UNCHR: Gelombang Kedua Pandemi COVID-19 Bisa Dorong Peningkatan Kekerasan terhadap Perempuan Lebih Lanjut

Annissa Wulan diperbarui 02 Des 2020, 19:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan merupakan perpaduan yang mematikan antara pengurungan, kemiskinan yang semakin dalam, dan tekanan ekonomi. Pada akhirnya, semuanya melepaskan gelombang baru dan berkelanjutan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, terutama mereka yang pengungsi dan tanpa kewarganegaraan.

Hal ini telah menjadi fokus dan diperingatkan oleh UNHCR, organisasi yang mengurusi pengungsi dari PBB. UNHCR telah menerima laporan yang mengkhawatirkan tentang peningkatan tajam kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia, eksploitasi seksual, dan pernikahan anak.

Kelompok perlindungan global di bawah pimpinan UNHCR yang memberikan perlindungan kepada orang-orang yang terkena dampak krisis kemanusiaan, melaporkan adanya peningkatan kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan terhadap perempuan di setidaknya 27 negara. Penjualan atau pertukaran seks sebagai mekanisme penanggulangan ekonomi juga dilaporkan di setidaknya 20 negara, seperti dilansir dari unhcr.org.

 

 

2 dari 3 halaman

Paparan data tentang meningkatkan kekerasan berbasis gender selama pandemi

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Sumber foto: unsplash.com/Sydney Sims.

Secara mengejutkan, di Kamerun, di mana situasi keamanan tidak menentu, 26% insiden kekerasan berbasis gender yang dicatat sejak awal pandemi justru terkait anak-anak. Di Afrika Tengah, di mana seperempat populasinya mengungsi, 1 insiden kekerasan berbasis gender dicatat setiap jam, sebuah perikiraan berdasarkan angka-angka dari sistem peringatan kemanusiaan.

Insiden kekerasan berbasis gender yang mempengaruhi pengungsi Venezuela dan migran di Kolombia telah meningkat 40% selama 3 kuartal pertama tahun ini, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Panggilan ke hotline kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat 153% di Kolombia dan 56% di Zimbabwe.

3 dari 3 halaman

Adanya risiko yang lebih tinggi jika pandemi tidak segera berakhir

ilustrasi kekerasan terhadap perempuan | pexels.com/@katlovessteve

UNHCR juga khawatir dengan meningkatnya risiko anak dan kawin paksa yang dijadikan sebagai strategi penanggulangan oleh keluarga pengungsi yang tertekan secara sosial dan ekonomi. Banyak negara yang mengalami konflik sudah memiliki insiden ini dengan tingkat tertinggi di dunia.

PBB bermaksud mempromosikan aksi untuk mendanai, menanggapi, mencegah, dan mengumpulkan data untuk mengakhiri kekerasa berbasis gender. Menangani kekerasan berbasis gender membutuhkan tanggapan bersama yang melibatkan otoritas nasional, mitra kemanusiaan, masyarakat sipil, perempuan, anak perempuan, laki-laki, dan anak laki-laki.

#ChangeMaker