Sukses

Entertainment

Merawat Luka dan Merayakan Daya, Ini Puisi-Puisi Pilihan Najwa Shihab yang Bicara untuk Perempuan

Fimela.com, Jakarta Di tengah cepatnya ritme dunia digital, Najwa Shihab menghadirkan oase sunyi lewat Klub Buku Narasi, sebuah komunitas literasi yang memberi ruang untuk membaca, merenung, dan berdialog lewat kata. Komunitas ini lahir dari program “Buka Buku” yang tayang di Narasi TV, kemudian berkembang menjadi tempat berbagi bacaan, tips membaca, dan diskusi penuh makna seputar literasi.

Melalui akun Instagram @klubbukunarasi, Klub Buku Narasi aktif memperkenalkan berbagai konten menarik, mulai dari rekomendasi buku, kutipan reflektif, hingga video singkat yang mengajak audiens mendekat pada dunia literasi. Salah satu yang mencuri perhatian adalah #MingguPuisi, sebuah rubrik yang rutin membagikan puisi pilihan—baik karya klasik maupun kontemporer yang temanya kerap menyentuh sisi terdalam manusia, khususnya perempuan.

Puisi-puisi yang dibagikan bukan hanya kumpulan kata indah. Ia menjadi medium untuk bicara tentang luka, ketahanan, identitas, dan harapan. Tak sedikit dari karya yang dipilih merefleksikan pengalaman perempuan yang selama ini luput dari sorotan, atau mungkin terlalu sunyi untuk disuarakan. Berikut beberapa karya yang pernah diangkat oleh Najwa Shihab melalui #MingguPuisi di Klub Buku Narasi.

1. Tentang Mereka yang Bertahan dalam Diam

Puisi "Senyum, Tawa, dan Tangisan" karya Fahruddin Faiz dari buku "Terjemah Rasa" menyoroti kekuatan diam-diam yang dimiliki mereka yang memilih tersenyum dalam setiap keadaan. Ia menggambarkan bagaimana tertawa bisa menjadi kewajiban sosial, sementara menangis adalah hak pribadi yang kadang harus disembunyikan.

Karya ini menggambarkan realita emosional yang sering dialami perempuan. Ada tekanan untuk terus terlihat baik-baik saja, bahkan ketika sedang rapuh. Puisi ini tak hanya mengajak pembaca untuk menghargai ketegaran itu, tetapi juga mengingatkan bahwa setiap bentuk ekspresi, termasuk tangis, adalah bentuk keberanian.

2. Manifesto Perempuan, Ketika Puisi Menjadi Ruang Protes

Dalam puisi "Manifesto" karya Toeti Heraty dari buku "Nostalgi = Transendensi", perempuan digambarkan sebagai sosok yang kompleks: emosional namun rasional, lembut namun kuat, seringkali dikurung dalam bayang-bayang stereotip sosial.

Puisi ini menyuarakan kritik terhadap sistem yang membatasi gerak perempuan, baik secara fisik maupun psikologis. Ia mempertanyakan peran-peran yang dibebankan, mengajak pembaca untuk membongkar konstruksi patriarki, dan menegaskan bahwa menjadi perempuan bukanlah bentuk kelemahan—melainkan kekuatan yang utuh dan sah.

3. Menata Luka, Membangun Makna

Puisi "Perempuan yang Berjalan di Arus Zaman" karya Diah Hadaning menampilkan perempuan sebagai penjelajah waktu yang memungut serpihan luka masa lalu untuk disusun kembali menjadi makna. Ia tak hanya bertahan, tetapi juga menciptakan dari luka.

Karya ini menyuarakan bahwa perjalanan perempuan tidak selalu mulus. Ada beban sejarah, trauma sosial, dan bisu yang panjang. Namun dalam puisi ini, luka tidak dibiarkan membusuk. Ia diolah menjadi simbol, nada, dan warna baru yang memperkaya kemanusiaan.

 

Penulis: Rianti Fitri Wulandari

#UnlockingTheLimitless

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading