Sukses

Lifestyle

Sarjana Lulusan S2 Kok Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga?

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Semakin dewasa, wanita akan berjumpa dengan semakin banyak pilihan. Tidak ada satu pun pilihan yang mudah meski bagi orang lain itu adalah hal yang remeh, yang bahkan bisa diputuskan tanpa babibu. Memilih adalah hal terumit. Meski itu hanya memilih warna lipstik yang cocok, kita bisa menghabiskan bermenit-menit bahkan berjam-jam hanya untuk memilih warna lipstik yang “oke di aku”. Tak jarang juga pilihan baru diambil setelah beberapa kali berkunjung ke toko, berpuluh-puluh kali menggoreskan sampel di pergelangan tangan, berkali-kali pula menghapus jejaknya di bibir dengan tisu. Karena bahkan untuk memilih sesuatu yang remeh seperti itu pun wanita banyak pertimbangannya dan maunya.

Apalagi urusan yang krusial, pasti lebih banyak galaunya dalam memilih. Pilihan sulit yang bagiku tak terasa sulit yang aku sendiri tak menduga itu, waktu memilih buat menikah. Dulu, waktu masih mahasiswa aku selalu berpikir, “Aku harus kerja, ngejar karier dulu, nikah ntar aja kalau sudah 27 tahun.” Pokoknya aku tak pernah kepikiran nikah muda, paling muda umur 25-an lah.

Nah, entah dari mana asalnya tiba-tiba pas jadi mahasiswa pascasarjana (waktu itu umurku 22 tahun) aku nantangin pacarku (sekarang suami), “Kalau kita nggak nikah tahun itu aku mau putus aja karena aku sudah bosan pacaran.” Keputusan itu mungkin didorong oleh godaan mantanku yang mulai mendekat lagi, aku tak bisa menolak kehadiran mantanku itu kalau dia pas pulang dan main ke rumah. Dan aku merasa bersalah sama pacarku. Karena itu, aku ingin kami bisa punya ikatan yang lebih kuat dan aku bisa melepaskan diri dari mantanku itu.

Copyright pexels.com

Keinginanku menikah disambut baik oleh orangtuaku, tapi calon mertuaku masih agak tidak rela anaknya nikah waktu itu karena suamiku baru kerja beberapa bulan setelah lulus. Mertuaku maunya anaknya kerja dulu agak lamaan. Tapi aku tetap pada pilihanku, kalau tidak nikah tahun itu aku tidak menjamin aku mau menikah beberapa tahun ke depan dan kalau sudah kerja aku tidak bakal mikirin nikah sampai umur 27 tahun.

Nikah muda itu adalah pilihan yang tak kuduga yang aku syukuri. Kenapa? Karena setelah menikah itu ternyata butuh adaptasi dengan kebiasaan masing-masing. Yang dulu tak tampak pas pacaran, satu per satu bermunculan. Semua itu memancing percikan-percikan adu argumen yang pasti harus dilewati tiap pasangan. Jadi, semakin cepat beradaptasi dan bisa melewatinya berarti satu fase hidup terlampaui dan siap masuk ke fase selanjutnya.

Selain itu, yang terpenting adalah aku sekarang punya seseorang yang menjadi teman seperjalanan. Orang yang selalu berusaha menerima segala keajaibanku, yang memandangku istimewa meski tak cantik, yang meskipun berantem akan berakhir dengan merindukanku, yang menjadikanku prioritas teratas dalam hidupnya, seperti aku menjadikannya kontak nomor  satu di HPku.

Menjalani hidup bersama mulai dari pagi hingga tidur lagi adalah berkah. Tapi, untuk berani menjalani ini pun dulu aku pernah sangat ragu. Mendekati hari H akad, rasanya ingin kabur dan terus bertanya-tanya, “Jangan-jangan kalau sudah nikah aku nggak bebas, nggak bisa begini begitu, nggak boleh kesini kesitu.” Semua pikiran negatif bersliweran. Hati jadi ciut tapi terus kutepis rasa takut. Aku berkata pada diriku sendiri, “Ini yang terbaik yang Tuhan berikan.”

Copyright pexels.com

Ternyata memilih menikah itu berbuntut konsekuensi yang tak terduga atas impianku. Skala prioritasku mulai bergeser tanpa tersadari. Apalagi ketika aku langsung hamil setelah menikah. Saat itu aku masih belum selesai program magisterku, masa studiku akhirnya harus diperpanjang karena kondisi ibu hamil yang tak memungkinkan untuk memaksakan diri. Target lulus 4 semester tak tercapai meski aku tipe ibu hamil yang kuat, masa hamil kuhabiskan dengan bolak-balik kampus, begadang nyusun tesis dan artikel hingga ikut senam ibu hamil hanyalah niatan yang tak terealisasi.

Seringkali perut mengencang karena terlalu lelah tapi aku tidak mau ambil cuti karena sekali aku libur mikir maka akan lebih sulit untuk memulai lagi. Anakku lahir di pertengahan aku menyelesaikan tesis. Mengurus bayi itu butuh perhatian ekstra. Nah, awalnya aku bisa mengerjakan tesisku di sela-sela bayiku tidur karena bulan-bulan awal setelah kelahiran bayi masih banyak tidurnya, tapi semakin lama semakin berkurang waktu tidurnya.

Selain itu anakku tipe yang suka begadang, tiap jam 11 malam dia bangun dan baru tidur lagi pas subuh. Alhasil tiap pagi aku merasa capek dan ngantuk. Pada masa ini aku sempat merasa down. Untunglah ada ibuku yang rela bolak-balik ke rumahku tiap minggu supaya aku bisa bimbingan. Ibuku tidak bisa menemaniku terus karena adikku yang paling kecil masih sekolah dan masih butuh didampingi ibuku.

Copyright pexels.com

Kami tinggal di kota yang berbeda dengan jarak 2 jam perjalanan. Tapi ibu selalu datang seminggu sekali tiap akhir pekan atau saat aku ada jadwal bimbingan. Tinggal di rumah paling cuma 2 hari dan lebih sering naik angkutan umum. Dia adalah perempuan terhebat bagiku, ia mendedikasikan dirinya untuk membuatku dan adik-adikku bisa meraih mimpi kami. Tidak peduli seberapa lelahnya, tak peduli seberapa beratnya, ia tak pernah mengeluh dan selalu menjadi yang nomor satu mendampingi kami.

Aku pun bisa membayangkan betapa lelahnya ibu membantuku menyelesaikan tesis karena itu aku pun memilih untuk tidak merasa lelah hati dan pikiran. Seperti pepatah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Semua perjuangan ibuku membantuku rasanya terbayar ketika ada tambahan personil lucu di foto wisudaku.

Menjadi ibu muda pun ternyata membuat skala prioritasku jugkir balik. Bagiku sekarang yang nomor satu bukan diriku sendiri, tapi ia yang dalam darahnya mengalir darahku. Kami pasangan muda rantau yang jauh dari orang tua. Masalah baru muncul ketika aku sudah menyelesaikan studiku. Lagi-lagi aku dihadapkan pada pilihan yang teramat rumit karena ada banyak variabel yang harus dipertimbangkan.

Copyright pexels.com

Pertama, jika aku bekerja, lalu bagaimana dengan anakku? Ada beberapa opsi, yaitu (1) dititipkan orangtua, tapi tak bisa bertemu setiap hari, kemungkinan besar seminggu sekali. Bagaimana bisa, bahkan sejak lahir anakku tak pernah sehari pun tanpaku; (2) mencari pengasuh, apa bisa aku percayakan anakku ke orang lain? nanti kalau anakku kenapa-napa gimana?; (3) daycare, bagaimana rasio pengasuh dengan bayinya? Biayanya gimana? Gajiku cukup tidak?

Lalu pilihan kedua, kalau aku tidak kerja, banyak yang bilang sekolah tinggi-tinggi buat apa kalau akhirnya jadi ibu rumah tangga aja. Jujur, bagiku aku sekolah bukan buat kerja meskipun aku ingin kerja dari dulu. Aku sekolah buat nambah ilmu. Kalau aku yang diomongin, aku tak masalah. Tapi, aku tidak tega kalau orangtuaku yang dijadikan bahan gosip, “Itu anaknya bapak S kok tidak kerja padahal lulusan S2.” Itu yang membuat dada rasanya nyesek.

Melewati beragam kegalauan dan tukar pendapat dengan orang-orang terdekatku, aku pun akhirnya punya keputusan. Ini adalah keputusan paling spektakuler dalam hidupku hingga sekarang. Cinta yang tumbuh tanpa disadari tunasnya, yang bahkan telah kucintai sebelum aku tahu rupanya, sungguhlah menakjubkan. Dia menumbangkan segala ego dan ambisiku. Aku lebih menginginkan melihatnya bertumbuh dan menjadi yang pertama tahu segala hal tentangnya.

Copyright pexels.com

Berulang kali hatiku terasa sesak karena tak bisa mewujudkan impianku tapi hatiku selalu menjadi lapang ketika melihatnya, memeluknya. Lalu, perlahan aku mencoba meraba kembali impian-impianku, mencoba menyusunnya kembali, dan melakukan yang saat ini bisa kulakukan. Mungkin aku belum bisa bekerja sesuai impianku (mengajar di lembaga), tapi aku kini mencoba menelusuri celah, bekerja di rumah sambil mengasuh anak, membangun olshop kecil agar aku tetap bisa berkreasi. Bagaimana pun masa kecil anak tak akan terulang karena itu aku ingin mendampinginya bertumbuh.

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Bukan berarti aku membuang impianku, aku hanya menundanya sampai aku merasa anakku telah siap ibunya membagi waktu. Dengan aku yang belum terikat pekerjaan, kami jadi punya lebih banyak kesempatan untuk jalan-jalan, tak perlu mencocokkan jadwal karena jika ayah libur berarti waktu piknik telah tiba. Rasa bosan berada di rumah pun bisa disegarkan kembali, energi bahagia bisa terisi kembali, dan rasa syukur semakin meninggi. Nyinyiran orang tak akan berhenti dan tak perlu kita resapi karena yang terpenting adalah jadi diri sendiri dengan bahagia yang sejati.

Setiap orang punya kondisi dan pilihan-pilihan tersendiri, aku pun kadang iri melihat teman yang bisa bekerja dan mengurus anak sekaligus. Tapi, memang rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau kan. Oleh karena itu, aku sedang berusaha melihat kehijauan rumputku sendiri agar aku tak lupa bersyukur.



(vem/nda)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading