Fimela.com, Jakarta Ada luka yang tak bisa dilihat, tapi terus menyelinap di balik reaksi kita sehari-hari—cara marah yang meledak-ledak, rasa takut akan penolakan, atau kebiasaan menyabotase kebahagiaan sendiri. Bukan karena kita lemah. Tapi karena kita memikul luka yang tidak kita kenali. Bukan luka orang dewasa, melainkan luka seorang anak yang dulu hanya ingin dipeluk, dimengerti, dan diberi ruang untuk menangis.
Buku How to Heal Your Inner Child tidak hanya mengajak kita untuk menyadari keberadaan sosok anak kecil dalam diri kita. Buku ini menghadirkan penjabaran dan pendekatan yang jujur, reflektif, dan berani untuk menyembuhkan luka emosional yang terlalu lama dipendam. Buku ini bukan hanya panduan penyembuhan, tetapi juga membuka perspektif bahwa menjadi dewasa bukan berarti harus mengabaikan tangis batin masa kecil.
Advertisement
Advertisement
Blurb How to Heal Your Inner Child
Judul: How to Heal Your Inner Child: Mengatasi Trauma Masa Lalu dan Pengabaian Emosional pada Anak
Penulis: Simon Chapple
Alih bahasa: Noviatri
Editor: Satwika Citahariasmi H. & Rini K. Agata
Tata letak: Debora Melina
Sampul: Astari Dewi
Cetakan kedua, Maret 2024
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
***
Banyak orang mengira masa kecil hanya soal kenangan. Padahal, masa kecil adalah fondasi—dan sayangnya, sebagian dari kita tumbuh di atas tanah yang retak. Buku ini membongkar ilusi tersebut dengan tajam.
Konsep inner child dijabarkan dengan uraian yang mudah dipahami. Seperti bagaimana banyak dari kita menyimpan luka pengabaian, kritik, atau kehilangan dari masa kanak-kanak yang secara tak sadar membentuk cara kita merespons kehidupan saat ini.
Buku ini mendorong kita untuk mengambil tanggung jawab atas penyembuhan diri, dengan empati sebagai landasan. Luka-luka masa lalu seringkali menyamar dalam bentuk perfeksionisme, kecemasan, atau hubungan yang selalu kandas. Bukan karena kita gagal, tapi karena bagian terdalam diri kita belum merasa aman.
Yang mengejutkan, luka itu tidak selalu berasal dari pengalaman ekstrem. Kadang hanya berupa sikap orangtua yang dingin, cinta yang bersyarat, atau ketiadaan ruang untuk mengekspresikan emosi. Luka-luka kecil inilah yang diam-diam membentuk kepercayaan diri kita hari ini—atau justru kekurangannya.
Buku ini membekali pembaca dengan langkah-langkah praktis yang bisa langsung diterapkan. Bukan teori kosong, melainkan panduan yang dirancang dari pengalaman dan ketulusan.
Kita diajak untuk menulis surat kepada versi kecil dirinya, mencatat ulang momen-momen penting dari masa kecil, hingga mempraktikkan teknik memaafkan diri yang dalam dan transformatif.
Kita pun akan membayangkan diri kita kecil duduk di depan kita hari ini. Bukan untuk mengasihani, tapi untuk merangkul. Menerima emosi yang dulu ditolak. Menyadari bahwa air mata dan amarah dari masa lalu bukan musuh, melainkan pintu untuk pulih.
Yang membuat pendekatan ini terasa kuat adalah keterbukaan buku ini terhadap ketidaknyamanan. Proses penyembuhan bisa mengejutkan, tetapi juga bisa membuat kita mempertanyakan hubungan, pola pikir, bahkan identitas. Walaupun begitu, dari ruang ketidaknyamanan itulah, transformasi sejati bisa tumbuh.
Salah satu pesan berharga dari buku ini adalah bahwa kedewasaan bukan berarti menolak kelemahan. Justru, keberanian untuk memeluk sisi paling rapuh dari diri sendiri adalah bentuk kedewasaan yang paling otentik.
Sahabat Fimela, terlalu sering kita menyalahkan diri karena merasa rapuh, padahal rapuh bisa jadi merupakan sinyal bahwa ada bagian dalam diri yang belum merasa cukup aman.
Dalam keramaian hidup modern, banyak orang merasa terasing, meskipun dikelilingi banyak hubungan. Buku ini mengungkap bahwa kesepian itu sering kali berasal dari bagian diri yang belum sempat disembuhkan. Suara kecil dalam diri yang terus merasa tidak cukup, tidak layak, tidak aman.
Maka, penyembuhan bukanlah tentang menyingkirkan bagian rapuh itu. Melainkan belajar berjalan bersamanya. Menjadi dewasa berarti menjadi pelindung bagi anak kecil yang dulu tak punya pelindung. Dan itu, Sahabat Fimela, adalah kekuatan yang sesungguhnya.
Buku ini mengajarkan perbedaan besar antara mengenang dan memahami. Mengenang bisa membuat kita terjebak. Tapi memahami—dengan penuh kesadaran dan empati—adalah jalan menuju kebebasan. Proses ini bisa melelahkan, tapi juga membebaskan. Tidak ada yang lebih melegakan selain menyadari bahwa luka tidak harus diwariskan, dan rantai pola lama bisa diputus.
Narasi buku ini tidak menggurui, melainkan lebih terasa seperti teman perjalanan: jujur, apa adanya, dan tidak berpura-pura. Ada kekuatan ketika seseorang menceritakan luka dan proses pulihnya tanpa dibuat-buat. Kita jadi merasa tidak sendirian. Dan kita jadi lebih berani untuk mulai menyelami diri sendiri.
Dengan pendekatan reflektif dan interaktif, buku ini layak dibaca siapa pun yang ingin menjalani hidup lebih tenang, lebih jujur, dan lebih selaras dengan dirinya sendiri. Ini bukan buku untuk menyenangkan hati, tapi buku yang menguatkan nyali.
Berdasarkan pengalamannya sendiri, penulis membantu kita beralih dari pengabaian emosional masa kanak-kanak ke tempat yang berbahagia dan bebas dari trauma masa lalu. Didukung secara klinis dan diverifikasi oleh seorang psikoterapis, eksplorasi yang sangat pribadi dan jujur ini dirancang untuk mengungkap perjalanan menuju diri yang lebih bahagia dan lebih autentik.
Simon Chapple menyampaikan bahwa penyembuhan bukanlah proses instan, melainkan perjalanan yang membutuhkan keberanian, pengampunan, dan komitmen. Tapi saat kita mulai merengkuh anak dalam diri yang dulu diabaikan, kita tidak hanya mulai pulih—kita juga mulai hidup dengan lebih penuh, lebih sadar, dan lebih utuh. Bukan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri menurut standar dunia luar, tapi untuk menjadi diri yang paling jujur—dan itu adalah bentuk kebebasan yang paling mendalam.