Fimela.com, Jakarta Tongue-tie atau ankyloglossia adalah kondisi yang mungkin jarang diperbincangkan, tetapi dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, terutama pada bayi dan anak-anak. Kondisi ini terjadi ketika jaringan yang menghubungkan lidah dengan dasar mulut, yang disebut frenulum, lebih pendek atau lebih ketat dari biasanya. Akibatnya, pergerakan lidah menjadi terbatas dan bisa memengaruhi kemampuan menyusui, berbicara, hingga kesehatan oral secara keseluruhan.
Banyak orang tua yang khawatir saat anak mereka didiagnosis mengalami tongue-tie. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah kondisi ini harus segera diatasi dengan tindakan medis, seperti insisi atau pemotongan frenulum. Beberapa tenaga medis merekomendasikan prosedur ini sebagai solusi, sementara yang lain berpendapat bahwa tongue-tie tidak selalu memerlukan tindakan invasif, terutama jika tidak menyebabkan gangguan yang signifikan.
Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya insisi pada tongue-tie sering kali bergantung pada tingkat keparahan kasus serta dampaknya terhadap fungsi oral. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana tongue-tie dapat memengaruhi seseorang serta kapan tindakan medis benar-benar diperlukan. Dengan pemahaman yang tepat, orang tua dapat membuat keputusan terbaik bagi anak mereka tanpa perlu khawatir berlebihan.
Memahami Tongue-tie dan Dampaknya
Tongue-tie atau ankyloglossia adalah kondisi di mana frenulum lingual (pita selaput horizontal yang menghubungkan bagian tengah bawah lidah dengan dasar mulut) lebih pendek, tebal, atau tidak elastis, sehingga membatasi gerakan lidah. Kondisi ini dapat memengaruhi berbagai fungsi oral, termasuk menyusui, pengucapan huruf tertentu seperti t, d, s, l, dan r, serta menjaga kebersihan rongga mulut. Salah satu prosedur medis yang sering direkomendasikan untuk mengatasi tongue-tie adalah frenotomi, yaitu pengirisan frenulum guna membebaskan gerakan lidah.
Perdebatan Mengenai Frenotomi
Meskipun frenotomi dapat menjadi solusi dalam penanganan tongue-tie, prosedur ini kerap direkomendasikan terlalu dini tanpa evaluasi menyeluruh. Hal ini memicu perdebatan di antara praktisi kesehatan anak mengenai risiko overdiagnosis dan overtreatment, potensi komplikasi, serta kurangnya pendekatan komprehensif dalam mendukung proses menyusui sebelum mempertimbangkan tindakan bedah.
Beberapa poin utama yang menjadi bahan diskusi di antara penyedia layanan kesehatan meliputi:
1. Overdiagnosis dan Overtreatment
Tidak semua kasus tongue-tie memerlukan tindakan medis. Insidensi kondisi ini dalam berbagai penelitian berkisar antara 4-16%, dengan sekitar seperempat bayi mengalami kesulitan pelekatan saat menyusu. Namun, sebagian besar kasus ringan tidak mengganggu pemberian ASI dan dapat diatasi dengan teknik menyusui yang lebih baik serta pemantauan berkala. Oleh karena itu, diagnosis tongue-tie harus dilakukan dengan cermat agar tidak menyebabkan tindakan medis yang tidak perlu.
2. Potensi Komplikasi Frenotomi
Meskipun frenotomi tergolong prosedur sederhana, tindakan ini tetap memiliki risiko, termasuk perdarahan, infeksi, atau pembentukan jaringan parut yang dapat memengaruhi fungsi lidah di kemudian hari. Selain itu, terdapat berbagai kesalahpahaman dalam masyarakat, seperti anggapan bahwa tongue-tie selalu menyebabkan keterlambatan bicara atau bahwa semua kasus buccal-tie (cheek-tie) juga memerlukan insisi. Klaim-klaim ini perlu diluruskan berdasarkan bukti ilmiah terkini.
3. Kewenangan Klinis dalam Melakukan Frenotomi
Tidak semua tenaga medis memiliki wewenang untuk melakukan frenotomi. Prosedur ini harus dilakukan oleh dokter spesialis yang memiliki clinical privilege, seperti dokter spesialis Bedah Anak, Bedah Mulut, atau spesialis THT-BKL. Sementara itu, dokter spesialis anak, konselor menyusui, dan konsultas laktasi tidak memiliki kualifikasi untuk melakukan tindakan ini. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memastikan bahwa prosedur dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten.
4. Pentingnya Dukungan Laktasi yang Komprehensif
Manajemen laktasi yang tepat wajib menjadi bagian dari layanan perinatal esensial. Dengan demikian, tongue-tie tidak langsung dianggap sebagai penghambat utama dalam menyusui. Pedoman yang jelas mengenai penilaian tingkat keparahan tongue-tie, indikasi frenotomi, serta tenaga medis yang berhak melakukan tindakan harus dipahami dan diterapkan oleh semua pihak yang terlibat dalam perawatan bayi.
5. Prinsip ‘Do No Harm’ dalam Praktik Medis
Peningkatan jumlah tindakan frenotomi yang dilakukan dini, bahkan sebelum dilakukan upaya konseling menyusui, dapat dianggap melanggar prinsip medis 'Do No Harm'. Selain itu, klaim bahwa frenotomi memberikan manfaat jangka panjang, terutama dalam hal perkembangan bicara, masih memerlukan bukti ilmiah lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap tindakan medis harus dilakukan dengan pertimbangan matang berdasarkan manfaat dan risikonya.
Haruskah Semua Kasus Tongue-tie Diinsisi?
Bagi orang tua, memahami kondisi tongue-tie sangat penting agar tidak terburu-buru mengambil keputusan. Penilaian awal oleh dokter anak yang memiliki kualifikasi dalam manajemen laktasi dapat membantu mengidentifikasi tantangan menyusui dan mengeksplorasi solusi non-invasif. Selain itu, edukasi pranatal juga diperlukan untuk memberdayakan orang tua dalam membuat keputusan yang seimbang.
Sebagian besar masalah menyusui dapat diatasi dengan teknik pelekatan yang benar, penyesuaian posisi, atau konseling menyusui tanpa perlu intervensi bedah. Oleh karena itu, tidak semua bayi dengan tongue-tie memerlukan frenotomi. Sebelum mengambil keputusan, orang tua sebaiknya berkonsultasi dengan tenaga medis yang kompeten untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsi lidah dan perilaku bayi saat menyusu. Dengan demikian, keputusan yang diambil benar-benar berorientasi pada kesejahteraan bayi dan bukan sekadar tindakan medis yang tidak perlu.