Sukses

Lifestyle

Ingin Bunuh Diri setelah Keguguran, Menerima Kehilangan Tak Selalu Mudah

Fimela.com, Jakarta Beberapa tahun lalu, aku kehilangan janinku. Jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. Setelah liburan panjang dan menulis banyak jurnal, aku merasa seakan sudah mengatasi rasa sedih kehilangan anak. Aku merasa cukup stabil secara emosi dan hidup berjalan seperti biasa. Berbulan-bulan setelah kejadian traumatis itu, aku mulai tidak bisa tidur dan makin banyak pikiran serta berat badanku turun. Tapi aku tak bisa keluar dari lingkaran emosi ini dan mulai jatuh semakin dalam ke hal yang kini kutahui sebagai kasus umum depresi," tulis Eena Houzyama pada laman HerWorld.

Mengalami keguguran adalah sebuah pukulan berat bagi seorang perempuan, tak terkecuali bagi seorang Eena. Bahkan setelah berusaha menerima dan berdamai dengan kehilangan, depresi tiba-tiba menghampiri begitu saja. Perasaan tidak bahagia dalam hidup, memikirkan betapa tidak adilnya hidup, dan suasana hati yang naik turun membuat Eena merasa sangat gelisah.

Ingin Bunuh Diri

Saat mengalami hari-hari yang penuh kecemasan dan tidak bisa tidur, muncul keinginan untuk bunuh diri di benak Eena. Waktu itu dia berpikir daripada harus mengalami penderitaan, lebih baik mengakhiri hidup. "Pada saat itu, aku mulai berpikir soal bagaimana jika aku sebaiknya mati daripada harus mengalami kekacauan ini. Aku mulai paham kenapa beberapa orang sukses bunuh diri, ini karena mereka tak bisa lagi mengendalikan pikiran mereka. Aku merasa kehilangan harapan dan tak tahu harus melakukan apa. Sulit bagiku untuk mengungkapkan isi hatiku pada semua orang," ungkap Eena.

Karena kehilangan selera makan, berat badannya turun. Dia sempat terpikir bahwa kematian bisa jadi jalan pintas terbaiknya daripda harus membuat keluarganya malu. Overdosis pil bahkan sempat terpikirkan sebagai cara paling tepat untuk bunuh diri untuknya.

"Tapi di lubuk hatiku, aku tahu penderitaan ini tidak ditakdirkan untuk menjadi hidupku. Aku harus keluar dari sini. Jika bukan untukku, maka untuk ibuku yang sudah banyak berkorban saat aku masih kecil," papar Eena.

Eena bahkan tak bisa jujur kepada suaminya. Karena ia tak ingin membuat suaminya makin cemas dan membuat keadaan makin memburuk. Keguguran yang dialaminya dan kehilangan buah hati juga membuat suaminya bersedih. Sehingga Eena tak ingin makin menyusahkan atau membebani suaminya.

Perjalanan untuk Pulih

Meski tak langsung didiagnosis mengidap depresi, Eena sempat bertemu dengan temannya yang merupakan seorang dokter. Dia disarankan untuk mengonsumsi obat anti depresi tapi dia tak mengonsuminya karena takut dengan efek sampingnya. Sehingga dia berupaya dengan cara lain.

"Aku mulai menulis jurnal bersyukur lagi, kali ini lebih konsisten. Aku membaca lebih banyak lagi soal cara mengatasi yang kurasakan. Aku juga mulai berlatih yoga lagi secara rutin dengan guru yang datang ke rumahku. Teknik peregangan dan pernapasan yang baik sangat membantuku menenangkan sarafku dan juga pikiranku. Aku juga berendam lama dengan minyak esensial dan lilin yang meningkatkan rasa tenang. Dan tentu saja, aku menjaga pola tidur yang baik. Bahkan sekarang aku masih memiliki rutinitas harian yang baik untuk membuat diriku tetap sibuk," jelas Eena.

Menurut Eena, mengalami depresi jauh lebih menakutkan daripada kehilangan anak. Kehilangan diri sendiri bahkan lebih buruk. Karena dia sadar betul bahwa tidak bisa mengontrol diri dan pikiran sangatlah menyiksa, maka ia berusaha sebaik mungkin untuk pulih. Prosesnya memang tidak instan. Namun, dengan tekad yang kuat dan usaha yang lebih besar, Eena bisa menjalani hidupnya dengan lebih baik dari waktu ke waktu.

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading