Berhasil Kuliah ke Jepang dengan Beasiswa, Kini Berjuang Wujudkan Impian Baru Lagi

Endah Wijayanti diperbarui 03 Jan 2019, 13:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Apapun mimpi dan harapanmu tidak seharusnya ada yang menghalanginya karena setiap perempuan itu istimewa. Kita pun pasti punya impian atau target-target yang ingin dicapai di tahun yang baru ini. Seperti kisah Sahabat Fimela ini yang kisahnya ditulis untuk mengikuti Lomba My Goal Matters: Ceritakan Mimpi dan Harapanmu di Tahun yang Baru.

***

Oleh: Febrina - Tangerang 

Hi Fimela! Saya Febrina Tri Hartanti, tinggal di Tangerang, berumur 27 tahun.

My goal matters mengingatkan saya akan mimpi-mimpi saya yang dulu selalu saya tuliskan di secarik kertas dan saya lipat dalam dompet. Setiap kali saya jenuh dan merasa ingin menyerah, saya membuka kembali lipatan kertas itu, membacanya berulang, dan kembali berjuang.

Saya mengenyam pendidikan di jurusan kimia Universitas Padjadjaran angkatan 2009. Diterima di universitas negeri merupakan suatu kebanggaan besar untuk ayah saya. Saya sendiri merasa itu hal biasa, karena saya tahu itu adalah salah satu cara saya untuk membantu orangtua saya karena biaya kuliah saya di universitas negeri saat itu adalah satu-satunya yang affordable untuk ayah saya.

Setelah berjalan 1 semester berkuliah, ayah saya dipanggil Tuhan. Hati saya hancur sekali. Tapi saya tidak mungkin terus menerus bersedih. Saya, kakak, dan adik saya masih harus bersekolah. Kami pun terus berjuang melanjutkan sekolah dengan uang pensiun Papa yang tersisa.

 

 

Ilustrasi./Copyright rawpixel

Pada tahun 2013 saya dan kakak saya berhasil mendapatkan gelar sarjana. Rasanya begitu lega, merasa mendapat bekal untuk bisa mandiri menjalani hidup. Di tahun yang sama ternyata aplikasi beasiswa saya untuk berkuliah di Jepang diterima. Hanya berselang satu bulan dari wisuda sarjana, saya berangkat ke Jepang untuk meraih gelar master di Yamanashi University.

Pertama kali sampai di Jepang, saya malu sama sekali, saya sudah underestimate sama apa yang sebenarnya bisa Tuhan lakukan untuk hidup saya. Saya tidak pernah berpikiran akan kuliah ke luar negri untuk dapat gelar master. Saya hanya berpikir saya mau cepat lulus S1 dan bekerja kemudian membantu adik saya kuliah. Ternyata Tuhan memberi segalanya jauh lebih besar dari yang saya pikirkan. Beasiswa yang saya terima bahkan bisa dipakai untuk membiayai kuliah adik saya. Betapa hidup saya diberkati untuk memberkati orang lain.

Berkuliah di negeri nun jauh di sana membentuk saya menjadi pribadi yang tangguh. Mulai dari belanja mingguan, memasak, membersihkan apartemen, sampai mengingat-ingat kapan jadwal untuk membuang sampah kertas, kaleng, dan sampah organik. Semua harus diatur dengan jadwal nge-lab yang dari jam 8 pagi sampai tengah malam setiap harinya.

Di sela-sela mengerjakan riset di lab, saya pakai waktunya untuk mengerjakan tugas bahasa Jepang dan mengikuti kelas-kelas. Di sore hari dua kali dalam seminggu saya juga menjadi English Assistant untuk berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa Jepang yang ingin mempraktikkan bahasa Inggris mereka. It was tough, tapi kalau diinget-inget kangen juga, karena sebulan sekali saya selalu menjadwalkan jalan-jalan, ini semua bisa terlaksana karena di Jepang selalu ada satu hari Senin yang libur setiap bulannya. Senangnya!

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/kumiko shimizu

Setelah saya lulus, saya segera kembali ke Indonesia tercinta. Kangen sekali karena 2 tahun di Jepang saya sama sekali ga pulang ke Indonesia. Saya lebih memilih menabung untuk mengundang Mama dan adik saya untuk hadir ke wisuda saya dan berjalan-jalan di Jepang, dan semua terlaksana. Wow!

Setelah saya kembali ke Indonesia, saya memutuskan menjadi volunteer untuk mengajar di suatu desa binaan di daerah Rawa Kompeni, Tangerang. Saya merasa setiap kesempatan yang Tuhan berikan buat saya sangat berharga, dan setiap ungakapan terima kasih yang keluar dari mulut saya tidaklah cukup, maka menjadi volunteer adalah salah satu bentuk ungkapan terima kasih saya pada Tuhan atas setiap pengalaman hidup yang Ia berikan.

Menjadi seorang volunteer di pemukiman kumuh di Kawasan Tangerang membentuk saya menjadi pribadi yang penuh syukur. Bukan karena hidup saya lebih baik kemudian saya menjadi bersyukur, tapi karena saya bertemu dengan orang- orang yang hidupnya jauh dari layak namun memiliki sikap hati yang bersyukur.

Suatu kali saya ingat ada seorang ibu yang mendapatkan gelas sebagai hadiah doorprize acara yang kami selenggarakan. Gelas biasa, gelas yang kami kumpulkan dari hadiah beli deterjen, tapi kata-kata apa yang keluar dari mulut ibu yang mendapat gelas itu sebagai hadiah? Ayo coba tebak! Beliau berkata, “Tuhan baik banget, saya butuh gelas dikasih gelas!” It’s been 3 years ago but I still remember it clearly.

Ternyata bersyukur itu sama sekali tidak bergantung dari apa yang kita dapatkan, tapi bagaimana sikap hati kita untuk mau bersyukur. Pengalaman yang sangat berharga yang bisa saya dapatkan selama menjadi volunteer di sana. Yang awalnya saya berniat “memberi diri saya” tiga bulan untuk mengajar, tapi pada kenyataannya “saya mendapatkan” pelajaran hidup yang saya akan ingat seumur hidup saya.

Meninggalkan Desa Rawa Kompeni merupakan suatu hal yang berat untuk saya, itu yang membuat saya tetap kembali ke sana di penghujung minggu untuk sekadar main bersama anak-anak di sana. Meninggalkan desa Rawa Kompeni juga berarti awal dari karier saya di Indonesia. Setelah tiga bulan bergumul dalam pencarian kerja, saya diterima kerja di salah satu multinational company di Jakarta.

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/hey beauti magazine

Bekerja di perusahaan multinasional mengingatkan saya akan kehidupan saya dulu di Jepang, bagaimana disiplinnya mereka dalam segala hal, termasuk dalam mengelola sampah. Hal ini yang mulai saya pikirkan tentang apa yang sudah saya lakukan selama ini. Sewaktu di Jepang saya bisa memilah sampah dan membuangnya sesuai jadwal yang ditentukan, tapi kenapa saat saya kembali ke negeri saya sendiri saya tidak bisa lakukan itu? Akhirnya saya memutuskan untuk mulai memilah sampah di apartemen tempat saya tinggal, dan saya bersyukur saat saya melihat di tempat pembuangan sampah, pihak yang berwenang memilah antara sampah botol atau gelas plastik yang bisa didaur ulang dengan sampah lainnya. Ini step kecil yang menurutku sudah bisa menjadi langkah besar.

Semakin saya coba untuk memilah sampah, mendorong saya untuk hidup lebih sehat. Sehat yang saya maksud dimulai dengan memilih produk yang baik untuk tubuh dan juga produk yang baik untuk lingkungan. Dengan latar belakang saya dari bidang kimia, muncullah ide untuk membuat sabun yang baik untuk kulit dan juga alat makan yang ramah lingkungan. Semua ide ini dituangkan dalam brand @nareswari.natural . Brand ini merupakan intepretasi dari mimpi saya selama ini, brand yang menstimulasi orang banyak untuk hidup sehat untuk dirinya sendiri dan pastinya untuk lingkungan.

Setelah berbulan-bulan menjalani trial and error, @nareswari.natural hadir sebagai jawaban bagi masyarakat yang mencari produk natural dan juga peralatan makan yang biodegradable. Semoga mimpi saya ini bisa menjadi jawaban atas permasalahan lingkungan yang ada mengenai penggunaan bahan kimia berbahaya di sabun mandi serta sedotan dan alat makan plastik yang sangat berbahaya bagi ekosistem laut kita.

Selain menjadi jawaban atas kebutuhan sabun natural tanpa bahan kimia berbahaya, serta kebutuhan akan alat makan biodegradable, @nareswari.natural juga berusaha untuk menjadi saluran berkat untuk orang sekitar. Sebanyak 10% dari keuntungan yang didapatkan dari penjualan produk @nareswari.natural akan disalurkan untuk anak-anak di Desa Rawa Kompeni untuk membantu mereka melanjutkan kuliah. Saat menjadi cantik, sehat, dan cinta lingkungan juga bisa berkesempatan untuk berbagi, rasanya indah sekali! Mari hidup sehat dan berbagi.

Febrina Tri Hartanti @febrinahartantiCo-Founder of @nareswari.natural