Sukses

Lifestyle

Aku Wanita Tuna Rungu, Pahit Getirnya Hidup Justru Membuatku Kuat

Menjalani hidup dengan keterbatasan fisik jelas ada ujiannya sendiri. Namun, itu bukan halangan untuk menjalani hidup sebaik mungkin. Bahkan pahit getirnya hidup bisa membuat seseorang makin kuat, seperti kisah yang dialami salah satu sahabat Vemale ini untukĀ Lomba Menulis #MyBodyMyPride.

***

Dear Vemale,

Bersama ini saya ingin bersaksi sebuah pengalaman pahit yang pada akhirnya berbuah manis.

Saya adalah seorang wanita dengan keterbatasan fisik tuna rungu. Saya adalah ibu dari dua anak perempuan yang manis. Kehidupan masa kecil saya hingga dewasa bisa terbilang bahagia campur pahit, semua bercampur menjadi satu.

Saya lahir dalam keadaan normal. Namun pada umur 7 tahun, saya mengalami ketulian yang tidak diketahui penyebabnya oleh dokter manapun yang pernah keluarga saya datangi, bahkan alat bantu pendengaran pun tidak dapat berfungsi. Dokter menemukan bahwa secara tiba-tiba salah satu syaraf pendengaran di otak saya tidak tersambung, itulah yang membuat saya sulit mendengar suara yang sangat pelan, kecuali suara-suara yang lumayan keras.

Pengalaman pahit masa kecil saya dimulai dari ketika saya mulai masuk sekolah dasar. Orang tua saya hendak memasukkan saya ke sebuah sekolah yang cukup terkenal, namun guru dan kepala sekolah di sekolah tersebut sangat tidak bersahabat. Mereka mengatakan sendiri bahwa keadaan saya yang tuna rungu menjadi beban bagi mereka, dan mereka tidak mau direpotkan oleh seorang murid yang tuna rungu.

Akhirnya, orang tua saya hendak memasukkan saya ke sebuah sekolah luar biasa (SLB), namun sebelumnya mencoba lagi di sebuah sekolah dasar swasta. Saya diberi kesempatan mengenyam pendidikan di sana selama beberapa bulan. Ternyata di luar dugaan, guru-guru dan kepala sekolah di sekolah yang menerima saya melaporkan hasilnya bahwa saya dapat menerima pelajaran dengan sangat baik. Saya pun memiliki hasil yang baik, sehingga mereka meminta orang tua saya untuk tidak mengeluarkan saya dari situ dan membiarkan saya terus melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut.

Akhirnya, saya lulus dari satu jenjang ke jenjang yang lebih tinggi dengan hasil yang sangat memuaskan, padahal saya bukanlah anakĀ  yang normal, melainkan berkebutuhan khusus. Saya merasa terharu dengan penerimaan para guru di sekolah dasar tersebut. Mereka pun memberikan rekomendasi ke guru lain di jenjang yang lebih tinggi di sekolah lain. Sehingga akhirnya saya bisa kuliah di perguruan tinggi ternama melalui Jalur Prestasi Akademik. Dan yang mengejutkannya lagi, hanya saya satu-satunya murid yang diterima, karena memenuhi syarat akademis untuk masuk ke perguruan tinggi.

Pengalaman pahit terjadi lagi ketika saya selesai kuliah. Saya dijodohkan oleh teman saya dengan seorang pria yang dari luar terlihat sangat baik dan bertanggung jawab. Namun ketika kami menikah, barulah nyata bagaimana karakter suami saya itu. Ia adalah seseorang yang tak bertanggung jawab dan hanya bisa bergantung pada saya sebagai pencari nafkah. Alhasil, saya lah yang menafkahi suami dan anak-anak, sebab suami tidak mau bekerja.

Ia hanya bisa meminta uang saja dan jika tidak saya beri, ia akan melakukan kekerasan fisik kepada saya yang disebut KDRT. Tamparan, tendangan, dan makian sering saya terima dari suami yang seharusnya menjadi "pengayom". Namun, karena saya adalah tipe wanita yang setia pada pasangan, saya tetap setia kepadanya hingga ia meninggal di pelukan saya dan sempat meminta maaf akibat perbutannya kepada saya. Ia terkena serangan jantung di usia muda.

Belum berhenti sampai di situ, pengalaman pahit saya terima juga dari orang-orang sekitar. Banyak cibiran dan cemoohan, serta ejekan yang saya terima di manapun saya berada. Kebanyakan sangat meragukan kesanggupan saya untuk bangkit dan mandiri.

Kata-kata paling menyakitkan adalah ketika banyak orang berkata, "Kamu tidak akan pernah bisa," "Kamu tidak mungkin bisa," "Tidak mungkin," "Mustahil," dan segudang cemoohan lainnya bernada pemutusan harapan dan menghalangi niat saya untuk maju dan menjadi lebih baik.

Terlebih ketika saya mencoba dan berhasil menyamai karya seorang sahabat saya, ia merasa marah dan mengatakan "hasilnya jelek". Ilustrasinya, bukankah murid diajar untuk menjadi seperti gurunya? Dan seharusnya tidak ada alasan apapun bagi seorang guru untuk iri hati ketika melihat muridnya berhasil setara dengan karya gurunya.

Semua itu kadang membuat saya mundur. Namun, saya tidak mau terus-menerus mengikuti kata-kata orang yang negatif. Saya memutuskan untuk bangkit. Walaupun sendiri, saya bersama Tuhan dan saya yakin bahwa wanita tuna rungu seperti saya mampu bangkit. Karena keyakinan saya, bahwa Tuhan menciptakan manusia bukan rancangan kecelakaan, melainkan rancangan hari depan yang penuh harapan. Dan bahwa manusia diciptakan untuk kemuliaan Tuhan. Keyakinan itulah yang membuat saya berani bangkit dan mengambil langkah maju.

Cemoohan-cemoohan tersebut masih terus-menerus mengalir. Namun, saya sudah terbiasa menghadapinya. Dan saya tidak mau ambil pusing. Sehingga akhirnya, saya kini sudah mulai bangkit perlahan-lahan namun pasti.

Dari sini saya ingin berbagi cerita, bahwa keterbatasan apapun, tidak peduli seberapapun beratnya, dan sedahsyat apapun cemoohan yang kita terima, jangan pernah putus asa. Sebab semua itu hanyalah kata-kata negatif untuk menghalangi kita maju dan mandiri.

Karena kehidupan kita, kitalah yang menjalaninya, dan sama sekali tidak ditentukan oleh cemoohan orang. Dan jika ada orang yang menghina keterbatasan fisik kita, itu artinya ia memuji kelebihan kita tanpa disadarinya. Dan jika ada pria yang menghina keterbatasan fisik kita, ia sebenarnya tidaklah pantas memiliki cinta dan hati kita. Percayalah kepada Tuhan, yang tidak pernah salah untuk apa Ia menciptakan seorang "wanita".

Tuhan Memberkati.

(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading