Sukses

Lifestyle

Memaknai Takjil dengan Kebersamaan dan Kehangatan di Tengah Perbedaan

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.

***

Oleh:  Novita Prima

Bicara soal Ramadan tentu tidak lepas dari serangkaian ibadah yang menyertainya dan identik pula dengan kultur masyarakat dalam memeriahkannya, sebut saja maraknya pasar Ramadan yang banyak kita temui di jalan-jalan atau tempat tertentu. Ada juga aktivitas ngabuburit untuk mengisi waktu menjelang berbuka puasa, dan yang tak kalah populer adalah penyajian takjil sebagai hidangan awal untuk berbuka puasa. Umumnya takjil akan dihidangkan sebelum hidangan utama saat waktu berbuka puasa tiba.

Takjil yang berasal dari bahasa Arab ajjala-yu'ajjilu-ta’jilan atau berarti menyegerakan (cepat-cepat), selama ini diartikan masyarakat luas sebagai penganan atau kudapan untuk berbuka puasa. Bagi saya, takjil bermakna lebih dari sekadar penganan saja. Takjil bagi saya adalah sebuah sarana.

Takjil adalah sarana pemersatu sekaligus sarana untuk menjalin keakraban dan kerukunan. Takjil yang dibagikan di jalanan, akan dengan merata diberikan bagi siapa saja yang melintas di sana. Muslim-non, Muslim, kaya-miskin, tua-muda, karyawan-gelandangan, siapa pun berhak mendapatkan dan menikmatinya. Si pemberi takjil tidak akan mempermasalahkannya. Demikian pula dengan takjil yang disediakan di masjid-masjid, keberadaannya mampu mempersatukan manusia tanpa mempermasalahkan perbedaan status sosial dan kepercayaan.

Seorang teman baik saya di bangku kuliah adalah seorang perempuan non-Muslim, tapi ia tidak pernah berkeberatan menemani saya pergi ke masjid kampus menjelang waktu berbuka tiba untuk berburu takjil sekaligus menunaikan ibadah salat Maghrib setelahnya. Teman baik saya itu, dengan sukacita dan tanpa paksaan meringankan langkah kakinya untuk pergi ke masjid bersama saya, bahkan terkadang ia pun turut menikmati takjil yang disediakan di masjid kampus.

Lalu, saat saya beribadah, ia akan duduk di halaman masjid tanpa mengeluh, dan setelah semua itu, barulah kami akan beranjak keluar kampus untuk membeli makan malam baginya dan makanan utama untuk berbuka puasa bagi saya. Pada masa itu saya mengambil kelas perkuliahan pada malam hari, jadi wajar bila setiap hari di bulan Ramadan saya akan berburu takjil di masjid kampus walau tak selalu kebagian.

Momen Berbagi dan Berbahagia Bersama

Cerita lain soal bagaimana takjil menjadi sarana kerukunan adalah ketika saya dan teman guru lainnya rutin mengagendakan kegiatan bagi takjil sepulang kami bekerja. Teman mengajar di lingkungan saya bekerja tidak semua Muslim. Hampir seluruh agama dan kepercayaan yang diakui di Indonesia, pemeluknya ada di sekolah tempat saya mengajar. Baik dari staff, guru, hingga ke murid-muridnya berlatarbelakang kepercayaan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut sama sekali tak menjadi kendala untuk bersosialisasi sehari-harinya. Teman mengajar saya yang non-Muslim, justru sangat antusias untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan bagi takjil yang kami lakukan berkala setiap tahunnya. Mereka pun tidak segan turut berdonasi dan gotong royong menyiapkan paket-paket takjil yang akan dibagikan.

Setali tiga uang dengan antusiasme teman-teman non-Muslim saya, para orangtua/wali murid dan murid-murid non-Muslim pun begitu antusias saat sekolah mengadakan kegiatan sosial di bulan Ramadan dengan membagikan paket takjil untuk masyarakat dan pengendara yang melintas di sekitar lingkungan sekolah. Kegiatan tersebut diadakan jauh sebelum masa pandemi. Pada waktu melakukan aksi sosial tersebut dan ketika kegiatan usai, kami duduk bersama untuk menikmati takjil serta berbuka puasa. Pada saat seperti itu begitu terasa makna Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Kami tetap menjaga bagaimana seharusnya persatuan diwujudkan dengan menghargai dan menghormati perbedaan. Meskipun mayoritas murid sekaligus orangtua/walimurid di tempat saya mengajar adalah non-Muslim, tak ada batasan bagi kami untuk lebur dalam suatu kerukunan.

Masih tentang bagaimana takjil bekerja dengan indahnya bagi kerukunan sesama adalah ketika bagaimana takmir masjid memperlakukan setiap orang yang singgah di sana dengan sama. Pernah suatu ketika, setelah saya melakukan kegiatan bagi takjil dengan teman-teman mengajar, kami singgah sejenak di sebuah masjid kecil sekitar pemukiman warga. Di sana kami singgah untuk menunaikan ibadah salat maghrib. Saat itu para jamaah salat maghrib sudah bubar dan hanya tinggal beberapa gelintir orang saja. Kami lantas menunaikan salat maghrib di sana.

Selepas menunaikan ibadah salat maghrib, di sisi sajadah kami telah tersedia air minum berikut takjilnya, meski waktu berbuka puasa sudah agak lama terlewat dan kami tertinggal jamaah salat Maghrib, toh kami masih mendapat keberkahan Ramadan. Kami masih kebagian mengudap takjil sederhana dalam balutan keakraban. Teman saya yang non-Muslim dan sedang menunggu di sekitar masjid pun turut merasakan kenikmatan mengudap takjil sederhana dan meneguk air mineral setelahnya.

Takjil mungkin bukanlah suatu hal yang besar dan wah, namun dari momen berbagi dan menikmati takjil di bulan Ramadan, terasa betul kehangatan yang tercipta oleh karenanya. Tak ada perbedaan yang diperdebatkan, tak ada pertikaian karena perselisihan, dan tak ada rasa jumawa sebab merasa lebih dari yang lainnya. Semua seolah lebur menjadi satu harmoni yang indah dalam nuansa Ramadan yang penuh berkah.

#ElevateWomen

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading