Tak Mau Korbankan Masa Depan, Kutolak Perjodohan Meski Melukai Hati Ayah

Fimela diperbarui 20 Apr 2018, 13:45 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Aku adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, juga anak pertama dari dua bersaudara. Sejak kecil aku selalu menjadi tumpuan harapan dari orang tuaku. Karena sebagai anak pertama, aku selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi Ayah dan Mama. Awalnya tak kusadari, mungkin karena terbiasa. Hingga aku mulai dewasa, aku berbenturan keputusan dengan orangtuaku saat pemilihan jurusan di SMA.

Pada zamanku SMA dulu, penjurusan baru dilakukan di kelas 3 SMA. Aku, yang merasa tak begitu menguasai pelajaran-pelajaran eksak, lebih memilih untuk masuk jurusan IPS. Orangtuaku ingin aku masuk IPA karena merasa akan lebih banyak alternatif nanti pada saat pemilihan jurusan di dunia perkuliahan. Aku tetap kukuh pada pendirian, sampai Mama datang ke sekolah dan menemui wali kelasku. Beliau mempertanyakan mengenai nilai akademik yang kumiliki apakah memenuhi syarat untuk masuk ke Jurusan IPA atau tidak. Saat wali kelasku menjawab bahwa nilai-nilaiku lebih dari cukup untuk masuk IPA, aku tahu bahwa aku tak punya pilihan lain selain merelakan jurusan sosialku.



Life goes on. Then, terjadilah perdebatan berikutnya, pemilihan jurusan untuk masuk kuliah. Klise memang. Orangtua ingin aku masuk jurusan Akuntansi, sementara aku berharap bisa masuk jurusan Hubungan Internasional atau bahasa Inggris demi cita-citaku menjadi duta besar.

Kalau pada akhirnya aku harus masuk jurusan sosial, kenapa aku harus melewatkan satu tahun sekolah menengahku dengan bersusuah-payah di jurusan eksak, pikirku saat itu. Aku merasa kesal, sampai Ayah bercerita mengenai halangan dan rintangan jika aku tetap berpegang pada keinginanku untuk menjadi duta besar. Berbeda dengan Mama yang cenderung memaksakan kehendak, Ayah selalu berbicara dengan tenang seolah hanya memberikan pendapat, namun lebih dapat kuterima. Pada akhirnya, kulalui 4 tahun masa perkuliahanku di jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya Malang.

Time flies. Setelah lulus dan bekerja, aku mulai dapat memahami bahwa orangtua mengarahkan anaknya pasti dengan maksud yang baik. Lalu aku belajar untuk berkomunikasi dengan lebih baik pada orang tuaku. Misal, tentang bekerja di mana atau di perusahaan apa. Sampai suatu ketika, saat aku harus membuat Ayah sangat kecewa padaku, dalam seumur hidupku.



Ayah dan Mama yang berasal dari keluarga TNI-Polri, dan bekerja sebagai TNI AD pula, berharap salah satu di antara aku dan adik lelakiku ada yang meneruskan jejak dengan menjadi tentara. Namun tak satupun dari kami tertarik. Hidup nomaden, berpindah-pindah sejak kecil, membuat kami mungkin merasa lelah atau tak begitu cocok dengan gaya hidup yang seperti itu. Gagal mencari penerus dari anak-anaknya, Ayah berharap mendapat penerus dari (calon) menantunya.

Aku, sebagai anak pertama, lagi-lagi yang harus bertanggung jawab. Aku yang tak pernah memperkenalkan pacar-pacarku kepada orangtuaku, membuat mereka berpikir bahwa aku selama itu belum memiliki kekasih. Tak kehabisan akal, Ayah kemudian menjodohkanku dengan seorang lelaki, lulusan terbaik dari Akademi Militer pada saat itu.

Saat itu aku berpikir, menikah, berharap satu kali seumur hidup, masa harus ditentukan oleh orang lain? Harus bersama dalam susah dan senang bersama seseorang yang baru saja kukenal, dan bukan orang yang kupilih membuatku khawatir. Dengan penuh pertimbangan, aku memutuskan untuk menolak perjodohan itu, dan bertengkar hebat dengan Ayah. Padahal dalam keluarga, Ayah adalah orang terdekatku. Bahkan menurut Mama, aku adalah duplikat Ayah dalam segala hal, yang membedakan kami hanya jenis kelamin. Tentu saja, tak pernah kubayangkan sebelumnya, untuk berseteru dengan beliau.



Apa yang terjadi saat aku menolak perjodohan itu? Aku membuat Ayahku menangis, karena aku. Ayah mungkin sedih, karena aku tak lagi mengabulkan apa yang menjadi keinginannya. Selama seminggu, Ayah tak berbicara kepadaku, aku juga sedih dan menangis. Namun saat itu aku berpikir bahwa, dengan siapapun aku menikah kelak, aku akan bersama dengan seseorang yang aku pilih, yang dapat membuatku yakin bahwa aku bisa bersamanya dalam situasi apapun.

Sekarang, tujuh tahun setelah kejadian tersebut, aku sudah menikah dengan lelaki pilihanku. Lelaki pertama yang kupertemukan dengan orangtuaku pertama kali untuk melamarku. Kami menikah hanya selang dua bulan dari pertemuannya dengan orangtuaku. Alhamdulillah, segala proses sampai dengan akad berjalan lancar tanpa ada kendala yang berarti. Rasanya seperti dimudahkan. Bismillah, aku tidak menyesal karena telah mengambil keputusan tersebut. Insyaallah.




(vem/nda)