Sukses

Info

Jalan Panjang Perubahan Batas Usia Perkawinan Perempuan Menjadi 19 Tahun

Fimela.com, Jakarta Setelah 45 tahun, akhirnya terjadi perubahan undang-undang perkawinan demi memperjuangkan masa depan anak-anak Indonesia sebagai sumber daya manusia unggul dan generasi emas Indonesia 2045. Hal itu diungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise yang mewakili suara masyarakat Indonesia saat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui ditetapkannya batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun pada 12 Oktober 2019.

Keputusan terkait Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (PANJA) Baleg DPR RI bersama Kemen PPPA, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam proses persidangan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 direvisi ke Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah usia perkawinan anak perempuan dari minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun. 

Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tersebut disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019. Dan perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut mulai berlaku pada tanggal 15 Oktober 2019 setelah diundangankan oleh Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo.

"Keputusan ini menyelamatkan anak dari praktik perkawinan anak yang sangat merugikan, baik bagi anak, keluarga, maupun negara. Ini adalah buah manis dari perjuangan dan kerja keras kita bersama," ujar Menteri Yohana pada September 2019.

Alasan Penetapan Batas Usia 19 Tahun

Batas usia minimal 19 tahun dinilai telah matang jiwa raga agar dapat melangsungkan dan mewujudkan tujuan perkawinan. Yaitu tidak berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas seperti tertuang pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. 

Pertimbangan untuk menaikkan batas umur dari 16 tahun ke 19 tahun untuk perempuan juga mengingat perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. Kenaikan batas usia juga dapat menurunkan resiko kematian ibu dan anak.

"Masalah perkawinan anak merupakan kekhawatiran kita semua, karena dampaknya mengakibatkan banyak kegagalan yang dialami oleh negara, masyarakat, keluarga, bahkan oleh anak itu sendiri. Perkawinan Anak harus dihentikan," tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada Talkshow Sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 pada 7 Agustus 2022 melansir dari kemenpppa.go.id. 

Menurutnya, batas usia perkawinan 19 tahun harus terus disosialisasikan secara intensif dan masif. Dengan adanya sinergi yang dilakukan bersama antara pemerintah dengan lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media, dia berharap dapat mengubah cara pandang para orangtua dan keluarga yang mempunyai tanggung jawab dan berkewajiban untuk memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak.

3 Dampak Paling Tampak dari Pembiaran Perkawinan Anak

Dengan peningkatan batas usia perkawinan diharapkan membuat praktik perkawinan anak berkurang bahkan tidak ada. Namun, tak semudah itu juga pengaplikasiannya, dibutuhkan peran bersama untuk pencegahan perkawinan anak.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin menjelaskan dan mengingatkan kepada seluruh pemangku kepentingan, utamanya para pimpinan daerah bahwa banyak akibat yang terjadi jika perkawinan anak kita biarkan. Ada 3 dampak yang paling tampak dan mudah diukur.

Pertama adalah pendidikan, karena sebagian besar perkawinan anak menyebabkan anak putus sekolah, sehingga menghambat capaian Wajib Belajar 12 Tahun. Kedua dampak kesehatan yang terkait dengan kondisi kesehatan reproduksi seorang anak jika memiliki anak, pemenuhan gizinya ketika harus mengasuh anak, bahkan hal terburuk adalah risiko kematian ibu dan anak.

Ketiga adalah dampak ekonomi, seorang anak yang menikah pada usia anak susah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya, mendapatkan upah yang rendah, lalu akhirnya memunculkan kemiskinan dan masalah pekerja anak. Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi adalah 3 variabel yang digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sehingga tingginya perkawinan anak akan berpengaruh terhadap rendahnya IPM.

#WomenForWomen 

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading