Meski Tak Ada Jaminan Segalanya Baik-Baik Saja, Tetap Jalani Hidup dengan Tegar

Endah Wijayanti diperbarui 21 Des 2020, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh:  Dsafc

Cerita ini akan sangat sederhana sekali. Tentang ibuku. Tiga tahun yang lalu, ia adalah alasan menunda kematianku sendiri. Ya, dia ibuku.

Aku terlahir dengan mental yang tidak sekuat orang lain. Aku mengalami gangguan kecemasan yang sangat berlebih. Pada tahun 2015, meski mataku tertutup, aku masih bisa mendengar tangisannya.

Waktu itu, aku pingsan hampir sepuluh kali karena ketidaksanggupanku menyelesaikan tugas sekolah. Ia menggenggam tanganku. Samar-samar masih kudengar suara paniknya memanggil Bapak, "Pak, ini pingsan terus dari tadi." Bapak menjawab, "Kenapa bisa pingsan?" Ibu kemudian menjelaskan bahwa aku tidak bisa menyelesaikan tugas sekolah malam itu juga, aku menangis sampai aku pingsan berulang kali.

Kemudian terulang kembali di tahun 2018. Tidak hanya pingsan. Aku memutuskan untuk bunuh diri karena ketidaksanggupanku menghadapi masalah. Waktu itu, keluarga kami terpecah belah seperti tidak saling mengenal satu sama lain. Bapak dan ibu memiliki masalah. Banyak bumbu dari luar rumah yang semakin memperkeruh keadaan.

Kami bertiga, aku sebagai anak sulung, dan dua adikku tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan, sehingga yang bisa kami lakukan hanya mencari kebahagiaan dari tempat lain.

2 dari 2 halaman

Aku Berjuang untuk Bertahan demi Ibu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/GBALLGIGGS

Saat di rumah, saat pertengkaran itu terjadi lagi. Aku merasa tidak sanggup lagi menghadapi. Aku mengetik sebuah pesan ancaman akan bunuh diri pada pukul 14.00 WIB apabila keadaan tidak menjadi lebih baik. Aku merencanakan bunuh diri dengan menabrakkan diri ke badan truk atau menceburkan diri ke sawah. Aku sadar, hal itu dosa dan tidak memastikan aku mati setelahnya. Aku tidak peduli dengan semua itu. Saat itu aku hanya berpikir, setidaknya mereka tahu bahwa aku sudah tidak sanggup lagi menghadapi semua, dan tidak mau lagi menghadapi masalah itu.

Bersitegang. Tidak ada yang mau mengalah. Saling menyalahkan satu sama lain. Bukankah tidak ada yang menginginkan semua ini terjadi? Jelas, tidak ada yang mau ditempatkan pada kondisi keluarga yang berantakan. Menangis menjadi sebuah rutinitas bagiku dan ibu. Mungkin karena kami sama-sama perempuan. Satu pertanyaan yang selalu kutanyakan pada tembok kamarku, "Kapan semua ini berakhir?" Selalu tidak ada jawaban atas pertanyaanku tersebut. Setiap di jalan, memacu kecepatan motor paling tinggi, berakhir pada bayangan senyuman ibu.

Bagaimana keadaan ibu jika aku mati? Aku mungkin sudah tidak akan merasakan sakit itu lagi, tapi ibuku akan lebih sakit. Siapa yang akan merawatnya ketika ia hipotermia? Apalah ia akan dibiarkan membeku dan berbusa? Tidak, ibu sudah terlalu banyak merasakan sakit. Selama dua tahun ia tidak lagi tersenyum. Dan aku tidak mau menjadi sebab dari bertambahnya volume air yang ia keluarkan dari matanya.

2019 terulang kembali. Aku menangis di dalam kamar sampai napasku tak lagi bisa kukendalikan. Ibu sedikit berteriak meminta seseorang untuk mendobrak kamarku. Berhasil. Pintu kamarku berhasil didobrak meski harus merusaknya terlebih dahulu. Samar-samar kudengar tangisannya. Ia meminta seseorang yang sedang memijat tanganku untuk meminta maaf kepadaku. Aku ingin mengatakan, "Jangan menangis Ibu, aku tidak apa-apa," tetapi aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Yang kurasakan seluruh tubuhku kaku, tidak dapat kugerakkan, tapi aku masih bisa menangis dengan keras meski napasku tidak bisa kukendalikan.

Ibu memohon untuk kebahagiaanku. Ia bahkan tidak peduli dengan dirinya sendiri. Harusnya aku yang membuatmu tersenyum, Ibu. Bukan sebaliknya.

Tuhan, kalau boleh kuminta, berilah Ibu kebahagiaan. Dunia ini akan sangat tidak adil jika ia selalu memintakan kebahagiaanku kepadamu, tapi ia tidak pernah merasakan kebahagiaan. Senyumnya. Sebuah keutuhan.

Selamat Hari Ibu, Ibu.

#ChangeMaker