Ibu Diam-Diam Telah Menangis

Fimela diperbarui 24 Agu 2018, 19:30 WIB

Sedih pastinya bila kita melihat betapa beratnya pengorbanan seorang ibu tapi kita masih belum bisa membalas semua jasanya. Seperti kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.

***

Aku adalah anak dari seorang ibu yang jika dilihat dari fisik, kami tampak seperti cucu dan nenek. Yap, ibuku hamil diriku di usianya yang hampir menginjak kepala empat. Tapi bagaimana pun jauhnya jarak umur kami, kami tetaplah ibu dan anak.

Untuk menghadirkanku di dunia ini bukanlah hal mudah bagi ibuku. Ia cukup lama menunggu kehadiranku. Berobat kemana-mana, minum ramuan ini-itu untuk segera hamil, mengalami keguguran, dan merasakan kehilangan. Semua adalah duka yang ia terima meski setengah hati sudah hampir menyerah di tengah keterbatasan. Namun segala kesakitan yang ia tanggung tidak membuatnya menyerah begitu saja.

Salah satu penguatnya adalah sang suami, Bapakku yang begitu setia mendampinginya. Bapakku dengan sabar berada di samping ibuku, terus memberikan dukungan. Sampai akhirnya, ibuku dinyatakan hamil untuk kedua kalinya. Setelah 5 tahun penantian. Dalam doanya, ia menangis bahwa Tuhan telah menggariskan takdir untuk menjadikannya seorang ibu.



Proses persalinan pun, ibuku mengalami banyak kesulitan. Pada saat itu ibu melahirkan di sebuah kampung (Daerah Selayar), jadi ia dibantu oleh seseorang yang biasa disebut ‘dukun anak’, kalau di kampung namanya ‘sandro’. Namun, aku sangat sulit dikeluarkan bahkan keluarga semua turun tangan. Hingga ibu tidak kuat lagi. Akhirnya, keluarga menyiapkan untuk memberangkatkan ibu ke Makassar agar ditangani lebih lanjut dan mempermudah proses persalinan.

Ibu pun tidak perlu lagi merasakan sakit yang lebih lama. Namun, Tuhan telah menggariskan takdir untuk hidupku, bahwa aku harus lahir di kampung. Melawan sakit bagaikan di ambang kematian, ibu berjuang dengan sisa kekuatan yang ia miliki yaitu keyakinannya bahwa ia mampu melahirkan anak yang ada dalam rahimnya.

Perjuangan ibuku tidak sia-sia, aku lahir dengan selamat. Semua bergembira, ibu tersenyum juga diikuti keharuan. Saat itulah Bapak benar-benar tidak sanggup melihat penderitaan istrinya. Suatu hari Bapak pernah ditanya oleh salah satu temannya, “Kenapa nggak nambah anak lagi?” Bapak menjawab dengan senyuman, “Saya tidak kuat melihat ibunya kesakitan."



Setelah melahirkanku, ibu tidak lagi bisa mengharapkan anak selanjutnya. Di usianya yang cukup berumur memungkinkan tidak akan bisa hamil lagi. Meskipun masih menyimpan harap pada Sang Kuasa dan memang benar, hingga sekarang di usianya yang ke-59 tahun anaknya cuma satu, yaitu aku seorang.

Sebagai anak semata wayang, aku jelas sangat dimanja. Aku minta ini-itu dikabulkan meski beberapa kali aku juga pernah dimarahi karena nakal dan tidak mau mendengar. Ibu mana yang mau melihat anaknya tidak baik ataupun terluka, sehingga marah adalah rasa pedulinya yang disembunyikan.

Tiba masaku menyelesaikan pendidikan menengah atas alias SMA. Angan-angan kuliah terpampang nyata di depan mata. Hidup di kota besar, jauh dari orang tua, bertemu dengan orang baru, dan mengunjungi banyak tempat. Semua kurangkai dengan indah. Namun, aku harus kuat menghancurkan angan-anganku.

