Hubungan 7 Tahun Ingin Kuakhiri demi Pria Lain, Apakah Ini Egois?

Fimela diperbarui 10 Sep 2018, 10:30 WIB

I’m afraid.

Berbondong-bondong pertanyaan bahkan bullyan, "Udah tua nggak merid-merid," nyaris terdengar setiap hari di kantor. Mungkin maksud hati mereka hanya bercanda, tapi siapa yang tahu senyum ini sebenarnya senyum miris karena hati terasa teriris.

Mungkin kasus kebanyakan wanita belum menikah di usiaku yang sekarang sudah terbilang cukup, yakni 26 karena belum adanya pasangan, tapi aku? Yaps, ternyata hubungan yang sudah dijalin selama hampir tujuh tahun ini tak juga memberikan keyakinan yang cukup untuk hidup bersanding berdua. Entah kenapa.

Salahnya di sini, hubungan ini dimulai dari kata-kata yang sering kita dengar, "Biarkan mengalir seperti air," "Jalanin aja dulu, biarkan waktu yang menjawab," tanpa dasar yang jelas. Perayaan tanggal jadian yang biasa disebut anniversary yang dirayakan pasangan pada umumnya pun tak pernah ada.



Seiring berjalannya waktu, ternyata semakin berat. Berat untuk meninggalkan karena sudah terlalu lama, dan berat untuk melanjutkan karena rasa yang entah kemana. Terjebak.

Dia yang tujuh tahun selalu ada, ternyata di hati tak pernah ada. Ini sudah kusadari sejak lama, kenapa tetap bertahan? Karena tidak ingin menyakiti dengan harapan seiring berjalannya waktu rasa itu pasti akan ada, ternyata nihil. So, awal tahun lalu kutekadkan untuk pergi, ini bukan kali pertama, sebelumnya sudah sering kulakukan. Namun semua ini tak semudah yang kubayangkan, dia dan orangtuaku yang notabene sudah sangat akrab tidak membiarkannya, akhirnya hanya tarik ulur yang dapat aku lakukan dengan harapan dia terluka dan mundur secara perlahan. Lah, bukannya mundur malah semakin gentar, dan lagi namanya hati tak bisa berdusta, diajak menikah bukan senang malah seakan ada batu yang sangat besar dan berat untuk dipikul. Tujuh tahun hubungan ini seolah tak ada goals yang jelas untukku.



Aku bukanlah pemilih, bukan pula wanita yang mudah jatuh cinta. Dulu sebelum dia datang memang ada seorang pria yang diharapkan. Tapi aku hanya bisa mencintainya dalam diam karena pada saat yang sama dia sudah punya pacar, sampai akhirnya mereka menikah.

Semua berjalan begitu cepat, dan saat ini ketika hubungan yang tujuh tahun menuntut bahkan mendesak untuk melangkah lebih jauh menikah, pria yang dulu diharapkan tak disangka memberikan angin segar. Seseorang yang biasa kupanggil kakak ini adalah teman sekaligus atasan tempat aku belajar dan bertanya. Berhubungan tiap hari via media sosial dan telepon pun menjadi hal wajar. Yang tadinya hanya ngobrol soal pekerjaan tak sengaja mulai berani membahas masalah pribadi masing-masing, sampai pada akhirnya si kakak jujur bahwa rumah tangganya sudah berakhir, dan aku lah yang menjadi teman untuknya mencurahkan segala sebab kegagalan rumah tangganya.



Heran, bukannya benci yang ada, malah rasa cinta yang dulu hilang kini kembali datang. Tanpa niat, cinta dalam diam yang dulu pernah adapun terucap. Cinta yang lama dipendam seakan mendapat balas yang meskipun dirasa sudah terlambat. Setiap saat hanya bertemu dengannyalah yang aku harapkan. Jangankan bertemu, hanya suaranya lewat telepon saja sudah bisa membuat hati ini bergetar tak karuan dan bibir tak berhenti tersenyum. Ini yang membuat hubungan tujuh tahun semakin tak terpikir untuk berakhir di pelaminan, bahkan pernikahan seolah menjadi momok yang menakutkan dan pertanyaan yang selalu menghantui. Sementara yang kutahu pasti persiapan pernikahan sudah menunggu di sana.

Ketika hati memilih dan berkata, "Ya, aku mencintai laki-laki lain," namun logika memaksa. Ya hati bisa apa?

Sesatkah ini?
Oh Tuhan... mungkin ini tak adil baginya, bagi dia yang tujuh tahun selalu ada tapi hati ini tiada untuknya.

Teruntuk mata dan hatiku, semoga dapat melihat dan memilih dengan benar. Jangan pernah menipu hati, karena akhirnya akan menyusahkan nanti.










(vem/nda)