Cerita Perjalanan (2): Surga Diving di Gorontalo

Fimela Editor diperbarui 01 Jun 2012, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Gorontalo. Provinsi ke-32 di Indonesia ini jadi salah satu tempat impian Trinity. Itu karena target pribadinya adalah mengelilingi seluruh provinsi yang ada di Indonesia, dan kebetulan Garuda baru saja membuka penerbangan Jakarta-Gorontalo, provinsi yang semula jadi satu bagian dengan Sulawesi Utara itu. Mimpi Trinity itu pun akhirnya bisa terwujud akhir tahun lalu.

“Kalau mau pergi murah itu jangan saat weekend, tapi hari kerja. Selain itu juga harus terus update supaya tahu kapan ada promo atau penerbangan baru, pasti jatuhnya lebih murah,” Trinity membuka obrolan dengan tips. Tapi, bukan berarti saat hari kerja itu Gorontalo sepi kunjungan. “Kendalanya Gorontalo belum terlalu dikenal orang, jadi pariwisatanya juga mandek. Itu yang bikin informasi susah. Aku sampai telepon 108 untuk mencari hotel. Tapi berkali-kali mereka bilang nggak bisa booking kamar karena sudah dipesan para pejabat, sementara hotel berbintang di sana cuma satu.” Nggak kehabisan akal, Trinity terus mencari cara, sampai akhirnya bisa menghubungi jasa pemesanan kamar milik orang luar dan berhasil menyewa kamar, walaupun dengan harga yang sedikit lebih mahal tentunya. “Tapi kan, terjamin. Tinggal bawa surat rekomendasi dari sana, aku nggak akan digeser-geser lagi sama pejabat, ” cerita Trinity geli.

"Ada ikon terkenal, semacam sponge yang besar banget dan menyerupai lukisan abstrak, jadi disebut Salvador Dali. Di sana diving-nya oke karena airnya tenang banget dan view-nya bagus."

Setelah dapat tempat menginap, Trinity mencari objek-objek menarik yang bisa ia kunjungi. Untuk yang satu ini, Twitter jadi andalannya. Info tentang Gorontalo di internet masih sangat terbatas, karena itu ia mencari info tambahan tentang Gorontalo lewat para followers-nya, dan ternyata respons mereka sangat positif.

“Hari pertama aku diving seharian. Di sana dive operator cuma ada 2, satu punya bule, satu lokal. Tapi, untuk diving-nya sendiri ada 3 tempat di sekitar Pantai Biluhu. Di bawah laut itu ada ikon terkenalnya, semacam sponge yang besar banget dan menyerupai lukisan abstrak, jadi disebut Salvador Dali. Di sana diving-nya oke karena airnya tenang banget dan view-nya bagus. O, ya, makin banyak orang yang ikut diving makin murah, jadi kebetulan waktu itu aku gabung sama rombongan diving dari Jakarta, ber-enam. Aku cuma sewa alat, jadi harganya masih terjangkaulah, sekitar tiga ratus ribu sehari.”

Hari kedua dipakai Trinity untuk mengunjungi beberapa pantai, seperti Pantai Botutonu’o dan Indah, juga Tanjung Keramat yang menyajikan pemandangan eksotis pantai-pantai dari atas bukit. Dan hari ketiga, jalan-jalan dilanjutkan ke arah luar kota Gorontalo. Bangunan paling keren di sana, menurut Trinity, adalah kantor Gubernur, “Warnanya pink dan terletak di atas bukit, megah banget. Seperti White House, tapi ini pink.”

Ia juga sempat mengunjungi pasar tradisional dan masjid tertua. “Oh, ada juga benteng yang terkenal di sana, namanya Otanaha, benteng buatan Portugis yang sudah ada sejak abad ke-15. Itu pemandangannya juga keren banget. Di bawah benteng itu ada Danau Limboto yang juga keren pemandangannya!” cerita Trinity makin antusias.

Masih ada tempat-tempat bagus lainnya, seperti yang Trinity sebut “Menara Eiffel”. Bukan yang ada di Paris, menara yang dinamai The Tower of Majesty ini asli ada di Gorontalo dengan bentuk yang mirip Menara Eiffel, tapi tingginya 60 m. “Kita juga bisa naik, cukup bayar sepuluh ribu rupiah.”

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

Setelah itu ia mengunjungi rumah khas Gorontalo yang sudah sangat tua, yang di dalamnya dijadikan museum. Lanjut lagi ke Pentadio Resort di Desa Pentadio yang terkenal dengan pemandian air panas buatan alam yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Perjalanannya dari satu tempat ke tempat lain ditempuh Trinity dengan mobil yang per hari disewanya seharga tiga ratus ribu rupiah. Tapi, untuk perjalanan jarak dekat, Trinity mengandalkan bentor, becak motor, yang murah meriah. "Sekali jalan sekitar lima ribu rupiah," paparnya.

Jalan-jalan belum lengkap kalau nggak berburu oleh-oleh, dan ini juga jadi salah satu hobi Trinity selain diving. Obrolan tentang makanan pun otomatis bikin Trinity bersemangat, “Ada pia khas Gorontalo, rasa keju, cokelat. Menurutku ini pia paling enak sedunia, lebih enak dari pia mana pun. Bentuknya sih, seperti pia Legong. Lembut dan isinya nggak pelit. Kejunya apalagi, berasa banget. Satu boks isinya 10 pia besar-besar, sebesar telapak tangan, cuma tiga puluh ribu.”

"Ada pia khas Gorontalo, menurutku ini pia paling enak sedunia, lebih enak dari pia mana pun."

Trinity juga mencicipi nasi kuning yang biasanya di jual pagi hari. Hampir sama dengan nasi kuning pada umumnya memang, tapi di Gorontalo nasi kuning itu biasa dimakan dengan teman kuah bening, seperti kuah sup. “Di dalam kuah bening yang gurih itu ada telur rebus. Di nasi kuningnya sendiri  juga ada telur dadar, abon ikan tuna, terus bawang goreng. Warung makan nasi kuning ini, yang paling terkenal, namanya Sabar Menanti.”

Dari perjalanan singkat 4 hari 3 malam di Gorontalo, ada satu pengalaman unik yang terus Trinity ingat sampai sekarang. “Pesawatku pulang ke Jakarta kan, masih jam 3, aku terlalu cepat sampai sana, sekitar jam 1, eh bandaranya masih tutup, jadi aku nggak bisa masuklah! Ternyata petugasnya belum pada dateng dan kita diminta menunggu. Jadi, kalau nggak ada penerbangan, ya semua benar-benar ditutup. Masyarakat Gorontalo memang santai-santai. Di kota pun, toko-toko banyak yang tutup dari siang sampai sore, untuk apa coba? Tidur siang! Mungkin kebiasaan itu terbawa sejak zaman Portugis, ya,” tutup Trinity sambil terus terbahak mengingat kejadian itu.