Ibu menginginkan aku kuliah di Selayar saja. Ibu terlalu menyimpan kekhawatiran jika aku hidup sendiri di kampung orang lain. Tanpa memperdulikan perasaannya, aku tetap keukeuh untuk kuliah di luar Selayar. Dibantu Bapak, ibupun luluh. Di hari keberangkatanku, ibu menangis saking tidak kuat ia melepas putri sematawayangnya.

Seminggu kepergianku, saat berbincang dengan Ibu via telepon Ibu masih menyisakan isak tangis. Ibu menangis bukan hanya karena berpisah denganku, ia juga takut tidak bisa membiayai keperluanku. Namun, ibu masih menyimpan keyakinannya bahwa ia bisa menyekolahkan anaknya sampai selesai.

Usaha bapak mulai meredup, sehingga ibu tidak tinggal diam. Selain menjahit, ibu juga menjual barang campuran meskipun itu saja masih kurang. Tapi ibu yakin bahwa ia bisa melewatinya. Demi untuk kuliahku, ibu harus meminjam uang di bank. Meski ia harus memutar otak bagaimana cara untuk melunasinya.

Kami bukanlah dari keluarga berada. Kedua orangtuaku tidaklah bergaji tetap, kadang mereka harus kuat jika tidak mendapatkan apa-apa per harinya. Kini ibuku semakin dibebankan karena kuliahku yang harus dikirimkan uang untuk biaya hidup dan membayar SPP per semester. Sayangnya, sebagai anak, aku telah menutup mata atas pengorbanan ibu.



Aku terus memaksakan kehendakku untuk dipenuhi. Ibu, demi membuatku senang ia akan mengiyakannya segala permintaan anaknya dan kembali berpikir bagaimana cara untuk mewujudkannya. Meski menunggu waktu yang cukup lama, ibu akan tetap memenuhinya. Aku pun senang tanpa tahu pengorbanan di balik semuanya.

Di balik kebahagiaan anaknya, ibu telah menyimpan tangis mendalam. Ia mencurahkannya pada sosok yang ia percaya akan membantunya, Allah SWT. Ibuku telah banyak berkorban demi anaknya yang hanya sekadar memenuhi keinginan gaya hidup si anak. Tanpa tahu bahwa ibunya berjuang untuk mendapatkan uang setiap harinya. Begadang setiap malamnya untuk menyelesaikan orderan jahitan baju. Bahkan tanpa tahu ibunya telah menangis dalam doa-doa yang dipanjatkannya.

Entah karena kekhawatiran pada anak gadisnya, utang yang semakin menumpuk, biaya hidup yang semakin tinggi atau bahkan kesehatan yang pelan-pelan mulai membuatnya lemah. Ibu selalu mengingatkan untuk mempergunakan uang sebaik mungkin, “Jika ibu tidak ada, kau bagaimana? Bapakmu sekarang tidak seperti dulu lagi, kini pendapatannya bisa dibilang tidak ada."

Mendengarnya membuatku resah, kini aku telah tumbuh dewasa. Harusnya aku sudah bisa mendapatkan uang dan bisa membiayai hidupku sendiri tanpa terus meminta kepada orang tua. Namun, aku masih menutup mata membiarkan ibuku terus berjuang dan ibu tetap pada keyakinannya untuk bisa menyekolahkan putrinya.

Buat semua pengorbanan ibuku, ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk mengembalikan semuanya. Sebanyak apapun materi yang kuberikan nantinya pun tidak akan cukup. Karena ibu tidak akan pernah menghitung sebanyak apa yang telah ia berikan. Namun, ia hanya tahu semampu apa ia membahagiakan anaknya. Bukan uang, tapi ketulusan hati seorang ibu lah yang membuat ia bertahan hingga saat ini. Terima kasih, ibu.





(vem/nda)