama ibu, aku juga cukup sering menghabiskan waktu senggang bersama teman–teman untuk minum teh dan bercengkrama.

Banyak orang di sekitarku yang mempertanyakan mengapa masih betah hidup melajang padahal usia sudah matang, memberi nasihat agar aku tak terlalu memilih mencari pendamping hidup, dan tak melulu berambisi mengejar materi semata. Adakalanya aku merasa enggan menghadiri acara pernikahan di tengah keluarga besarku, baik itu di keluarga ibu ataupun keluarga almarhum ayah. Biasanya pada momen inilah aku merasa diserang habis–habisan tentang status lajangku layaknya musuh yang selalu tersudutkan. Tak jarang aku merasa bahwa keberadaanku adalah sebuah stigma di antara mereka. Ya, sebuah stigma yang menumpulkan afeksi, membuatku harus sering menelan ludah dan mengelus dada, bertopeng senyum semu untuk menyamarkan kondisi hatiku yang sesungguhnya.


Sepanjang perjalanan hidupku tentu saja aku pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan  suramnya patah hati, tapi aku tidak trauma terhadap laki-laki seperti yang mereka kira. Aku tetap membuka hati, ketika 7 tahun lalu seorang kerabat jauh mengenalkanku pada seorang pemuda, yang bekerja di sebuah perusahaan distributor makanan di kota Pekanbaru. Pemuda itu datang ke rumah dan kami sempat berpacaran jarak jauh, dia menyatakan niatnya untuk meminangku. Saat itu aku merasa bahagia, namun ada yang mengganjal di hati ini, bagaimana dengan ibuku jika aku menikah dan tinggal jauh darinya. Siapa yang akan menafkahi dan merawatnya ketika ia sakit?

Kasihan sekali jika ibuku harus sendirian dan kesepian di masa tuanya, mengingat selama ini saudara-saudaraku yang telah menikah tak memiliki banyak waktu untuk ibu, karena fokus dengan kesibukan mengurus keluarga mereka. Maka hanya aku lah yang menjadi tumpuan hidup ibu. Aku sampaikan ganjalan hati ini pada pacarku itu, responnya tidak seperti yang kuharapkan. Dia tidak memberikan tanggapan apa–apa terhadap kegalauan hatiku. Seiring berjalannya waktu dia semakin menjauh, bahkan memutuskan komunikasi denganku dan menghilang tanpa jejak. Setelah 2 tahun tanpa kejelasan, aku membuang jauh semua harapan dan meyakinkan hati bahwa dia bukan jodohku.


Tak ingin berlama–lama sendiri, aku mulai dekat dengan seorang pria lajang berusia 4 tahun lebih tua dariku, berprofesi sebagai anggota Polri yang  bertugas di kotaku. Karakternya yang ramah membuat ibuku terkesan padanya saat berkunjung ke rumah dan aku senang karena mereka cepat akrab. Namun tak kusangka, aku harus kembali menelan pil pahit ketika dia mengutarakan keseriusannya pada hubungan kami dan aku mengutarakan kegalauan hatiku bila harus meninggalkan ibu sendirian setelah aku menikah. Perlahan dia menjauh dan memutuskan hubungan denganku, beberapa bulan setelah putus dariku dia menikahi perempuan lain. Aku kembali meyakinkan hati bahwa dia bukan jodohku. Aku tak pernah  menceritakan alasan ini pada ibu atau siapapun mengapa para lelaki itu meninggalkanku. Sejak saat itu keyakinanku semakin kuat bahwa Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaik untukku.

Waktu bergulir dan angka usiaku terus bertambah, ada resah tersirat di mata ibu dari waktu ke waktu, setiap kali saudara sepupu, anak teman pengajiannya, atau anak tetangga yang usianya jauh lebih muda dariku, melangsungkan pernikahan. Wajah ibu selalu murung setiap kali pulang menghadiri acara–acara tersebut. Diam-diam, ibu mencarikanku jodoh melalui teman–temannya, kerabat jauh bahkan pernah melalui orang yang baru dikenalnya dengan harapan dapat mengenalkanku pada pria yang tepat.


Tak jarang aku dikagetkan dengan kedatangan pria-pria aneh dari berbagai status dan latar belakang. Ada yang mengaku duda, namun setelah kucari tahu ternyata belum resmi bercerai dari istrinya, ada yang tengil dan banyak omong bahkan cenderung meremehkanku bahwa perempuan seusiaku sudah terlalu rentan untuk punya keturunan.

Beberapa minggu lalu ibu sakit, tekanan darahnya naik karena ibu memang memiliki riwayat hipertensi. Sepulang menebus resep obat untuk ibu, aku sempat mendengar beberapa tetangga yang mengomentari bahwa penyakit ibu kambuh karena terlalu memikirkan diriku yang tak kunjung menikah, namun kuanggap saja itu angin lalu.

Setelah makan malam aku memberi obat untuk ibu sesuai anjuran dokter, mata ibu menerawang saat aku duduk di tepi ranjangnya. “Harapan terbesar ibumu yang renta ini adalah melihatmu menikah, bisa menimang cucu darimu sebelum ajal menjemput ibu. Kapan kau akan mewujudkan harapan ibu?"


Aku tertunduk dan menelan ludah, rasanya sangat pahit mendengar pertanyaan “kapan” yang selalu kudengar dari orang lain akhirnya terucap oleh ibu. Satu–satunya orang terdekatku yang tak pernah menanyakan itu padaku, walau kutahu dia adalah orang yang paling menginginkan pernikahanku terlaksana. Kutatap lekat wajah malaikat tak bersayap di sampingku dan kugenggam jemarinya. Air mata seketika membanjiri wajahku dan aku butuh beberapa detik mengatur napas untuk dapat berbicara.

“Ibu, mohon maafkanlah aku karena tak bisa menjawab pertanyaan yang sama sekali tak kuketahui jawabannya. Jika ajal atau kematian adalah rahasia Tuhan yang tak pernah kita ketahui kapan menjemput, demikian halnya dengan jodohku. Aku tak pernah tahu kapan Tuhan akan mempersatukanku dengan jodohku dalam pernikahan. Tak apa mereka sebut aku perawan tua, jika itu adalah ketetapan Tuhan, aku ikhlas bu.”

Ibu menatapku, tampak penyesalan di matanya karena melihatku menangis dengan pertanyaannya tadi. Direngkuhnya kepalaku dalam pelukannya dan kurasakan butiran hangat dari matanya menetes di telingaku. Kami berpelukan dalam diam, aku merasa sangat damai di pelukan ibu, kedamaian yang memberi kekuatan baru.

Hingga kini aku masih berjuang untuk berdamai pada diri sendiri, optimis dan ikhlas dalam keimanan menjalani takdir hidup dan ketentuan dari-Nya. Ibu adalah satu–satunya orang di dunia ini yang telah mencintaiku bahkan sebelum melihat wujudku, menjaga, dan melakukan segalanya untukku sejak pertama kali aku lahir di dunia.

Satu janjiku, aku tidak akan meninggalkan dan membiarkan ibu menjalani hari tuanya sendirian. Aku akan merawatnya dengan kedua tanganku, sebagaimana dulu ibu merawatku. Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaik yang luar biasa untukku, si gadis biasa berusia 36 tahun ini dan menantu terbaik untuk ibu. Tak ada yang terlambat atau terlalu cepat dalam ketetapan Tuhan. Aku percaya bahwa Tuhan, sudah merancang waktu yang tepat untukku dan mengatur hidupku sesuai dengan kehendak-Nya.
(vem/nda)