Performative Male, Tersesat dalam Peran Bagaimana Masyarakat Membentuk Laki- Laki

Fimela.com, Jakarta Sejak usia dini, banyak laki-laki dibesarkan dengan berbagai pesan baik yang diucapkan langsung maupun tersirat tentang bagaimana seharusnya mereka bersikap. Jangan menangis, harus kuat, jangan manja, jadilah pemimpin. Apa yang awalnya terdengar seperti nasihat lama-lama berubah menjadi naskah hidup yang dijalani tanpa disadari. Laki-laki pun tumbuh dengan tekanan untuk memenuhi ekspektasi, bukan untuk memahami atau menjadi dirinya sendiri. Inilah yang dikenal sebagai performative male ketika maskulinitas lebih merupakan hasil konstruksi sosial daripada pilihan pribadi.

Fenomena ini berakar pada budaya yang mengukur nilai laki-laki lewat atribut seperti dominasi, ketegasan, dan ketahanan emosional. Dikutip melalui sumber stuff.co.nz, demi diakui, laki-laki merasa perlu memainkan peran tertentu: selalu tampak tangguh, tenang dalam segala situasi, tidak terlalu menunjukkan emosi, dan harus terlihat sukses. Dalam prosesnya, banyak dari mereka kehilangan kebebasan untuk menunjukkan kerentanan, kejujuran, atau sisi manusiawinya yang alami.

Melalui artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana masyarakat membentuk gambaran laki-laki ideal, kita juga akan melihat bagaimana konstruksi peran maskulin ini seringkali menjauhkan laki-laki dari diri sendiri, dan mengapa penting untuk membuka ruang bagi identitas yang lebih jujur dan ekspresi emosional yang setara bagi semua gender.

Apa itu performative male?

Performative male menggambarkan situasi di mana laki-laki merasa perlu memerankan sosok tertentu demi menyesuaikan diri dengan standar maskulinitas yang ditetapkan masyarakat. Peran ini bukan lahir dari kesadaran diri, melainkan didorong oleh rasa takut dianggap kurang jantan. Identitas laki-laki pun tidak terbentuk secara alami, melainkan dibentuk lewat perilaku yang terus diulang seperti bersikap keras, menahan emosi, menunjukkan dominasi, dan tampil sukses. Dalam lingkungan sosial yang lebih menghargai citra luar daripada keaslian diri, menjadi laki-laki apa adanya justru terasa menyimpang. Fenomena ini memperlihatkan bahwa banyak laki-laki hidup dalam peran yang ditulis oleh budaya, bukan oleh mereka sendiri.

Maskulinitas sebagai konstruksi sosial

Male stuff — Mengulas bahwa apa yang dianggap laki-laki sejati bukan sifat alami, melainkan hasil dari ajaran, pengaruh budaya, dan tekanan sosial sejak kecil (Foto: Jan de Keijzer/Unsplash)... Selengkapnya

Sering kali maskulinitas dipahami sebagai sesuatu yang alami dan otomatis dimiliki sejak lahir. Padahal, banyak aspek dari identitas laki-laki justru terbentuk melalui konstruksi sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sejak dini, laki-laki dibentuk untuk bersikap kuat, rasional, dan dominan melalui pengaruh keluarga, budaya, media, dan lingkungan sekitar. Apa yang selama ini dianggap sebagai “sifat laki-laki” sebenarnya merupakan hasil dari proses panjang penanaman nilai dan peran sosial, bukan semata-mata faktor biologis. Konstruksi inilah yang kemudian menciptakan gambaran sempit tentang sosok “laki-laki sejati”, sekaligus menghapus keberagaman ekspresi maskulinitas yang lebih lentur, emosional, dan manusiawi.

Peran laki-laki dalam budaya populer

Reading — Menganalisis bagaimana film, iklan, video game, dan media sosial mempopulerkan citra laki-laki ideal (Foto: YaeJeong Shin/Unsplash)... Selengkapnya

Budaya populer memiliki pengaruh kuat dalam membentuk citra maskulinitas yang dianggap ideal. Melalui film, iklan, musik, hingga media sosial, laki-laki kerap digambarkan sebagai pribadi yang kuat, pendiam, sukses secara materi, dan hanya menunjukkan emosi dalam bentuk kemarahan seakan-akan itulah satu-satunya cara sah untuk menjadi laki-laki. Representasi semacam ini bukan hanya memperkuat stereotip lama, tetapi juga membatasi ruang bagi laki-laki untuk menampilkan sisi-sisi lain dalam dirinya. Saat gambaran media dijadikan standar identitas, banyak laki-laki merasa terpaksa menjalani peran yang telah ditentukan, alih-alih membangun versi dirinya yang otentik.