Suamiku Menghamili Perempuan Selingkuhannya

Fimela diperbarui 23 Jul 2018, 14:30 WIB

Punya pengalaman tak menyenangkan atau tak terlupakan soal pertanyaan 'kapan'? Kata 'kapan' memang bisa jadi kata yang cukup bikin hidup nggak tenang. Seperti kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam kompetisi Stop Tanya Kapan! Ungkapkan Perasaanmu Lewat Lomba Menulis Juli 2018 ini. Pada dasarnya kamu nggak pernah sendirian menghadapi kegalauan dan kecemasan karena pertanyaan 'kapan'.

***

Sudah hampir enam tahun aku hidup sebagai seorang janda. Tidaklah mudah menyandang status janda di masyarakat kita yang selalu memandang sebelah mata. Aku harus berjuang menyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya baik-baik saja meskipun suara-suara sumbang seakan terus mengikutiku karena statusku saat ini.

Selain itu  banyak sekali orang yang penasaran akan hidupku mereka mulai sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadaku seperti,
Kapan menikah lagi?
Mau sampai kapan menjanda?
Sudah ketemu jodoh belum?
Gak baik menjanda lama-lama, makannya buruan nikah?
Jadi janda itu nggak enak jadi bahan gunjingan orang-orang, makannya buru-buru cari jodoh jangan terlalu pilih-pilih?
Dan segudang pertanyaan lainnya tentang statusku menjadi seorang janda.

Pertanyaan-pertanyaan ini seakan dengan mudah mereka lontarkan kepadaku, namun bagiku pertanyaan-pertanyaan ini seakan menekanku. Karena aku tidak pernah tahu jawaban dari semua pertanyaan itu dan saat mereka bertanya, mereka tidak tahu kalau saat ini aku sedang berjuang untuk menyembuhkan luka, luka yang masih menganga di dalam hati.  



Aku coba mengerti kepada mereka yang bertanya kalau mereka tidak tahu apa yang  aku alami dengan menahan perasaanku. Namun semakin aku menahan semakin aku tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Sekuat apapun aku menjaga diriku tetap saja selalu ada pandangan-pandangan negatif kepadaku hanya karena aku seorang janda dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bernada nyinyir. Terkadang aku ingin sekali berteriak kepada mereka yang bertanya, “Tidak pernah ada perempuan dimanapun yang ingin menjadi seorang janda." Tapi keadaan yang memaksaku untuk menjadi seorang  janda.

Saat umurku 22 tahun aku memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki pilihanku kami berdua memang sudah cukup lama menjalin hubungan. Aku percayakan hatiku dan hidupku kepadanya. Aku bangun harapan-harapan indah bersamanya.

Perjalanan rumah tanggaku memang tidaklah mudah beberapa bulan setelah menikah banyak sekali perubahan yang ditunjukkan oleh dia. Dia tidak pernah peduli dan perhatian kepadaku istrinya. Aku diperlakukan dengan tidak baik olehnya dengan mudahnya dia melontarkan kata-kata kasar bahkan juga hinaan kepadaku. Aku tetap mencoba bersabar menghadapinya, dan dia mulai jarang pulang ke rumah sehingga aku harus sabar menunggunya pulang sendirian di rumah.



Tepat satu tahun pernikahan kita berdua aku mendapatkan sebuah hadiah berupa kabar yang sangat mengejutkan bahwa suamiku akan menceraikanku. Karena sudah sejak lama dia memiliki perempuan lain bahkan sebelum kita berdua menikah dan dia telah berjanji kepada perempuan itu akan menceraikanku tepat saat usia pernikahan kami yang pertama.

Aku limbung seketika mengetahui kenyataan yang begitu pahit ini dan tak tahu apa yang harus dilakukan saat itu aku hanya bisa menangis semalaman. Orang yang sangat aku cintai telah mengkhianatiku.

Hidupku begitu hancur sekali, aku benar-benar seperti didorong ke dasar jurang yang paling dalam. Harapanku membangun pernikahan yang bahagia telah hancur oleh orang yang aku percaya. Cinta suci yang aku berikan kepadanya telah dia sia-siakan begitu saja. Pernikahan yang baru seumur jagung ini telah hancur.



Dan proses perceraian yang harus aku hadapi tidaklah mudah dia dengan sengaja menggantungkan aku hampir dengan dua tahun. Sampai akhirnya dia diketahui telah menghamili perempuan selingkuhannya sehingga membuatku merasa lelah baik fisik maupun mental.

Bagiku setiap orang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk menyembuhkan lukanya. Begitu pun dengan aku yang sampai saat ini masih terus berjuang untuk menyembuhkan luka ini dengan terus berdamai dengan diri sendiri dan juga takdir hidupku. Untuk kembali menata hatiku yang telah hancur berkeping-keping.

Sebaiknya sebelum kita bertanya kepada seseorang tentang "kapan" kita harus terlebih dahulu berempati dan bersimpati terhadap kondisi seseorang. Karena kita tidak pernah tahu situasi apa yang sedang mereka hadapi atau perjuangan apa yang sedang mereka perjuangkan. Apalagi pertanyaan itu dilontarkan hanya karena penasaran atau cuma untuk basa-basi sebaiknya pikirkan kembali untuk bertanya.





(vem/nda)
What's On Fimela