Tradisi Barikan: Merayakan HUT RI Lewat Rasa Syukur dan Berbagi

Endah WijayantiDiterbitkan 15 Agustus 2025, 16:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Di banyak desa Jawa, malam sebelum 17 Agustus selalu punya warna tersendiri. Jalan-jalan kampung yang biasanya sepi mendadak ramai oleh langkah kaki warga. Tikar digelar, meja panjang diisi aneka hidangan, dan aroma masakan rumah menyeruak di udara. Malam itu, ada rasa syukur dalam tradisi yang disebut barikan.

Barikan adalah salah satu tradisi kebersamaan yang bisa meningkatkan tali silaturahmi di malam jelang 17 Agustus. Duduk melingkar, saling bersisian tanpa sekat, orang tua, anak muda, hingga balita berada di satu ruang yang sama. Tak ada status yang dibawa, tak ada jarak yang memisahkan, yang ada hanyalah rasa bahwa semua adalah bagian dari satu keluarga besar.

2 dari 7 halaman

Tumpeng Kuning, Gunung Harapan di Tengah Lingkaran Warga

Tumpeng Kuning, Gunung Harapan di Tengah Lingkaran Warga./Copyright depositphotos.com/AI Generator

Di Jawa, tumpeng kuning adalah bintang utama dalam barikan. Bentuknya menyerupai gunung, melambangkan doa agar hidup senantiasa menjulang ke arah yang lebih baik. Urap sayur yang mengelilinginya adalah lambang keragaman yang saling melengkapi, sementara lauk pauk di sekitarnya adalah simbol rezeki yang harus dibagi.

Ketika tumpeng diletakkan di tengah lingkaran warga, suasana menjadi lebih syahdu. Semua mata memandang ke satu titik yang sama, seakan di sanalah terkumpul harapan dan doa yang tak terucap. Inilah kekuatan simbol: tanpa kata-kata panjang, tetapi bisa menyatukan hati banyak orang.

Bagi masyarakat Jawa, memotong puncak tumpeng dan memberikannya pada tokoh tertua atau yang dihormati adalah bentuk penghargaan. Sebuah pengingat bahwa menghormati yang lebih dulu berjuang adalah bagian penting dari menjaga kemerdekaan.

3 dari 7 halaman

Doa dan Harapan yang Dipanjatkan dengan Rasa Khusyuk

Tradisi tumpeng dalam perayaan kemerdekaan RI./Copyright depositphotos.com/Reezky11

Sebelum makan dimulai, tokoh masyarakat atau sesepuh kampung memimpin doa. Dalam bahasa Jawa yang lembut, mereka memanjatkan doa keselamatan, kesejahteraan, dan kekuatan untuk menjaga persatuan.

Di momen ini terasa betapa kemerdekaan adalah anugerah yang harus dijaga dengan hati yang bersih. Doa bukan sekadar ritual, tapi tali pengikat yang membuat semua orang merasa terhubung dengan sejarah bangsanya.

Bahkan setelah doa selesai, gema keheningan itu masih terasa. Seakan malam memberi ruang untuk merenungkan bahwa perjuangan tidak hanya milik masa lalu, tapi juga tanggung jawab hari ini.

4 dari 7 halaman

Hangatnya Percakapan, Harumnya Masakan

Merayakan HUT RI./(sumber:AI)

Begitu doa selesai, suasana beralih menjadi hangat dan riuh. Sendok mengetuk piring, gelas kopi berpindah tangan, dan aroma sayur urap bercampur dengan wangi ayam goreng buatan rumah. Orang tua bercerita tentang barikan di masa kecil mereka, yang dulu dilakukan dengan penerangan lampu minyak dan menu seadanya.

Anak-anak berlarian sambil sesekali menyambar kue cucur atau klepon dari meja. Para ibu saling bertukar resep sambil tersenyum, dan para bapak membicarakan rencana lomba esok hari. Di sinilah barikan menjadi wadah alami untuk mempererat hubungan dan mengikat tali silaturahmi.

Momen seperti ini adalah bukti bahwa kebahagiaan sering lahir dari hal-hal sederhana: duduk bersama, berbagi makanan, dan saling mendengarkan.

5 dari 7 halaman

Kue Tradisional, Penjaga Rasa dan Kebersamaan

Kue lemper isi abon./Copyright Fimela

Di Jawa, barikan biasanya tidak akan terasa lengkap tanpa kue tradisional. Klepon yang kenyal dengan taburan kelapa, apem yang lembut dan harum, atau kue cucur dengan pinggiran renyah berwarna cokelat keemasan.

Setiap kue punya cerita. Apem misalnya, sering dimaknai sebagai simbol permohonan maaf dan kerendahan hati.

Klepon dengan isian gula merah melambangkan manisnya hidup ketika isi hati dijaga tetap baik. Sementara kue cucur yang mengembang di tengah melambangkan harapan agar rezeki dan kebahagiaan terus bertambah.

Menghadirkan kue-kue ini di barikan bukan hanya soal rasa, tapi juga melestarikan resep turun-temurun yang menjadi bagian dari identitas kuliner Jawa.

6 dari 7 halaman

Budaya Membawa Pulang Makanan sebagai Bentuk Berbagi

Budaya Membawa Pulang Makanan sebagai Bentuk Berbagi./Copyright depositphotos.com/AI Generator

Satu hal yang khas dari barikan di Jawa adalah tradisi membawa pulang makanan. Setelah makan bersama, lauk dan kue yang tersisa biasanya dibungkus dalam wadah sederhana, dari plastik bening hingga daun pisang, lalu dibagikan pada semua yang hadir.

Tradisi ini mengajarkan bahwa rezeki tidak boleh berhenti di satu orang saja, melainkan harus selalu dibagi ke lebih banyak orang. Sama seperti kemerdekaan yang diperjuangkan bersama, kebahagiaan pun harus dibagi agar maknanya lebih utuh.

Sepulang dari barikan dengan bungkusan makanan sering kali membuat hati lebih ringan, karena kita membawa pulang rasa syukur bersama potongan tumpeng atau sepotong kue cucur.

7 dari 7 halaman

Barikan sebagai Cermin Kehangatan Sosial

Tradisi Barikan di Jawa./Copyright depositphotos.com/odua

Tradisi barikan ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, tapi juga bebas dari keterasingan satu sama lain.

Di Jawa, barikan adalah peristiwa lintas generasi. Anak-anak duduk di samping orang tua, remaja mengobrol dengan sesepuh, semua belajar dari cerita yang mengalir tanpa skrip. Nilai gotong royong, saling menghormati, dan berbagi tertanam secara alami melalui pengalaman ini.

Dengan begitu, barikan bukan hanya menjaga kenangan masa lalu, tapi juga menanamkan benih kebaikan untuk masa depan.

Saat anak-anak ini dewasa, mereka akan tahu bahwa kemerdekaan bukan hanya dirayakan dengan upacara, tapi juga dijaga lewat kebersamaan yang sederhana namun bermakna.

Di tengah modernisasi yang cepat, barikan ibarat jangkar yang menjaga kita tetap berpijak pada nilai-nilai asli yang menguatkan bangsa dan mempererat tali silaturahmi.