Kebebasan Berpendapat, Masih Adakah di Negeri Ini?

Fimela Editor diperbarui 07 Mei 2012, 05:00 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Jumat (4/5/2012) sedianya akan menjadi kesempatan Irshad Manji, pengarang buku “Allah, Liberty and Love” untuk berdiskusi dengan pembaca bukunya mengenai buku terbaru yang ditulisnya itu. Buku tersebut mengetengahkan tentang paham Islam Liberal yang diusungnya, termasuk juga paham moral courage, yaitu keberanian untuk mengemukakan pendapat di tengah perbedaan dunia dengan dasar alasan moral. Galeri Salihara yang dipilih sebagai tempat diskusi, justru menjadi tempat kejadian pembubaran paksa sebuah acara diskusi buku yang baru berlangsung sebentar oleh Polsek Pasar Minggu.

Tindakan pembubaran yang dikepalai oleh Kapolsek Pasar Minggu, Kompol Adri Desas Furyanto, menurut keterangannya di depan peserta diskusi, adalah karena adanya keberatan dari warga sekitar, dengan diwakili oleh hadirnya pihak RT dan RW setempat, serta dari pihak Organisasi Masyarakat (Ormas), yang terdiri dari Forum Betawi Rempug (FBR), Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi), dan FPI (Front Pembela Islam), atas sebuah acara yang untuk sebagian orang nggak disukai. Alasan kedua adalah, karena acara tersebut digelar tanpa izin resmi dikarenakan pembicara dalam diskusi tersebut, yaitu Manji, berstatus warga negara asing, dan diakuinya membutuhkan izin khusus sesuai pasal-pasal yang berlaku.

Menurut keterangan dari penyelenggara acara, sebelum diskusi buku dimulai memang sudah menerima pesan singkat dari Intel Polsek Pasar Minggu, yang meminta acara tersebut dibatalkan. Namun, itikad baik panitia yang mempersilakan salah satu perwakilan dari FPI untuk hadir dan bisa berdialog dengan Manji, nggak digubris, sehingga acara pun tetap dilaksanakan. Sayangnya, acara tersebut berakhir dengan kejadian pembubaran paksa karena Ormas sudah memaksa masuk ke ruang diskusi sambil menyerukan seruan Islam. Manji pun lalu diamankan oleh pihak penyelenggara acara karena takut suasana semakin memanas dan akan jatuh korban.

Inti dari masalah ini adalah anggapan sebagian orang yang menganggap Manji ingin menyebarkan luas ajaran Islam Liberal yang dianutnya dan mengajak orang-orang untuk mendukung pilihannya sebagai pencinta sesama jenis. Padahal, acara diskusi buku tersebut diadakan sebagai acara peluncuran buku sekaligus menjadi ajang diskusi dengan seorang sosok jurnalis senior, aktivis, serta pemikir Islam Liberal dari dunia internasional seperti dirinya, dimana tulisannya sudah sering dimuat di koran bertaraf internasonal pula, seperti The New York Times dan The Wall Street Journal.

3 dari 3 halaman

Next

 

Bila dipikir dengan pikiran terbuka dan tanpa tendensi negatif, acara diskusi tersebut malah menjadi kesempatan langka bagi generasi muda Indonesia untuk bertatap muka langsung dan bertukar pikiran dengan tokoh yang cukup penting. Manji yang sudah melanglang buana dengan segala tantangannya –karena ia sadar apa yang diusungnya adalah isu yang sensitif dan rawan- mengatakan bahwa kericuhan di Salihara tempo hari lalu, lebih parah daripada yang dialaminya di Belanda.

“Penyelenggara acara mengamankan saya di lantai lain. Para  polisi memblokir tangga-tangga. Peserta diskusi meminta kebebasan berpendapat. Ini bahkan lebih gila daripada di Belanda,” tulisnya di sela-sela kericuhan terjadi, di akun Twitter-nya, @irshadmanji.

Adanya kejadian ini, adalah sepersekian bukti bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia mulai goyah posisinya. Bahkan, instansi resmi negara pun seperti menjadi perpanjangan tangan untuk pikiran sempit sebagian kalangan dan ikut menggoyahkan kepercayaan kita tentang adanya keadilan. Bila memang bukan sosok Manji sebagai pribadi yang nggak disukai, melainkan cara pikir dan pahamnya, kenapa nggak memilih jalan untuk bertukar pendapat dan berdiskusi? Itulah yang terpikir oleh Triawan Munaf, pengusaha sekaligus ayah dari Sherina, yang mengikuti perkembangan kasus ini dan ikut mengeluarkan pendapat.

“Harusnya kalau tidak sependapat ormas-ormas itu tantang debat terbuka dengan@irshadmanji. Itu baru langkah yang mencerahkan,” tulisnya via Twitter, @Triawan.

Begitu juga dengan pendapat Yenny Wahid, aktivis politik dan direktur Wahid Institute, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat seharusnya diimbangi dengan berdiskusi dan berunding opini. Cara kekerasan hanya akan terus memperkuat siklus kekerasan di negara ini.

“Orang Islam yang takut pada upaya Kristenisasi, Hinduisasi, dan lain-lain, adalah orang Islam yang akidahnya masih lemah,” tulisnya via @yennywahid.

Jadi, apakah masih ada kebebasan berpendapat di negeri tercinta kita ini? Kita sendiri yang menentukan jawabannya.