Kisah Cinta Manisku, Antara Jerman dan Ambon Manise

Fimela diperbarui 07 Apr 2014, 18:00 WIB

Masih ingat nggak tulisan saya beberapa waktu lalu, berjudul Hal Sederhana Yang Disebut Cinta Kala itu saya sempat menceritakan inspirasi sahabat saya dan pasangannya, yang mengajarkan makna cinta secara sederhana. Setiap hari, banyak inspirasi baru yang saya dapatkan dari orang-orang di sekitar saya.

Hari ini, ada sebuah inspirasi baru. Sebuah kisah manis cinta yang terjalin antara Jerman dan Ambon. Jadi, sebelum menikah, sahabat saya harus berjuang tak hanya menghadapi tantangan LDR beda negara, tetapi banyak hal lain seperti bullying, ketakutan dan keraguan, perbedaan budaya, dan banyak hal lainnya. Jauhnya jarak memperparah setiap masalah yang ada, nyaris membuat kepercayaan patah, dan semangat menjadi layu.

Kami pertama kali bertemu di Thailand. Dan kalau kata orang, jodoh di tangan Tuhan, cerita saya agak berbeda. Jodoh saya di tangan teman. Hahaha... just kidding. Yeap, pertama kali dikenalkan teman, pertemanan berlanjut di Facebook dan Skype, yah seperti hubungan pertemanan pada umumnya. Tidak banyak hal yang aneh karena saat itu masing-masing masih ada yang punya. Tetapi, siapa sih yang bisa menebak suratan takdir. Pepatah kalau jodoh tak akan ke mana, berhasil saya buktikan saat ini.

Awalnya banyak orang yang mengunderestimate hubungan kami. Jauhnya jarak, perbedaan budaya terlihat sangat menyolok. Ada yang pernah bertanya, "nggak takut kalau ini cuma scam atau penipuan?" Tidak. Saya tidak pernah takut bahwa ini adalah scam atau penipuan. Yang lebih saya takutkan adalah keseriusan 'si abang' terhadap hubungan kami. Sering sekali saya bertanya di dalam hati, "apakah dia benar-benar serius?"

Ketakutan saya mungkin terlebih dipengaruhi film-film beraromakan one night stand dan perkataan teman yang mengingatkan, jangan-jangan ini cuma taste and go. Setelah mendapatkan maunya (taste), dia bakalan pergi (go). Tetapi perkiraan dan ketakutan saya sendiri salah besar. Beruntunglah waktu itu saya punya sahabat-sahabat yang tidak ikut-ikutan membully, tetapi selalu berusaha jujur beropini dan membesarkan hati saya. Dengan dukungan mereka dan orang tua, finally we made it.

Dia yang meyakinkan saya

Kalau benar cinta, pria tak hanya akan meyakinkan orang yang dicintainya lewat perkataan, tetapi lewat sebuah action. Itulah yang ia lakukan. Ketika ia dengan gaya khasnya bisa meyakinkan orang tua dengan datang ke Indonesia, dan bagaimana ia bisa get along dengan mudahnya bersama sahabat-sahabat terdekat saya, itulah yang membuat keyakinan semakin bulat.

Ia pria yang istimewa. Yang dengan mudah menerima 'kegilaan' saya dan teman-teman. Ia menerima saya apa adanya, luar dan dalam. Ia selalu bisa membuat saya merasa cantik, no matter what. Entah dengan anaconda melingkar di perut saya (baca: lemak.. Hahahaha), entah dengan taburan bintang di wajah saya (baca: jerawat), entah dengan rambut ala rocker kala bangun di pagi hari. He simply always makes me feel beautiful. Sejak saya kenal dengan dia, belum pernah dia absen satu hari pun untuk bilang "I love you" dan "Kamu cantik". Dan banyak hal lain yang saya rasakan, membuat hati dan jiwa tahu bahwa ini bukanlah mimpi. Cinta ini adalah cinta yang sejati. Cinta yang nyata, dan ingin saya miliki selamanya.

Keyakinan itu terus tumbuh, sekalipun problem perbedaan budaya masih menyapa. Problemnya bukan seperti yang Anda bayangkan. Bukan soal pertengkaran karena tidak suka ini dan itu, yang saya temui lebih banyak persoalan mengurus dokumen. Dibutuhkan perjuangan ekstra untuk menyelesaikan persiapan pernikahan kami.

Yang membuat saya semakin bersyukur adalah di dalam perbedaan kami, orang tua kami masing-masing sama-sama mendukung, sama-sama mencintai dan menambah cinta kami semakin besar. Bahkan perdebatan sehari-hari yang kami temui membuat cinta semakin kuat. Komitmen awal we want to be together forever till the death do us apart bukanlah komitmen isapan jempol belaka. Bukan sekedar syair agar terdengar lebih manis. Itulah yang sedang kami jalani.

Bukan hal mudah saat memutuskan untuk hengkang dan merantau jauh di negeri orang. Sering saya diingatkan akan culture-shock, weather-shock dan lain sebagainya. Tidak mudah bagi saya dari hidup di pesisir pantai yang panas, dengan sinar matahari hampir sepanjang tahun, untuk pindah ke negara 4 musim yang kadang bisa sangat ekstrim dinginnya. Tapi, itu semua terbayarkan dengan pengalaman-pengalaman baru dan cerita-cerita seru yang saya dapatkan. Ditambah pula, keluarga suami yang sangaaaat welcome dengan kehadiran saya. I feel like, i'm home.

Mengakhiri perbincangan yang heartwarming ini, sahabat saya menitipkan sebuah pesan bijaksana.

Dear Vemale ladies,

Membina hubungan siapapun, entah dengan ras/warna kulit apapun, sebagai wanita berbudaya tetap jagalah kehormatan diri. Sayang boleh, percaya boleh, tapi jangan beri kesempatan mereka untuk 'taste and go' tadi. Apalagi pakai alasan 'terlanjur sayang'. Terlebih yang berencana menikah. Jangan terburu-buru, kenali dengan baik, minta diperkenalkan pada keluarganya. Jangan sampai karena bungkusnya udah 'bule' jadi rela melakukan apapun demi bersama dengan si bule. Karena 'bule' juga lelaki/wanita biasa. Mereka tidak lebih superior atau lebih tinggi kastanya dari kita.

Jadi, masih tak percaya nih kalau cinta sejati itu nyata? Hmmm... baiklah, saya tak akan pernah menyerah membagikan kisah-kisah cinta sejati agar setiap hati yang patah itu bisa disembuhkan dan kembali percaya pada cinta. Sampai bertemu di tulisan berikutnya.

(vem/bee)