Sebelum Menikahi Pria Beda Keyakinan, Restu Orangtua Harus Didapatkan

Fimela diperbarui 24 Apr 2018, 13:45 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Bulan April 2005, bulan yang begitu bersejarah dalam kehidupanku. Sebuah keputusan kuambil untuk memulai kehidupan yang baru bersamamu. Padahal sudah 9 tahun mengenalmu. Hm, iya 9 tahun bukanlah waktu yang singkat.

Masa-masa SMA berlalu begitu menyenangkan. Seperti remaja-remaja yang lain, banyak pria yang mencoba mendekat tetapi semua tidak bertahan lama. Sweet seventeen merupakan awal dia mendekatiku. Dia yang kini menjadi suamiku. Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa untuk seorang pria seperti dirinya. Selain perbedaan keyakinan, keadaan sosial ekonomi kami pun jauh berbeda.

Dia yang hidup di keluarga pas-pas an sedangkan aku terbilang berkecukupan. Tapi entahlah keyakinanku mantap. Orangtuaku tidak begitu saja menyetujui hubungan kami. Aku sering diingatkan mengenai perbedaan keyakinan dan ketika itu aku hanya menjawab, “Ah, kami sekadar berteman kok Bu." Tanpa terasa, setelah SMA, lulus kuliah hingga aku diterima kerja aku masih menjalin hubungan dengannya.

Tahun 2003 keluarga dari pihak laki-laki ada yang datang, bersilaturahim ke rumah dan menanyakan tentang hubungan kami serta ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan, namun ditolak oleh orangtuaku dengan alasan, “Pikir-pikir dulu."

Setahun semenjak itu, keluargaku pun tak pernah menyinggung hubungan kami walaupun dia masih sering datang ke rumah. Mungkin sudah “eneg” lihat kami bersama, akhirnya Januari 2005 orangtuaku memanggil kami berdua. Ibu menanyakan, “Mbak, gimana hubungan kalian, kok ya masih diam sampai sekarang?"

Dengan mantap aku menjawab, “Bu, aku ingin menikah dengan dia." “Lalu?” ibuku bertanya dengan suara agak tinggi. “Kalau bapak-ibu mengizinkan aku menikah dengan dia sesuai keyakinannya,” jawabku. Dengan suara pelan dan terbata-bata ibuku menjawab, “Ya sudahlah jika itu memang pilihanmu. Ibu dan bapak hanya bisa memberikan restu. Kalian harus bisa bertanggungjawab atas pilihan kalian. Ibu titip Mbak ya Mas, dibimbing sesuai keyakinan Mas.” Betapa terharu dan gembiranya kami saat itu, betapa perjuangan dan penantian panjang ini akan menjadi kenyataan.



Ternyata tidak mudah menjalani rumah tangga itu, meskipun aku begitu lama mengenalnya. Pahit manis kami rasakan. Aku hanya bisa mengingatkan ketika suami sedang keluar “jalur”. Atau ketika keadaan ekonomi kami kurang stabil, maklum suamiku berwiraswasta dan kami tinggal di kota kecil. Aku harus bertahan. Aku selalu ingat “dia itu pilihanku” akan kuhadapi semuanya. Aku tak boleh menyerah, sambil menangis dan mengingat orangtua serta anak-anakku. Tapi aku juga beruntung, setidaknya dia masih bisa terkendali, selalu saja kuingatkan suka duka kami sebelum menikah.



Bulan April, bulan penuh kenangan. Kini 13 tahun sudah aku dan dia membina rumah tangga. Berbagai halangan, rintangan, godaan, ujian sudah banyak kami lalui. Ketiga buah hati yang hadir menghiasi rumah ini sebagai penyembuh luka-luka kami. Kupersembahkan tulisan ini sebagai rasa terima kasih untuk orangtuaku yang telah mengizinkanku untuk menentukan pilihan hidup. Teruntuk suamiku, terima kasih atas kebersamaan yang kita lalui dari putih abu-abu hingga kini. Tetaplah menyediakan bahumu sebagai sandaranku.

(vem/nda)
What's On Fimela